Maluku 5; Danke Ambon, Danke Maluku!

Senja di depan Martha Ch Tiahahu
Senja di depan Martha Ch Tiahahu

Danke Ambon adalah kalimat yang pas sebagai penutup cerita ini

“PAK MOBILNYA SUDAH DATANG.” Kami masih asyik berfoto di dermaga Oanain Munina ketika pak Bahtiar datang menghampiri.

Sehari sebelumnya kami memang berpesan pada pria gempal itu untuk memesankan dua kursi mobil angkutan ke Masohi. Rencananya kami akan meninggalkan Sawai pagi itu, kembali menyusuri jalur kedatangan kami dengan arah yang berlawanan, menuju Tulehu dan kemudian ke Ambon.

Setelah berpamitan, Avanza hitam yang dikendarai warga Sawai itu perlahan menyusuri jalan berkelok menuju Masohi. Selain kami berdua ada tiga orang wanita yang jadi penumpangnya. Satu duduk di kursi depan, satu di kursi tengah bersama kami dan satu lagi di kursi belakang bersama beberapa tas.

Su ponoh.” Kata pak supir pada seorang pria yang mencegatnya di tepi jalan. Kalimat itu berarti sudah penuh, tak ada tempat lagi buat penumpang lain.

“Kenapa seng diambil sa? Masih bisa toh?” Tanya ibu berjilbab yang duduk tepat di samping supir.

“Ah seng usah, beta santai sa.” Jawab si supir. Katanya dia santai saja, tak perlu mengejar banyak penumpang. Aneh juga karena biasanya di kota-kota besar supir angkutan umum malah sebisa mungkin memenuhi ruang yang tersisa di mobilnya, sesempit apapun itu.

Dan supir itu memang sangat santai. Perjalanan yang sebelumnya kami tempuh dalam 2,5 jam ditempuhnya dengan waktu 3 jam lebih. Dia berbeda dengan supir muda yang mengantar kami ke Sawai dua hari lalu.

Di bawah teriknya matahari jam 11 siang, kami akhirnya sampai di Masohi. Dari Masohi kami menumpang angkutan umum mikrolet ke Amahai. Pelabuhan Amahai masih sepi ketika kami tiba, kapal cepat menuju Tulehu baru berangkat jam 1 siang. Kami duduk di depan pelabuhan, menunggu loket terbuka. Tak banyak penumpang siang itu meski sepertinya semua kursi kapal terisi penuh.

*****

“KAMI MAU MAMPIR NATSEPA DULU, baru ke Ambon.” Kata saya dalam sebuah chat dengan seorang teman yang tinggal di Ambon.

“Oke. Info saja kalau su ada di Natsepa.” Jawabnya.

Dan kami kemudian bertemu di Natsepa. Dari Tulehu saya dan Mamie menumpang angkutan kota menuju Ambon, tapi kami turun di Pantai Natsepa yang terkenal itu. Tujuan kami apalagi kalau bukan rujak Natsepa yang sudah sering dipamer beberapa kawan di media sosial.

Sepanjang garis pantai Natsepa berjejer beberapa pedagang rujak yang sebagian besar warungnya diberi nama “Mama”. Mama Ruth, Mama Eva, Mama Ria dan mama-mama lainnya. Semua hampir seragam, sama-sama menjajakan rujak dan kelapa muda. Kami memilih salah satunya, tanpa alasan khusus.

Pantai Natsepa, di depannya berderet pedagang rujak

Rujak Natsepa sebenarnya sama saja dengan rujak-rujak lainnya, bahkan seorang kawan di Facebook bilang kalau rujak Natsepa terlalu manis dan kehilangan rasa kecut seperti lazimnya rujak. Perbedaan terbesar yang justru jadi kekuatan rujak Natsepa adalah pada suasananya. Memang nikmat rasanya menikmati rujak dan air kelapa muda dengan latar lautan biru dan ombak yang menjilati pasir putih. Angin laut membuai seperti mengelus-elus pipi, membuat mata terasa berat apalagi setelah perjalanan panjang dari Sawai.

