Hello (Again) Papua!
Memulai tahun baru dengan tantangan baru. Bukan sembarang tantangan, tapi menjejak tanah Papua.
SEMUA BERAWAL SEKIRA SEBULAN YANG LALU. Kiko –dia tak suka kalau saya panggil kakak, apalagi ibu, manajer di program sebelumnya tiba-tiba memberi tawaran baru ke saya. Ada program baru dari BaKTI yang akan dimulai di awal tahun 2018. Lokasinya Papua, tepatnya berkantor di Jayapura tapi lokasi kejanya di tiga kabupaten; Lanny Jaya, Painai dan Asmat. Durasi kerjanya singkat saja, tiga bulan hingga akhir Maret 2018.
Tawaran ini sangat menarik. Pertama, saya kangen Papua, dan masih selalu menyimpan rindu untuk pulau paling timur Indonesia itu. Kedua, durasinya tidak terlalu lama. Sebelumnya saya sudah pernah ditawari pekerjaan yang sama, di lokasi yang sama tapi dengan durasi yang panjang; satu tahun. Tawaran itu saya tolak dengan berat hati, satu tahun di Papua rasanya terlalu lama untuk orang yang sudah berkeluarga. Lagipula, waktu itu saya sedang menjalani tugas di program lain yang memungkinkan saya mendatangi banyak tempat di Indonesia.
“I love my current job,” kata saya waktu itu.
Tapi, tawaran kedua ini susah saya tolak. Selain karena durasinya masih ramah buat orang yang sudah berkeluarga, juga karena kebetulan program yang sebelumnya sudah berakhir masa kerjanya tepat di Desember 2017. Kloplah, saya tak perlu jadi pengangguran dulu tapi bisa langsung melakoni tugas baru.
Baca juga: Pembangunan Papua Yang Setengah Hati
Setelah berdiskusi dengan Mamie, tawaran itu saya terima. Bismillah, mari kita songsong tantangan baru di tahun yang baru. Keraguan juga sempat datang; bagaimana kalau kelak ternyata saya tidak bisa menjalankan tugas dengan baik? Bagaimana dengan rekan tim yang baru ini? Apakah saya akan cocok dengan mereka? Bagaimana dengan lokasi kerja yang menurut beberapa cerita masih cukup rawan karena dekat dengan pusat OPM? Dan banyak lagi keraguan lainnya.
Tapi, show must go on! Tantangan baru akan membuatmu jadi lebih kuat, kata orang bijak.
Maka seminggu setelah pergantian tahun, saya akhirnya kembali menjejak tanah Papua yang terakhir saya jejaki hampir tiga tahun lalu.
*****
“BU, MASIH ADA KAMAR KOSONG?” Tanya saya pada seorang ibu bermukena yang sedang duduk di dalam sebuah warung.
Saya menebak rumah itu adalah rumah kos. Ada beberapa kamar yang berjejer berhadapan di lantai satu dan lantai dua. Warnanya dominan biru.
“Ada pak, tapi tinggal kamar saja,” jawabnya. Saya taksir usianya awal 40an, agak kurus dengan kulit yang agak cerah. Jelas dia bukan orang Papua.
“Bisa saya lihat bu?” Tanya saya. Si Ibu lalu meminta kunci kepada seorang anak kecil yang ada di dalam warung. Sambil menunggu kunci datang, iseng-iseng saya tanya dia, “Ibu aslinya dari mana?”
“Oh saya orang Bugis-Makassar,” jawabnya.
“Wah sama bu, saya juga dari Makassar,” kata saya menimpali. Obrolan menjadi sangat cair setelahnya, apalagi karena ternyata ibu itu tinggal di daerah yang tidak terlalu jauh dari rumah saya di Makassar. Kesamaan asal di tanah perantauan adalah perekat paling pas, kami bercakap-cakap dengan logat Makassar yang kental. Benar-benar tidak berasa kami berada jauh di tanah Papua.
Kedekatan itu pula yang membuat saya beruntung. Sambil menunjukkan kamar terakhir yang masih kosong yang letaknya paling terpencil, dia berkata, “Sebenarnya ada satu kamar lagi di depan. Tapi saya simpan memang untuk keluarga kalau ada yang datang. Kalau kita’ mau, di sana maki,”
Lalu saya diantar ke sebuah kamar yang berada di depan, tepat di samping kios yang dijaganya. Kamar yang ini lebih bersih dan terawat, tidak seperti kamar yang tadi ditunjukkannya. Sebagai tambahan, dia memperbolehkan saya menggunakan dispenser dan kipas angin yang ada di dalam kamar. Bahkan, sebuah pesawat televisi tabung 12” yang ada di kamar itu juga boleh saya pakai.
“Nanti tinggal pasangkan tv kabel saja,” katanya.
Duh, sungguh beruntung rasanya. Dengan harga Rp.1jt/bulan saya sudah bisa dapat kamar kos berisi kasur, lemari, kipas angin, dispenser dan televisi kalau saya mau. Padahal dengan harga seperti itu saya sejatinya hanya bisa mendapatkan kamar, kasur dan lemari. Kamar mandi memang di luar, kamar kos yang dilengkapi dengan kamar mandi dalam harganya paling murah Rp.1,5jt/bulan. Kamar kos dengan perabotan termasuk AC paling murah Rp.2jt/bulan.
