Berdesakan Di Penanjakan
Dibangunkan jam 1 dini hari untuk kemudian ikut sebuah tur pasti butuh alasan kuat. Setidaknya, tujuannya harus benar-benar menggoda.
Jam 1 dini hari idealnya adalah waktu yang pas untuk berkawan dengan bantal dan selimut serta mungkin satu episode mimpi. Tapi hari itu saya menjalaninya dengan berbeda. Jam 1 dini hari saya terpaksa bangun dan memanggul ransel untuk kemudian ikut dalam sebuah perjalanan panjang keluar dari kota Malang.
Keluar dari hotel udara dingin langsung menyergap. Malang memang sejuk dan cenderung dingin. Sehari sebelumnya ketika keluar dari stasiun kota baru kabut masih menyelimuti kota yang terkenal dengan apelnya ini. Seorang lelaki tua bertopi menyambut kami di lobby hotel. Dialah aktor yang menculik kami di dini hari yang masih dingin itu.
Bromo adalah tujuan kami. Sudah lama saya penasaran pada gunung itu, fotonya sudah sangat sering saya lihat menghiasi kartu pos, kalender, brosur wisata dan media-media lainnya. Seorang kawan pernah membuat foto yang sangat fantastis dari gunung yang berada di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur itu. Foto itu dan berderet alasan lain menjadi alasan saya untuk mengiyakan ajakan melihat langsung Gunung Bromo.
Jalanan masih sepi, apalagi ketika mobil Chevrolet Trooper yang membawa kami ke Gunung Bromo mulai memasuki kawasan yang berliku-liku. Tujuan pertama kami adalah Gunung Penanjakan, tempat paling pas untuk menikmati matahari terbit di Gunung Bromo. Gunung Penanjakan berada tepat di seberang Gunung Bromo, dari sana kawah Gunung Bromo terlihat jelas.
Jalanan makin berliku dan menanjak, saya sebenarnya agak kuatir mengingat waktu yang masih dini hari. Waktu yang tepat untuk tidur. Saya kuatir sang supir masih mengantuk. Tapi saya terus meyakinkan diri kalau sang supir adalah orang yang profesional.
Kami makin dekat ke Gunung Penanjakan. Jalur terdekat untuk sampai ke kawasan Gunung Bromo adalah desa bernama Cemara Lawang. Di sana sudah ada puluhan mobil jip yang sebagian besarnya adalah Toyota Hardtop. Untuk sampai ke view point di Gunung Penanjakan dan Gunung Bromo pengunjung memang harus menggunakan jip. Mobil selain jip pasti akan kesulitan karena medan yang berat.
Beruntung karena mobil yang kami tumpangi adalah mobil sejenis jip dengan 4WD, jadi kami tidak usah berpindah ke jip sewaan yang menunggu di Cemara Lawang. Sang supir benar-benar sudah menguasai medan, termasuk bernegosiasi dengan seseorang yang sempat melarang mobil kami naik ke Penanjakan. Mungkin ini salah satu trik supaya pengunjung menyewa jip yang terparkir di sana. Melihat banyaknya Hardtop yang terparkir di sana saya sempat berseloroh, ternyata di sinilah perginya hardtop-hadtop yang dulu memang sangat ngetop itu.
Disambut tukang ojek
Setelah melalui negosiasi pendek yang disertai sedikit tipuan dari supir kami, perjalanan dilanjutkan. Kami makin dekat menuju view point di Penanjakan. Chevrolet Trooper yang kami kendarai akhirnya berhenti, di depan kami sudah ada puluhan Hardtop yang parkir. Jalan ramai oleh pejalan kaki dan puluhan motor. Mobil tidak bisa lanjut lagi, kami harus turun.