Kami meninggalkan Natsepa ketika sore mulai menggelayut. Agus yang menjemput kami, dengan mobilnya perlahan kami menuju ke kota Ambon, ke penginapan yang sudah kami pesan beberapa hari sebelumnya.

Kota Ambon ternyata mirip dengan beberapa kota di Papua yang pernah saya datangi. Konturnya beragam, dari yang rendah dan dekat dengan teluk Ambon sampai yang agak menanjak dan berbukit di bagian belakang. Kota ini terbilang padat menurut saya, jalanan kecil dan bangunan berdempetan satu sama lain. Di sore hari jalanan makin terasa padat, penuh dengan kendaraan yang mengantar pemiliknya pulang dari tempat beraktifitas.

Kota ini mulai terbentuk sejak tahun 1575 sejak dibangunnya benteng Portugis di pantai Honipupu yang disebut benteng Kota Laha atau Ferangi. Sejak saat itu kelompok-kelompok masyarakat kemudian mulai mendiami daerah sekitar benteng sekaligus sebagai cikal-bakal kota Ambon yang kita kenal sekarang.

Dalam perjalanan menuju kota kami sempat melewati sebuah rumah tak berpenghuni yang mulai rusak dimakan usia. Tak beratap meski sebagian rangka atapnya masih terpasang. Beberapa dindingnya sudah rubuh, kusen berdiri meski tak lagi dihiasi kaca atau pintu.

“Itu rumah bekas kerusuhan. Pemiliknya tidak pernah kembali lagi.” Kata Agus.

Tahun 1999 Ambon dan sebagian besar Maluku jatuh ke titik terkelam dalam soal solidaritas. Kerusuhan bernuansa SARA merembet kemana-mana, ribuan rumah terbakar hangus, jutaan orang terbakar emosi. Korban jiwa berjatuhan, darah tercecer dan menggenang dimana-mana. Gambar-gambar kerusuhan menyeruak ke penjuru negeri, menghitamkan nurani, mengiris perasaan.

Tahun-tahun berlalu, kerusuhan itu perlahan mulai padam meski rasanya masih seperti api dalam sekam. Beberapa orang masih belum bisa lepas dari trauma, utamanya mereka yang kehilangan sanak-saudara dalam kerusuhan panjang itu. Pasti tak mudah menghapus kejadian kelam itu. Pelan-pelan Ambon memang makin damai, tapi bibitnya masih tetap ada.

Gong perdamaian dunia, sebagai bukti kalau Ambon sudah damai

September 2011 sebuah kekacauan kecil kembali tersulut di kota Ambon. Oleh media nasional kekacauan itu diberi label “kerusuhan Ambon”, label yang seperti memanggil kembali kejadian kelam belasan tahun sebelumnya. Gambar-gambar kerusuhan kembali menjadi santapan lezat media, ditayangkan berulang-ulang demi menciptakan gambaran kalau Ambon memang kembali rusuh.

Tapi untung Ambon punya anak-anak muda yang cinta damai. Anak-anak muda itu berjejaring dan sepakat untuk tidak diam saja melihat ketidakadilan media. Mereka bergerak menjadi provokator, bukan untuk memperkeruh suasana tapi menjadi pembawa pesan perdamaian. Mereka menjadi provokator damai, itu istilah mereka. Lewat berbagai cara mereka berusaha menyebarkan kedamaian, mengubah persepsi orang luar tentang Ambon yang rusuh menjadi Ambon yang damai.

Saya bertemu sebagian dengan mereka di sebuah kedai kopi. Lewat obrolan santai saya bisa menangkap semangat dan optimisme mereka untuk melihat masa depan Ambon dan Maluku yang lebih baik dan kembali damai. Bersyukurlah Ambon dan Maluku yang punya anak-anak muda seperti itu. Danke Ambon sudah melahirkan anak-anak muda luar biasa itu.

*****

SUATU MALAM DI SEBUAH KAFE BERLANTAI DUA di Jl. DR Sam Ratulangi Ambon. Kami duduk berhadapan dengan sebuah panggung kecil yang diisi tiga orang pria. Satu memegang bas, satu memegang cajon (alat musik perkusi berbentuk kotak) dan satu lagi memegang gitar akustik. Pria bergitar mengambil bagian sebagai vokalis sambil sesekali bergantian dengan pria yang memegang cajon.

