Tidak Suka Orangnya Atau Karyanya?


Saya tidak menyukai karya Kekeyi bukan berarti karena saya tidak suka orangnya. Sama sekali tidak ada hubungannya sama fisik.


Semua berawal dari sebuah obrolan di grup WhatsApp. Saya lupa awalnya bagaimana, tapi kemarin (31/5) teman-teman tiba-tiba membincangkan video musik Kekeyi yang jadi trending di YouTube Indonesia mengalahkan video musik Lady Gaga. Judul video musiknya “Keke Bukan Boneka.” Saya sudah menonton video berdurasi 3:25 menit itu dan terus terang saya melewatkan 3:25 menit itu dengan rasa tersiksa. Suara penyanyinya mengganggu, musik videonya menghadirkan pemain dengan wajah yang seakan-akan menyiratkan ucapan, “Nyari duit koq gini amat ya Tuhan.”

Berdasarkan pengalaman itu saya tuliskan di grup dengan kalimat “Dia sama saja kayak YouTuber sampah lainnya.” Dalam kasus Kekeyi ini, saya melihat keseluruhannya adalah sampah. Kenapa? Mereka – siapapun di belakang ide itu – pasti tahu kapasitas suara Kekeyi seperti apa. Tapi mereka tidak peduli, mereka bahkan tidak mau bersusah payah menggunakan autotune untuk memperbaiki kuatitas suara Kekeyi. Karena mereka sadar, kalau suaranya dibuat bagus maka tidak akan ada sesuatu yang bernama sensasi.

Saya tahu, tiap orang punya hak untuk berekspresi atau mengunggah sesuatu yang dia sebut sebagai karya. Tapi, orang lain juga punya hak untuk mengomentari. Dan saya mengomentarinya dalam lingkup kecil, di grup WhatsApp dan bukan di media sosial yang lingkupnya lebih besar. Lagipula, dia tidak rugi juga kalau dihujat seperti itu. Toh, videonya masih ditonton sampai jutaan kali dan tentu uang masih terus mengalir ke kantongnya.

Mereka mungkin berpikir, semakin jelek akan semakin menarik perhatian. Orang akan ramai-ramai menghujatnya, menyebarkannya dengan tambahan beberapa kata yang semakin membuat orang lain penasaran. Penasaran yang berujung pada menonton video tersebut, lalu menambah jumlah views-nya dan ujung-ujungnya yang pendapatan dari iklan makin bertambah. Di sisi lain, nama Kekeyi juga terus dibicarakan dan tidak menguap begitu saja. Ini penting untuk mempertahankan ladang duitnya.

Model-model seperti ini sangat lazim digunakan di zaman sekarang, di era ketika media sosial jadi panggung untuk meraih popularitas dan uang. Bukan hasil karya yang diadu, tapi sensasi.

Saya Membenci Fisik?

Lalu obrolan di grup bergulir. Tahu-tahu topik sudah berpindah ke Tante Ernie. Bagi yang belum tahu, Tante Ernie ini adalah seorang pengguna Instagram yang sekarang pengikutnya sudah satu juta lebih. Dia sosok tante-tante, mungkin 40an tahun, yang masih rajin merawat tubuhnya. Feed Instagramnya penuh dengan foto dan videonya yang mengundang perhatian banyak orang, utamanya kaum Adam. Dia bahkan dijuluki “Tante pemersatu bangsa”.

Saya ikut dalam obrolan tentang Tante Ernie ini karena walaupun saya bukan pengikutnya, tapi saya tidak bohong kalau saya suka melihat fotonya. Salah seorang teman bertanya kepada saya: Apakah menurut saya konten Tante Ernie itu sampah atau bukan? Ketika saya jawab tidak, dia tiba-tiba menuduh saya menerapkan standar berbeda. Saya menyebut konten Kekeyi sebagai sampah, dan konten Tante Ernie bukan sampah semata-mata karena fisik. Dia bahkan menutup kalimatnya dengan “Pret ah.”

