Setelah Corona, Mau Ke Mana?
Saya salah satu yang terpikir untuk traveling setelah Covid-19 ini berakhir. Rasanya rindu untuk turun ke jalan dan menikmati alam.
Ada beberapa hal yang berubah sangat jauh setelah pandemi Covid-19 ini menyerang. Ada kebiasaan-kebiasaan lama yang tidak bisa lagi dilakukan, dan ada hal-hal yang harus berubah. Salah satunya adalah kebiasaan berlibur atau traveling. Pandemi Covid-19 mengharuskan orang untuk tetap di rumah, atau setidaknya mengekang niat untuk banyak-banyak berjalan.
Jadilah mereka yang terbiasa berwisata atau traveling untuk sementara terpaksa menahan hasrat untuk berjalan. Kaki mulai gatal, rasa bosan mulai mengekang. Tapi bagaimana lagi, ada kepentingan besar yang harus jadi prioritas. Kegiatan traveling untuk sementara disimpan dulu dalam hati.
Sebenarnya bukan hanya para pengembara ini yang merasa kakinya gatal kepengen jalan. Mereka yang tidak terbiasa traveling pun nampanya mulai bosan kebanyakan di rumah. Mulai membayangkan kapan bisa berjalan jauh, keluar rumah, keluar kota, atau bahkan mungkin keluar negeri. Menikmati liburan sejenak, keluar dari rutinitas beberapa bulan ini yang terasa cukup mengekang.
Sudah banyak orang yang mengakui itu, betapa mereka sangat rindu untuk berlibur. Maka sepertinya bila situasi sudah diumumkan normal kembali, tempat-tempat wisata akan kembali ramai dikunjungi orang. Mereka yang sudah bosan dengan situasi mengekang ini pasti akan melampiaskan kerinduan mereka. Menyambangi tempat-tempat wisata yang selama ini hanya bisa dirindukan.
Merindukan Maluku.
Saya juga termasuk orang yang rindu berjalan jauh. Sudah beberapa bulan ini saya yang biasanya harus ke kabupaten hampir setiap bulan, sekarang hanya mengeram di kamar kos, di kota Jayapura. Tidak ada lagi arahan untuk ke kabupaten, tidak ada adegan ke bandara, check in, naik ke pesawat, naik mobil melintasi jalanan panjang berliku, dan bertemu orang-orang baru. Tidak ada.
Saya tiba-tiba jadi merindukan suasana seperti itu yang kadang terasa melelahkan ketika dijalani, tapi juga sangat menyenangkan karena memberi suasana baru, dan tentu saja pengalaman baru.
Karena lama tidak keluar rumah dan turun ke jalan, saya yang sebenarnya tidak terpikir untuk berwisata sekarang malah terpikir untuk berwisat. Rindu untuk turun ke jalan bukan karena tugas, tapi karena ingin menikmati waktu senggang.
Lalu, tempat mana yang saya rindukan?
Beberapa hari yang lalu tiba-tiba saya terpikir Maluku. Saya rindu Maluku. Tempat yang saya datangi di tahun 2015 bersama Mamie. Pulau para raja yang setelah saya datangi ternyata menyisakan banyak cerita indah yang pantas untuk dikenang.
Tapi kenapa saya merindukan Maluku?
Pertama, tentu saja karena alamnya. Buat yang belum tahu, Maluku itu terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang tentu saja namanya pulau jadi dikelilingi oleh lautan. Lautan biru yang teduh dan jernih dengan pemandangan yang memuaskan mata dan jiwa.
Saya tidak akan melupakan sensasi duduk di teras penginapan di Sawai, penginapan dari kayu yang berdiri di atas lautan. Angin laut menerpa wajah, seperti mengelus pipi dengan lembut. Anak rambut beterbangan ditiup angin. Di depan mata, lautan biru menghampar luas. Warnanya bergradasi dari biru muda ke biru tua. Di bagian biru muda yang berada tepat di depan mata, koral terlihat jelas. Warna-warni dengan ikan-ikan kecil yang bermain-main di sekitarnya. Sesekali ikan besar juga ada, melintas dan membubarkan kawanan ikan kecil yang asyik bermain itu. Rasanya saya bisa tahan menikmati itu hingga akhir hayat.
Ada juga momen ketika saya membasahi badan di air laut yang asin dan dingin, menyelam beberapa meter ke bawah, melihat dari dekat koral dan ikan-ikan itu, lalu tidur di atas pasir putih. Membiarkan tubuh terbakar matahari, dihempas ombak, basah, dan kering sendiri dalam perjalanan pulang di atas perahu.
Itu adalah pengalaman yang tak terkira, yang membuat saya jatuh cinta pada Maluku.
Kedua, saya merindukan senyum tulus dan keramahan orang Maluku. Banyak yang bilang orang Maluku itu keras, di Jakarta mereka bahkan ditakuti. Mereka yang bilang begitu harus melihat langsung orang Maluku di tanah mereka. Di sana mereka berubah jadi orang yang lembut, penuh dengan senyum manis yang tulus, dan keramahan yang tidak dibuat-buat.
Saat makan ikan di depan pelabuhan Tulehu, seorang mama penjual ikan mempersilakan kami menikmati cakalang asar di los kosong yang tak ditempati. Dia bahkan menyuruh anaknya membeli minuman botol untuk kami. Selama makan dia dengan ramah menemani kami mengobrol, dengan ramah menjawab pertanyaan kami. Tapi bagian paling mengejutkan adalah ketika dia menolak pembayaran kami. Hanya karena kami bercakap-cakap dengannya, kami dianggapnya tamu yang pantang untuk ditarik bayaran. Setelah kami memaksa, barulah dia mau menerima uang yang saya sodorkan.
