Pesan Damai Dari Jogja

Biarpun berbeda-beda, kami tetap rukun
Biarpun berbeda-beda, kami tetap rukun

“Ternyata memaafkan membuat proses penyembuhan saya lebih cepat.”

Kalimat itu diucapkan Toni Sumarno, pria 60an tahun yang sekilas penampilannya mirip komedian legendaris Indro Warkop. Kepala plontos dengan kumis dan jenggot putih yang bersambung membuat pria ini terlihat menonjol dan gampang dikenali.

Tony Sumarno adalah salah seorang korban bom yang terjadi di hotel JW Marriot 5 Agustus 2003. Di hari naas itu, pria yang bekerja untuk sebuah perusahaan minyak ini kebetulan sedang menjamu koleganya di hotel JW Marriot. Saat sedang asyik bercengkerama dan menikmati makan siang tiba-tiba bom meledak, mengoyak siang yang tadinya tenang. Tony menderita luka bakar parah, kepalanyapun tertimpa lampu gantung. Tapi dia masih beruntung karena masih bisa terselamatkan meski harus menjalani rehabilitasi selama sembilan bulan di rumah sakit.

“Di bulan keempat saya mulai kehilangan harapan, saya memutuskan untuk mati saja.” Katanya. “Tapi beruntung ibu saya terus memberi semangat hingga saya akhirnya bertahan.” Sambungnya.

Kejadian bom JW Marriot tak hanya membuatnya tubuhnya penuh dengan luka bakar yang tak bisa disembuhkan, tapi mentalnyapun terganggu. Ada trauma berat yang bercokol dalam hatinya, membuat hidupnya tak lagi seperti dulu.

“Lama saya merenung sebelum akhirnya saya berniat untuk bertemu dengan pelaku bom itu. Saya penasaran ingin tahu apa yang ada dalam pikiran mereka sehingga melakukan itu.” Ucapnya.

Berbekal ijin dari kepolisian, Tony akhirnya bisa bertemu dengan mereka yang berada di balik layar bom JW Marriot dan bom Bali I yang memang masih berkaitan. Salah satu pertemuan paling menggetarkan adalah ketika bertemu dengan Umar Patek, seorang pentolan organisasi yang bertanggungjawab penuh atas kejadian bom Bali dan bom JW Marriot.

Tony mengaku merinding ketika akhirnya dia bertemu dengan Umar Patek, bertukar salam bahkan berpelukan. Umar meminta maaf dan menitipkan maaf pada mereka yang menjadi korban bom yang direncanakannya. Dengan besar hati Tony menerima permintaan maaf itu. Pertemuan yang tadinya hanya direncanakan berlangsung 10 menit akhirnya berlanjut hingga 2 jam dengan diakhiri sholat bersama. Umat Patek yang menjadi imam.

Kejadian ini sekaligus menjadi obat paling mujarab untuk kesembuhan Tony, utamanya kesembuhan mentalnya. Dengan memberi maaf, hidupnya langsung terasa plong, ringan dan tanpa beban. Trauma itupun tak berbekas lagi.

“Satu yang saya paling ingat dan bikin bengong, ternyata dendam bisa dihapus dengan cara berdamai. Seperti dicontohkan korban JW Marriot (Toni Sumarno). Imam sholatpun mantan teroris dan korban sebagai makmumnya… Subhanallah.” Kata Kang Ade Truna, seorang blogger Bandung yang jadi peserta acara itu.

*****

Toni Sumarno hadir sebagai salah satu pembicara dalam acara seminar dan workshop bertema “Peran Pemuda dalam Pencegahan Terorisme” yang digelar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Jogjakarta, 28-29 Oktober 2015. Selain Toni hadir juga tokoh-tokoh lain termasuk Imam besar Masjid Istiqlal, wakil dari MUI, Buya Syafii Maarif, dua orang mantan pentolan organisasi terorisme Internasional serta praktisi IT dan dunia maya, Onno W Purbo dan Nukman Luthfie.

Dalam acara dua hari itu, para tokoh-tokoh yang hadir membuka sedikit demi sedikit tirai jaringan terorisme di Indonesia serta usaha-usaha mereka merekrut pengikut menggunakan dunia maya sebagai mediumnya. Peserta yang sebagian besar orang-orang berusia muda memang menjadi target utama organisasi-organisasi itu untuk terus memperkuat jaringan mereka dan menambah pendukung.