Saya berdecak sambil menggelengkan kepala mendengar suara mereka. Dengan alat musik yang sederhana suara mereka sudah jelas sekali kalau ada di atas rata-rata. Jernih, tidak fals dan mampu menjangkau nada-nada tinggi. Tak salah kalau Ambon dan Maluku dikenal sebagai gudangnya penyanyi berbakat, tak sulit mencari orang-orang bersuara emas di sini.

Nama-nama seperti Harvey Malaiholo, Yopie Latul, Broery Pesolima sampai generasi Glenn Fredly dan Mike Mohede adalah bukti betapa orang-orang Ambon memang tidak main-main kalau soal adu suara.

“Saya pernah duet sama salah satu pegawaiku. Saya sudah setengah mati ambil nada tinggi, dia santai-santai ji.” Kata Agus menggambarkan bagaimana orang Ambon begitu mudah menggapai nada-nada tinggi dalam sebuah lagu.

Malam itu kami jadi saksi mata bagaimana seorang penyanyi kafe biasa bisa memukau lewat suara yang selayaknya suara penyanyi profesional. Ketika pamit saya memberi tepukan tangan dan tanda salut dengan satu jempol yang dibalas dengan ucapan terima kasih oleh mereka.

Suara merdu orang Ambon dan Maluku seperti pelengkap dari sederetan keindahan dan karunia Sang Pencipta yang diteteskan ke tanah Maluku. Pantai dan laut yang bersih, bening dan memanjakan mata bisa dengan mudah kita temui. Ikan laut yang segar bisa kita cicipi di mana saja, rempah yang tak habis-habis bisa kita dapat bahkan di tepi jalan sekalipun. Ambon dan Maluku memang punya banyak alasan untuk dikunjungi. Danke Ambon sudah melahirkan orang-orang bersuara emas!

danke ambon
Ikan segar, tak perlu dibumbui

Jang marah tante ya, beta tadi salah kas tau.” Kata seorang anak kecil di dekat patung Martha Christina Tiahahu. Sebelumnya Mamie bertanya kantor apa yang ada di belakang patung itu? Si anak menjawab kantor gubernur sebelum seorang kawannya membantah kalau itu bukan kantor gubernur.

Di balik nada bicara yang cepat dan kadang bernada tinggi dan cenderung keras, orang Ambon dan orang Maluku sopan-sopan. Mudah sekali menemukan senyum tulus tersungging dari bibir mereka. Rasanya seperti membaca buku pelajaran sekolah yang menceritakan tentang keramahan orang Indonesia. Keramahan yang tak dibuat-buat dan apa adanya, keramahan yang seperti berbeda dengan gambaran orang Ambon atau Papua yang jadi preman di ibu kota.

“Orang timur itu tidak jahat di kampung mereka. Mereka jahatnya di kampung orang.” Kata stand up comedian Abdur Arsyad. Tentu saja kalimat itu bernada satir, mengejek mereka yang selalu memberi stigma orang-orang timur itu keras dan jahat.

Kami hanya dua hari di Ambon memang, tapi dua hari itu sudah cukup untuk merasa kalau Ambon memang pantas dikunjungi. Terlalu banyak cerita yang bisa dicecap di kota yang sejak dulu terkenal sebagai bagian dari jalur rempah Nusantara ini.

Kamis siang menjelang sore kami sudah di bandara Pattimura menantikan pesawat yang akan membawa kami kembali ke Makassar. Rasa capek dan penat mulai terasa, hormon endorfin yang menggelegak beberapa hari sebelumnya perlahan mulai berkurang, ini umum terjadi pada mereka yang sedang berlibur. Sampai kemudian pesawat Lion Air JT 787 meninggalkan kota Ambon menuju ke Barat. Hamparan daratan perlahan menghilang tergantikan lautan biru luas membentang. Ah, danke Ambon!

Danke Ambon! Danke Maluku! Sampe baku dapa lai. [dG]