Mengintip Kupang, Ibukota Nusa Tenggara Timur

Pulau Timor

Akhirnya menambah lagi satu tempat yang saya datangi di Indonesia

Tahun 2015 saya akhirnya menginjak Malinau, salah satu kota terbesar di provinsi Kalimantan Utara. Provinsi ini sesuai namanya memang terletak di bagian utara pulau Kalimantan, atau sekaligus juga bagian utara Indonesia. Salah satu daerah paling utaralah pokoknya. Artinya, saya sudah berhasil sampai di salah satu bagian paling utara Indonesia, meski belum tiba di perbatasan.

Lima bulan kemudian saya menginjakkan kaki di Merauke, Papua. Ini adalah salah satu daerah paling timur Indonesia, hanya berjarak sekira 60km dari perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Sekali lagi meski tidak sampai menyentuh perbatasan saya merasa sudah berada di salah satu daerah paling timur Indonesia.

Oke, utara dan timur sudah. Tinggal selatan dan barat, artinya saya harus ke Aceh dan Nusa Tenggara Timur. Dua daerah yang berada paling barat (Aceh) dan paling selatan (Nusa Tenggara Timur) Indonesia.

Selama tahun 2015 dan 2016 saya sudah berkali-kali ke Nusa Tenggara Timur sebenarnya, tapi karena provinsi ini terdiri dari tiga pulau besar dan saya hanya mendatangi pulau Sumba, maka saya merasa belum puas. Di bawah pulau Sumba masih ada pulau Timor tempat ibukota Nusa Tenggara Timur- Kupang-berada. Pulau ini jadi pulau besar terdepan di Indonesia karena berbatasan langsung dengan Australia.

Hingga akhirnya kesempatan mendatangi pulau Timor dan Kupang datang juga.

“Kalau ke Kupang bagaimana? Mau jaki toh?” Tanya ibu boss.

“Mau! Mau!” Tawaran itu tidak mungkin saya sia-siakan. Kalau berhasil mendarat di Kupang berarti saya sudah menambah satu lagi wilayah terdepan Indonesia.

Minggu 29 Januari 2017 akhirnya saya sudah duduk di kursi pesawat Lion Air yang akan membawa saya ke Kupang. Perjalanan agak memutar, dari Makassar kami harus ke Surabaya dulu sebelum ke Kupang. Perjalanan yang bermula di pukul 14:10 siang WITA dijadwalkan akan berakhir pukul 22:00 WITA di Kupang.

Tapi, cuaca bulan Januari yang sedang tidak bersahabat membuyarkan rencana itu. Dua kali delay hingga akhirnya kami (saya dan bu Sherly) tiba di Kupang hampir pukul setengah 12 malam. Lumayan melelahkan juga rasanya. Bukan karena perjalanan pesawatnya yang total hanya memakan waktu tiga jam (Makassar-Surabaya 1 jam, Surayaba-Kupang 2 jam), tapi menunggu tanpa kepastiannya. Memang selalu melelahkan ketika kita sudah berharap, tapi kepastian tidak kunjung datang.

Kupang Yang Menggeliat.

Karena tiba menjelang pergantian hari, saya belum bisa melihat bagaimana rupa Kupang yang sebenarnya. Hanya jalanan sepi yang kanan-kirinya masih dipenuhi pohon yang menyambut kami. Wajarlah, siapa juga yang mau membuat keramaian di malam menjelang pukul 12.

Pagi hari di belakang hotel

Ketika pagi akhirnya tiba, saya bisa melihat bagaimana rupa Kupang yang sebenarnya. Kebetulan hotel kami berada di tepi pantai, menghadap ke barat laut. Pantainya agak surut di pagi hari. Karang-karang kecil menonjol di sana-sini. Belasan orang nampak bertebaran di tepi pantai, mereka sepertinya sedang mencari kerang. Jauh di sana deretan perbukitan berjejer panjang, di belakangnya langit yang agak kusam menyimpan hujan yang sebentar lagi akan tercurah.

Karena ke Kupang bukan untuk berwisata, jadi saya tidak berpikir akan ke mana setelah sarapan. Semua jadwal pekerjaan sudah padat, kami harus segera ke Universita Nusa Cendana. Jadi lupakan dulu tempat-tempat wisata yang mungkin berderet di Kupang dan sekitarnya.

Satu sisi kota Kupang

Dari intipan sekilas itu saya lihat kalau kota seluas 180,3 km2 itu sudah menggeliat sebagai ibukota provinsi Nusa Tenggara Timur. Pembangunannya cukup pesat. Dimulai dari bandara El Tari yang sudah berbenah menjadi sedikit lebih moderen meski kecil, beberapa pusat perbelanjaan moderen di dalam kota sampai beberapa hotel besar yang sedang dibangun dan yang sudah beroperasi.

Setidaknya di Kupang sudah ada bioskop Cinemaxx, sudah ada Ace Hardware dan Informa. Minimal itu tanda modernisasi di Indonesia. Hotel-hotel jaringan besar seperti SwissBelIn juga sudah ada, ditambah dengan Aston yang berdiri tidak jauh dari pantai. Benar-benar seperti kota yang bertransformasi menjadi lebih moderen.

Modernisasi kota itu rupanya juga mulai berbenturan dengan kehidupan asli di Kupang. Beberapa pembangunan di pesisir pantai, termasuk beberapa hotel besar rupanya membuat warga mulai kehilangan ruang publik. Pantai jadi tidak mudah diakses lagi karena sebagian sudah menjadi milik privat. Masalah klasik di kota yang sedang menggeliat.

Saya hanya menghabiskan waktu dua hari di Kupang, itu pun hanya karena urusan pekerjaan. Tidak banyak tempat di Kupang yang saya kunjungi, hanya beberapa bagian dari kota, tempat penjualan oleh-oleh dan tentu saja tempat makan. Saya hampir lupa cerita kalau kami sempat menikmati ikan kuah asam yang luar biasa nikmatnya!

Kejadiannya di Dapur ChaCha, saya lupa jalan apa tapi tidak terlalu jauh dari kantor walikota Kupang. Meski harus menunggu hampir sejam sebelum pesanan kami datang, tapi terbayarkan oleh nikmatnya yang Masya Allah! Kuahnya pas, ikannya empuk, benar-benar cocok untuk mengisi perut yang sudah keroncongan.

Ikan kuah kuningnya enakk!

Dan begitulah, dua hari kemudian saya sudah bersiap di bandara El Tari Kupang. Bersiap untuk kembali ke Makassar. Tugas sudah selesai dan kesempatan untuk mengintip Kupang pun pungkas sudah. Hanya sebentar mengintip Kupang, tapi rasanya saya sudah senang. Saya bisa menambahkan satu lagi daerah terdepan Indonesia, daerah yang berada paling selatan republik ini.

Mudah-mudahan kelak bisa kembali ke Kupang lagi, atau mungkin malah terus sampai ke Pulau Rote yang jadi pulau terdepan di bagian selatan. Aminn! [dG]