Selamat Merayakan Idul Fitri Yang Tak Biasa

Pagi-pagi selepas salat subuh saya masih bermalas-malasan di kamar sambil melihat-lihat smart phone. Seorang tetangga kos tiba-tiba mengetuk jendela yang memang terbuka. Wajahnya muncul sedikit dari jendela.

“Mau salat ied nda?” Tanyanya.

 “Memangnya ada?” Saya bertanya balik.

“Katanya di komplek sebelah ada,”

“Wah, nda deh.”

“Nda salat ied?”

“Nda, kayaknya saya di kamar saja.”

Dia kemudian mengangguk dan berlalu. Saya tidak tahu apakah akhirnya dia salat ied atau tidak. Tapi saya memang tetap tinggal di kamar dan tidak kemana-mana.

*****

Idul Fitri tahun ini memang jadi Idul Fitri yang berbeda dengan biasanya. Tidak ada kemeriahan seperti yang kerap hadir setiap Idul Fitri. Tidak ada takbir keliling, kecuali di beberapa tempat yang orang-orangnya masih tetap memaksakan diri, dan tidak ada juga salat ied berjamaah kecuali yang dilakukan sembunyi-sembunyi.

Semua karena Covid-19.

Tahun ini juga kedua kalinya saya melewatkan Idul Fitri jauh dari kampung halaman. Pertama kalinya di tahun 2000, di Jakarta. Tapi waktu itu suasanya masih ramai. Masih ada takbir keliling, masih ada salat ied berjamaah. Semua terasa biasa saja, hanya ada jarak yang memisahkan saya dan keluarga besar.

Tahun ini semua berbeda. Sudahlah jarak memisahkan, tak ada juga keramaian yang terasa.

Tapi mungkin karena saya bukan orang yang sentimentil, maka suasana ini saya nikmati biasa saja. Tidak ada rasa haru ketika mendengar suara takbir dari masjid sebelah kosan, tidak ada rasa sedih ketika melihat unggahan orang-orang yang bersuka ria di media sosial. Biasa saja.

Mungkin karena saya terlalu logis. Idul Fitri yang berbeda kali ini adalah buah dari kebijakan pemerintah untuk menekan laju penyebaran Covid-19, dan buat saya itu logis. Keputusan yang logis yang harus saya terima dengan lapang dada. Karena itu, tidak ada rasa sentimentil berlebihan. Biasa saja.

Lagipula, saya masih bisa melewatkan Idul Fitri dengan makanan khas Sulsel koq. Seorang teman di Jayapura menyambangi saya di pagi hari, membawa satu rantang makanan khas Sulsel. Ada coto dan burasa. Cotonya pun enak dan langsung saya habiskan saat itu juga. Beberapa minggu sebelumnya, ibu kos juga memberikan dua toples kue kering khas lebaran. Lumayan jadi cemilan di kos karena saya yakin tidak ada juga orang yang bertamu ke sini.

*****

Idul Fitri tahun ini benar-benar berbeda dengan Idul Fitri biasanya. Bagi saya, dan bagi seluruh umat muslim Indonesia, atau mungkin bahkan umat muslim di dunia. Tapi tak mengapa, toh kita melewati keanehan ini karena ada alasannya. Kita sama-sama berharap semua ketakutan yang dibawa oleh pandemi Covid-19 ini akan cepat berakhir. Kita bisa kembali ke kebiasaan seperti semua, dan mudah-mudahan tahun depan kita bisa melewat Idul Fitri seperti biasa. Bukan lagi Idul Fitri yang aneh.

Selamat merayakan Idul Fitri buat teman-teman yang merayakan. Buat semuanya, saya memohon maaf lahir dan batin jika ada kesalahan kata dan perbuatan. Disengaja maupun tidak. [dG]