Wow sungguh sangat mulia sekali!

Saya langsung terbakar emosi. Ini tuduhan serius buat saya. Saya dituduh membenci dan menyukai seseorang semata-mata karena fisik. Di depan umum pula, di hadapan puluhan anggota grup WhatsApp.

Sepanjang perbincangan tentang Kekeyi saya sama sekali tidak pernah menyinggung soal fisiknya. Saya menyinggung soal karyanya – atau yang saya sebut so called karya. Saya tidak peduli fisiknya seperti apa, karena bukan itu yang tidak saya suka. Saya tidak suka suaranya, saya tidak suka materi video musiknya, dan saya tidak suka cara dia dan manajemennya mencari uang.

Kalau hanya melihat fisik, saya pasti sudah menyukai karya Awkarin di YouTube dengan lagu Bad Girl-nya. Kenapa? Ya tahu sendirilah bagaimana fisik Awkarin. Cantik dan seksi. Tapi saya tidak begitu, saya tetap menganggap karya Awkarin sebagai sampah karena saya punya standar sendiri. Dan itu berhubungan dengan kebiasaan saya mendengarkan musik, temasuk musik-musik rap seperti yang dibuat oleh Awkarin.

Atau kalau memang saya hanya melihat orang dari fisiknya dan bukan karyanya, saya pasti tidak akan suka melihat penampilan komika Dani Aditya. Karena kalian tahu sendirilah bagaimana fisik dia. Tapi tidak, saya menyukai karyanya, tidak peduli sama fisiknya.

Soal kenapa saya menyukai konten Tante Ernie tapi menganggap konten Kekeyi adalah sampah, itu hal berbeda.

Saya membicarakan platform yang berbeda, Instagram dan YouTube. Kekeyi juga punya Instagram dan saya tidak peduli dia bikin konten apa. Saya tidak suka, tapi saya tidak peduli karena setahu saya kontennya adalah tentang kecantikan. Dia membuat tutorial kecantikan atau mengunggah kesehariannya. Saya tidak suka, tapi saya tidak merasa punya hak untuk mencaci apalagi mengomentari fisiknya. Lagipula saya bukan pengguna aktif instagram, jadi saya tidak terlalu peduli apa yang terjadi di sana.

Masalahnya jadi berbeda ketika dia masuk ke YouTube dan mengunggah video musik. Musik adalah sesuatu yang saya sukai, setiap hari saya dengarkan, dan saya akhirnya punya standar sendiri. YouTube juga jadi platform yang saya buka berjam-jam setiap hari. Ibaratnya ini playground saya dan ketika ada yang masuk apalagi menjadi trending saya terpancing untuk mengomentari. Tapi sekali lagi, saya mengomentari hasilnya, bukan orangnya, apalagi fisiknya.

Suatu hari nanti kalau misalnya Tante Ernie bikin video musik dengan kualitas yang jelek, saya juga tidak segan-segan menyebutnya sampah. Karena saya hanya peduli sama apa yang dihasilkan, bukan oleh siapa yang menghasilkan.

Makanya saya sangat tidak terima dituduh menyukai dan tidak menyukai seseorang hanya karena fisiknya.

*****

Sayangnya, setelah melemparkan tuduhan itu si teman langsung menghilang. Entah apakah dia membaca atau tidak pembelaan saya yang penuh dengan amarah. Dia sama sekali tidak berkomentar. Sesuatu yang sangat menyakitkan buat saya karena seperti sebuah tindakan pengecut, melemparkan tuduhan tapi tidak mau mengomentari pembelaan orang yang dia tuduh. Mungkin dia merasa jauh lebih baik dari saya, lebih manusiawi, lebih benar, dan berbagai kelebihan lainnya sampai tidak merasa butuh untuk melihat pembelaan saya. Entahlah.

Setidaknya saya sudah mengutarakan apa yang mengganjal di kepala saya, dan setidaknya saya sudah tahu sifat dia seperti apa.[dG]