Beberapa tukang ojek langsung merubungi kami, menawarkan jasa mengantar menuju view point dengan bayaran Rp. 20.000,- per orang. Sang supir kami memberitahu kalau lokasi view point sudah dekat, bisa dijangkau dengan jalan kaki. Kami akhirnya memilih untuk berjalan kaki, toh banyak juga orang yang memilih berjalan kaki termasuk rombongan wisatawan asing. Beberapa tukang ojek tampak kesal ketika kami berkeras menolak jasa mereka. Raungan motor mereka jadi penanda kekesalan.
Tukang ojek itu memang agak menganggu kalau menurut saya. Jumlah mereka terlalu banyak, rata-rata menggunakan motor besar sekelas GL Pro atau RX King. Suasana jadi gaduh ditambah asap knalpot mereka yang membuat udara yang seharusnya segar jadi tercemar. Belum lagi ditambah teriakan dan suara klakson mereka ketika meminta jalan. Benar-benar bertolak belakang dengan suasa alam yang teduh, sepi dan dingin menggigit.
Yah, dingin menggigit adalah kata yang pas untuk menggambarkan cuaca dini hari itu. Jari-jari tangan saya terasa kaku meski sudah saya sembunyikan di dalam jaket. Karena tidak tahan akhirnya saya memutuskan untuk membeli kaos tangan di warung pinggir jalan seharga Rp. 5.000,-
Di sebelah kiri jalan memang berderet warung-warung sederhana. Selain menjajakan makanan dan minuman mereka juga rupanya menjual sarung tangan, syal, penutup kepala, cindera mata berupa kaos dan juga menyewakan jaket tebal. Saya hanya membeli kaus tangan, jaket yang saya bawa cukuplah untuk menghalau dingin.
Supir kami benar, jalan menuju view point memang tidak terlalu jauh. Mungkin tidak sampai 200 meter. Kami meniti anak tangga menuju view point. Beberapa pedagang bunga edelweis menawarkan dagangannya. Beberapa orang juga menawarkan senter untuk menerangi jalan yang memang masih gelap. Di sebelah kiri anak tangga ada beberapa warung makan yang sudah dipenuhi pengunjung yang menghangatkan diri dengan segelas minuman hangat atau mi instan.
Berdesakan menanti mentari
Menantikan matahari terbit di Gunung Bromo konon adalah sebuah pengalaman yang menakjubkan dan sepertinya banyak yang setuju. Buktinya,ketika tiba di view point ?suasana sudah seperti pasar saking ramainya. Semua sisi sudah dipenuhi manusia hingga rasanya sulit untuk mencari posisi terbaik memotret matahari terbit. View point Gunung Penanjakan terdiri dari 3 pelataran. Selain pelataran paling atas yang paling ramai, masih ada 2 pelataran lagi di bawahnya. Sebuah menara yang mungkin menara komunikasi berdiri kokoh di pelataran kedua.
Karena pelataran pertama terlalu ramai akhirnya kami memutuskan untuk turun ke pelataran kedua yang tidak terlalu ramai meski pemandangannya mungkin kalah spektakuler dari pemandangan pertama. Tak apalah, kami masih bisa merapat ke pagar pembatas. View point Gunung Penanjakan memang dibatasi pagar setinggi kurang lebih 1,5 meter untuk menjaga agar pengunjung tidak sampai terjatuh ke jurang di depan.
Perlahan-lahan matahari mulai terbangun. Semburat sinarnya membuat pemandangan mulai terlihat jelas. Di depan kami Gunung Bromo sudah terlihat samar-samar. Di bagian bawah terhampar padang pasir atau segara wedi dalam bahasa Jawa. Nama Bromo diambil berdasarkan nama dewa Brahma, salah satu dewa terpenting dalam agama Hindu. Tingginya 2,329 meter, masih lebih rendah dari tempat kami berdiri yang setinggi 2.770 meter. Gunung Bromo adalah gunung berapi yang masih aktif, bahkan di awal tahun 2011 gunung ini masih sempat terbatuk-batuk.