Mahal? Yah, itulah Papua.
Biaya hidup di sini memang lumayan tinggi. Transportasi utamanya. Jarak yang begitu jauh dari pusat Indonesia membuat harga-harga lumayan tinggi, minimal lebih tinggi dari harga-harga di kota besar lain yang dekat dengan Jawa. Barang yang harus didatangkan dari luar pulau, harganya bisa dua kali lipat. Tidak semua, tapi sebagian besar begitu. Untungnya karena makanan tidak berbeda terlalu jauh, memang lebih mahal tapi tidak seberapa mahal.
Sebagai ilustrasi, seporsi nasi dan ayam goreng di warung pinggir jalan (biasa disebut warung sari laut) beserta satu gelas es teh dihargai Rp.30.000,-. Di Makassar, dengan porsi yang sama, harganya Rp.25.000,-. Tidak terlalu mahal, bukan?
Baca Juga: 5 Hal Tentang Papua Yang Mungkin Kamu Belum Tahu
Untuk kamar kos, saya memang memilih kamar kos yang biasa saja. Toh durasi kerja saya tidak terlalu lama, kemungkinan besar hanya sampai Maret 2018. Plus, saya akan banyak dapat kesempatan untuk bepergian ke kabupaten lain dalam waktu yang panjang. Sayang kan kalau ambil kamar yang mahal tapi akan jarang ditempati.
Saat ini saya tinggal di Kotaraja, sebuah wilayah di distrik Abepura yang masih masuk dalam bagian Kota Jayapura. Jaraknya kira-kira 15 km dari pusat kota Jayapura. Kira-kira 30 menit bermotor, atau 45 menit sampai satu jam bermobil. Itu karena jalanan seringkali padat mendekati macet.
Hah? Macet? Papua ada macet juga?
Mungkin sebagian dari kalian bertanya-tanya. Masak sih ada macet juga di Papua? Saya kasih tahu ya, macet untuk kota Jayapura sepertinya sudah mulai jadi kebiasaan baru. Jalanan padat dan kendaraan harus berjalan pelan, apalagi di dalam kota. Sungguh padat.
Jujur, waktu pertama mendarat di kota ini tahun 2014 saya pun tak menyangka kalau Jayapura ternyata sangat ramai dan besar. Ada mall (lengkap dengan Cinema XXI), ada Pizza Hut (bahkan di distrik Abepura pun ada), ada Gramedia, dan bahkan ada kemacetan.
Jadi, buang jauh-jauh pikiran kalian yang menggambarkan kota Jayapura sebagai kota yang sepi, jauh dari modernitas, apalagi membayangkan kota yang dihuni orang-orang berkoteka. No way! Itu bukan Jayapura yang sebenarnya. Kata Afdhal – teman setim saya – Jayapura lebih ramai dari Kendari.
*****
JADI, INILAH SAYA. Awal tahun 2018 memulai tantangan baru. Berada di tanah Papua yang selalu membuat saya penasaran. Saya masih meraba-raba petualangan dan cerita seperti apa yang akan saya temui kelak jika beranjak ke Paniai atau Lanny Jaya. Saya sudah tidak sabar, ingin tahu apa yang akan saya temui di sana nanti.
Hello Papua! Please be kind to me.
Dan teman-teman, nantikan cerita-cerita menarik tentang Papua di blog ini. [dG]
Selamat berpetualang di Papua, daeng Ipul, ditunggu nokennya #eh maksudku cerita-ceritanya 🙂
hahaha siap bu, noken bisa dipesan dari sekarang
kalau mau ada yang bagus harga 3jtan
Sepertinya seprei yang kemarin diposting bakal jadi cerita di blog ini 😀
Selamat bekerja daeng, siapa tahu banyak pengalaman yang kembali dapat dituAngkan dalam bentuk tulisan 😀
siap mas, mudah-mudahan akan ada banyak cerita dari tanah Papua ini hehehe
semoga betah, daeng.
Papua sudah tidak seperti yang kebanyakan orang pikir (tertinggal)
ditunggu ceritanya bersama pace mace
Ini aku komentar kok duplikat ya.. tapi komentar pertama gak keluar
betul Slam, kalau kota-kota besar di Papua sih sudah ramai dan gak seperti yang dibayangkan orang dulu
Untungnya masih ada Gramedia di sana. Penasaran sama cerita-cerita lainnya, semoga bisa sering menulis selama di sana yah Daeng Ipul… Sampai ketemu lagiiii…. *hallah XD
hahaha iyya ada Gramedia, tapi jauh dari rumah kosku
Pengen juga punya kerjaan keliling Indonesia, dengan durasi sebentar, Semoga dikabulkan Amin.
Ditunggu kelanjutnya daeng, walau cuba baca terkadang gak komen, mlipir…
aminnn semoga bisa terkabul ya mas