Di kota Ambon, seorang anak mendekati kami. Meminta maaf karena tadi dia salah memberi informasi tentang gedung yang kami tunjuk.
“Tante jang marah e, beta tadi ada salah kas tau. Itu bukan kantor gubernur, itu kantor DPRD,” katanya. Saya takjub, anak manis itu sampai merasa bersalah karena salah memberi informasi padahal itu bukan kesalahan fatal. Manis sekali.
Ketiga, ikan bakarnya. Sebagai anak pantai, saya pasti sangat menyukai ikan apalagi olahan ikan bakar. Tidak perlu banyak bumbu. Hanya ikan saja yang dibakar dengan minyak kelapa dan disajikan dengan sambal dan lalapan sederhana. Sudah cukup untuk menuntaskan rasa lapar, dan bahkan lebih. Ikan di Maluku sangat segar, dagingnya empuk dan cenderung manis. Ikan di Makassar juga ada yang sama segar dan manisnya, tapi daging ikan di Maluku entah kenapa memberi sensasi berbeda. Sungguh tidak tertandingi. Lagipula, harganya murah. Sangat murah bahkan jika dibandingkan dengan ikan di Makassar.
*****
Ketiga kombinasi mematikan di atas sukses membuat saya merindukan perjalanan ke Maluku. Menikmati pantainya, menikmati keramahan orang-orangnya, dan menikmati makanan lautnya. Maluku saat ini menjadi top of mind saya ketika ditanya tempat apa yang ingin saya datangi seandainya pandemi Covid-19 telah berlalu.
Mungkin satu-satunya yang menjadi tantangan ketika berkunjung ke Maluku adalah karena infrastruktur pariwisata yang belum sebagus tempat lain seperti Bali atau bahkan Makassar. Salah satunya adalah sulitnya mencari penginapan dengan sistim booking online. Mencari penginapan dengan sistim booking onlie di Bali atau Makassar termasuk mudah, ada banyak pilihan online booking seperti RedDoorz yang sudah terbukti kualitasnya. Tapi tidak di Maluku. Mencari penginapan mudah dengan berbekal internet hanya mudah kita dapatkan di kota besar seperti Ambon, tapi tidak di tujuan wisata seperti Sawai yang pernah saya datangi.
Bagaimanapun keadaannya, tapi Maluku selayaknya jadi salah satu pilihan untuk berwisata di Indonesia. Jika pada akhirnya pandemi ini berlalu, kalian yang belum pernah ke Maluku bisa mencoba untuk berkunjung ke sana. Cobalah, dan rasakan bagaimana tanah para raja itu benar-benar meninggalkan kesan untuk kalian. Kesan yang tak akan terlupakan. Kalau kamu, maunya ke mana selepas Corona? [dG]
Oh tempat indah itu. Saya ke Sawai, ke penginapan Pak Ali, bertolak dari halaman belakang sebuah rumah. Di Sawai sempat naik ke Manusela, dijamu Buce, penjaga yang dulu penangkap burung liar. Pantai Ora? Wow!
Tapi saya waktu itu tidak nginap di situ, nginapnya di penginapan yang baru.
Indah ya , masya Allah.
Saya masih menikmati di rumah saja karena semua anggota keluarga lengkap. Ndak kebayang kalau kayak Daeng Ipul yang masih terpisah dengan keluarga.
Oya, sudah mi saya tulis Liebster Award, nah, Daeng. Saya baru publish 31 Mei. Sila ….
Siap kak, terima kasih.. segera meluncur hehehe
ah, Maluku.. memang cantik sekali daerah itu.. salah satu bucket list saya adalah menyelam di sana, karena konon katanya di Maluku, lautnya tak kalah cantiknya!
Selepas korona menghilang, aku sudah punya rencana (harusnya tahun ini, tapi tertunda).
Ke Makassar, muter-muter di sana seharian, ambil yang dekat-dekat saja. Setelah itu naik bus ke Sulbar, ketemu saudara di sana sambil ziarah di makam latok, lanjut ke Palu. Baru pulang ke Jogja, dari Palu,
hahahahhaha
Membaca ikan bakar, sontak perutku lapar. Haha.
Sepertinya aku juga pengen pesen tiket ke Maluku dan pergi ke sana ketika pandemi corona ini selesai.
Btw, salam kenal dari Jawa.
Sempat kepikiran mau ke Binaiya sih, Daeng. Kalau bisa, sekalian mampir ke Latimojong dulu abis itu baru lanjut naik kapal ke Maluku. 😀 Ah, tapi kayaknya ujung terowongan masih jauh ini.
Cerita Daeng ini bikin saya makin penasaran untuk ke Maluku. 😀
Ketika Pandemi Covid-19 berakhir, saya ingin maluku.. khususnya di Kei (Maluku Tenggara), karena ingin menginjakkan kaki di pantai pasir putih panjang dan merupakan pantai dengan pasir terhalus no 2 di dunia setelah Dubai…. suatu kebanggaan tersendiri yg dimiliki oleh Indonesia..
Salam Saya,
Jadi pengen ke maluku juga,
Oh ya Pernah ke tanah mandar gak kak?
Mandar pernah dong, ke Majene, Polewali, sama Mamuju yang paling sering
Mmmm,, sdah jalan k mana aja waktu d mandar kak?
Lain kali mampir di rumah kak nanti saya ajak ke tempat2 keren di sulbar
nyaman na , siap- siap mi jalan terus