Ketika matahari makin terang, tempat kami berdiri juga semakin ramai. Rasanya tak ada seorangpun yang berniat melewatkan momen ketika sang surya makin garang di sebelah kiri Gunung Bromo. Bias warna kemerahan yang berbaur dengan warna biru langit memang sangat menyejukkan mata. Tak heran kalau berjenis-jenis kamera tak henti-hentinya mendokumentasikan kehadiran sang matahari. Mulai dari kamera DSLR, kamera saku hingga kamera dari handphone.
Gunung Bromo juga mulai terlihat jelas. Saya langsung teringat pada puluhan atau mungkin ratusan foto yang sudah pernah saya lihat. Rupanya begini rasanya melihat sendiri keagungan Gunung Bromo itu. Saya hanya mengambil foto seadanya, sulit menemukan posisi yang pas untuk memotret Gunung Bromo karena padatnya manusia yang punya maksud yang sama. Beberapa kali tangan saya kena senggol orang yang berlalu lalang.
Kembali disambut tukang ojek
Sepertinya memang bukan ide yang baik mengunjungi Gunung Bromo di waktu padat seperti ini. Apalagi kalau anda berniat untuk memotret sesuatu yang berbeda dari penampakan Gunung Bromo. Padatnya manusia membuat kita sudah bergerak, apalagi kalau berniat untuk berfoto narsis dengan latar Gunung Bromo. Setidaknya anda harus sabar menanti giliran karena ratusan orang lain juga punya niat yang sama.
Matahari makin terang, semburat yang tadi terlihat dramatis mulai hilang. Gunung Bromo kemudian terlihat biasa saja. Rupanya Gunung Bromo memang tampak lebih indah ketika matahari masih malu-malu di ufuk timur. Pengunjung yang lain mungkin berpikiran sama seperti saya hingga kemudian memilih untuk menyudahi episode menanti mentari terbit. Suasana mulai sepi, minimal lebih sepi dari yang sebelumnya. Kami baru bisa lebih leluasa memotret, termasuk memotret sisa semburat merah matahari di atas kabut.
Setelah puas, kami juga memutuskan untuk turun dan kembali ke mobil. Dari atas Gunung Bromo sudah terlihat biasa saja, bagaimana kalau kita lihat dari dekat? Itu tujuan berikutnya. Turun dari view point kami langsung disambut tukang ojek yang sudah memarkir motor berderet di depan tangga. Pengunjung yang sudah meluber ditambah dengan tukang ojek yang juga tak kalah banyaknya benar-benar membuat suasana pagi di pegunungan menjadi tidak nyaman. Hilang sudah gambaran saya tentang suasana pegunungan yang sepi dan syahdu.
Kalau benar-benar ingin menikmati matahari terbit dari Gunung Penanjakan, sepertinya kita harus datang bukan di musim liburan agar tak perlu berdesakan dan bisa lebih meresapi fenomena alam yang indah itu. Kemudian bagaimana dengan kunjungan langsung ke Gunung Bromo? Akan saya ceritakan nanti.
[dG]
Dan tahun baru kemarin gagal ke sana hehehe
kamu sih, gak ikut sama Okky 😀
Aku kemarin gak lewat Penanjakan, Daeng. Walau katanya kan di sini femes banget. Aku di Mentingan, less crowded, dan gak kalah cantik 🙂
saya gak tau sih, cuma ngikut tur dibawa ke mana aja 😀
huaaaa….penasaran pengen ke bromo juga….berapa duit paket turnya deng ipul?
harga turnya 1.2jt, kalo dibagi banyak ya jelas lebih murah. maksimalnya kalo ndak salah 6 orang.
tapi Nanie taun lalu ke Bromo katanya cuma bayar Rp. 100rb/orang karena total 15 orang ki
1,2 itu include apa saja?
1.2 jt termasuk jeep, antar-jemput dari penginapan (sekitaran Malang), sarapan, tiket masuk t4 wisata dan kunjungan ke beberapa tempat: pananjakan, bromo, pasir berbisik & bukit teletubbies.
tidak termasuk sewa kuda dan ojek
Indah sekali……