Suasana acara hari pertama

Sebagian peserta juga tak hanya diam menerima beragam informasi dari para pembicara tapi juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis. “Kenapa teriorisme hanya dikaitkan dengan Islam saja? Bukankah ini malah menyuburkan Islamophobia?” Tanya seorang peserta.

Menjawab pertanyaan itu, Ali Mustafa Ya’kub imam besar Masjid Istiqlal menngatakan kalau terorisme sebenarnya tidak ada hubungannya dengan agama. Tidak ada satupun agama di dunia ini yang mengajarkan kekerasan kepada pengikutnya. Terorisme bisa terjadi karena adanya kesalahan tafsir dari para pengikut agama yang kemudian memilih menggunakan jalan kekerasan untuk mencapai tujuannya.

“Tidak ada yang salah dengan radikalisme, orang beragama justru harus radikal. Tapi, bukan berarti harus memilih jalan kekerasan.” Ujar imam besar Masjid Istiqlal itu.

Di kesempatan lain, Buya Syafii Maarif bercerita tentang latar belakang munculnya gerakan-gerakan teror berbasis agama termasuk ISIS. Menurutnya, organisasi-organisasi garis keras termasuk ISIS itu muncul akibat berakhirnya perang dingin antara Amerika Serikat dan bekas Uni Sovyet. Organisasi-organisasi itu dulunya merupakan perpanjangan tangan AS untuk kepentingan politik mereka di Timur Tengah melawan Uni Sovyet.

Ketika Uni Sovyet runtuh, organisasi itu kehilangan pegangan utamanya di sisi ekonomi. Satu-satunya cara mempertahankan diri dan memenuhi kebutuhan ekonomi itu adalah dengan melakukan beragam aksi teror termasuk menguasai ladang-ladang minyak di Timur-Tengah.

“Jadi terorisme itu tidak murni soal agama, ada kepentingan politik dan ekonomi di belakangnya.” Pungkas Buya Syafii Maarif.

*****

Bicara tentang terorisme memang agak sensitif. Beragam aksi teror yang mengatasnamakan agama itu seolah membelah opini publik. Ada yang terang-terangan menghujat tapi ada juga yang diam-diam mendukung. Tentu karena alasan agama dan ketidakadilan aparat dalam menangani aksi-aksi teror di Indonesia sehingga kemudian ada juga yang diam-diam menaruh simpati pada aksi-aksi teror mengatasnamakan agama itu.

Akibatnya, banyak juga orang yang enggan membahas terorisme, risih karena aksi-aksi itu dianggap bagian dari membela agama, membela aqidah. Mengeluarkan pernyataan yang bernada menghujat bisa dianggap melawan agama sementara bila mengeluarkan pernyataan yang bernada simpati bisa dianggap melawan pemerintah. Serba salah, sehingga lebih baik diam.

Mari berdamai, untuk Indonesia yang lebih baik

Ada juga yang enggan membahasnya karena merasa aksi terorisme adalah kejadian yang jauh dari mereka, tidak popular dan tidak ada di sekitar mereka.

Saya sendiri percaya kalimat yang diucapkan KH Ali Mustafa Ya’kub, terorisme memang bukan soal agama. Agama hanya digunakan sebagai alat untuk memuaskan syahwat pribadi dan golongan, memuaskan tujuan politik dan ekonomi dengan mengorbankan kedamaian dan kenyamanan orang banyak.

“Tidak ada yang diuntungkan dengan kita menjadi teroris/terlibat dalam terorisme. Dan jenis terorisme terutama di dunia maya itu luar biasa banyaknya. Bagaimana caranya supaya kita tidak ikut terjerumus? Salah satunya dengan bersikap hati-hati dan waspada. Misalnya dengan tidak ikut menyebarkan berita apapun yang kita tidak tahu kebenarannya. Mengedepankan sikap Tabayyun dan tidak “tersulut” emosi juga sangat penting.” Kata Lygia, blogger Bandung yang akra disapa Nenghujan.

Alangkah bodohnya kita sampai tergiur untuk ikut meruntuhkan kedamaian yang sudah saban hari kita sesap ini. Alangkah ruginya kalau kita sampai ikut bersama mereka merusak kenyamanan hidup dalam perbedaan ini. Tak ada manusia normal yang betah hidup dalam kerusuhan, tak ada manusia normal yang tak senang kedamaian.

Lalu, Anda termasuk manusia yang mana?

Salam damai dari Jogja [dG]