Agats; Hidup di Atas Papan
Sebuah ibukota kabupaten yang unik, berbeda dengan kebanyakan ibukota kabupaten lain di Indonesia
MATAHARI MENYENGAT, posisinya hampir tepat di atas ubun-ubun. Boat yang kami tumpangi merapat di dermaga kecil di tepi kota Agats. Perjalanan selama dua puluh menit dari Ewer cukup menyenangkan, melintas di atas sungai lebar berwarna cokelat dengan hutan bakau di tepinya. Konon, sungai itu masih dihuni buaya. Namanya juga hutan Papua. Beruntung karena pagi itu buaya-buaya itu tidak memunculkan moncongnya. Sepertinya mereka malu-malu melihat saya melintas.
Begitu turun dari boat, kami meniti tangga kayu ke bagian atas dan langsung bertemu dengan lantai papan. Itu hanya awal, karena selanjutnya papan adalah kawan akrab kami sepanjang tinggal di Agats.
Iya, orang Agats hidup di atas papan.
Sekujur kota dipenuhi papan. Dari rumah, jalanan sampai lapangan di depan sekolah dan lapangan utama di dekat pasar. Semua di atas papan. Hanya jalan utama yang bagian atasnya dilapisi beton, seakan-akan jalan raya beton seperti yang biasa kita temui di kota-kota lain. Jalanan berlapis beton itu berdiri di atas konstruksi besi menggantikan jembatan papan yang lebih dulu ada.
“Sekarang sudah bagus, dulu kalau kita jalan itu harus menunduk karena papannya bolong-bolong. Jalan sambil berdoa,” kata ibu Angel Manembu yang pernah lama bekerja di WWF dan sudah wara-wiri Papua.
Menurut penuturan warga, konstruksi jalan beton itu mulai dibangun sejak tahun 2015 dan selesai tahun 2017. Sampai sekarang pembangunan masih terus dilaksanakan karena belum semua jalan di kota Agats berlapis beton. Sisanya masih berupa jalan papan.
Agats memang unik. Berdiri di atas tanah berawa, tidak ada pilihan lain untuk tidak memilih papan sebagai landasan. Sejauh mata memandang, tanah di sekitar Agats memang terlihat basah dan berlumpur. Hampir tidak mungkin membangun sebuah kota seperti kota-kota lain di Indonesia yang berdiri di atas tanah.
Baca juga: Berlayar ke Asmat
Agats adalah kota tua yang dibangun oleh Belanda di awal tahun 1900an. Di tahun 1936, pemerintah kolonial Belanda membangun pos pemerintahan di Agats. Belanda juga mengangkat Felix Maturbong sebagai bestir assistant di Agats (tahun 1938-1943). Felix juga yang kemudian banyak mendatangkan orang dari Kei untuk mulai membangun kota itu. Sejak itulah, Agats mulai terbentuk. Konon, namanya berasal dari bahasa Asmat Akat yang berarti baik atau bagus. Karena kesulitan menyebut Akat, orang Belanda kemudian menyebutnya Agats. Nama yang bertahan sampai sekarang.
Salah satu komoditas di Asmat yang paling dicari sebelum periode milenium adalah kayu gaharu. Ramainya pencari gaharu itu ikut berkontribusi pada semakin ramainya kota Agats. Memasuki masa milenium, stok gaharu sudah jauh menipis tapi kota Agats sudah terlanjur ramai.
Dalam kisah yang lain, ada juga kisah tentang seorang pastor Belanda bernama Jan Smith. Konon sang pastor meninggal karena terbunuh. Sebelum meninggal, sang pastor sempat mengucapkan kalimat yang diartikan sebagai kutukan. Seluruh wilayah Papua bagian selatan termasuk Agats akan terus berupa rawa dan basah. Sampai sekarang masyarakat di Agats masih percaya pada mitos kutukan itu. Mereka percaya, kutukan itulah yang membuat Agats selamanya menjadi tanah yang basah dan berawa.
Dibandingkan kota atau wilayah lain di pegunungan, Asmat dan Agats termasuk aman. Tidak ada gangguan dari “tiga huruf” seperti yang pernah saya temui di Lanny Jaya.
*****
SORE ITU SAYA DUDUK DI TEPI LAPANGAN YOS SUDARSO, tidak jauh dari pasar buton-buton. Disebut pasar buton-buton karena memang sebagian besar pedagang di sana berasal dari etnis Buton, bercampur dengan etnis Bugis dan Makassar.
Meski namanya lapangan, tapi jangan membayangkan bentuknya seperti lapangan di tempat lain di Indonesia yang berupa tanah lapang yang luas. Lapangan Yos Sudarso berupa hamparan papan yang luas dan berderak setiap kali orang yang berdiri di atasnya bergerak. Apalagi sore itu belasan anak muda bermain sepakbola dengan penuh semangat.
Krak! Krak! Krak! Suara derak papan menggema setiap kali para pemain sepakbola itu bergerak di atas papan.
Meski bermain di atas papan, tapi para pesepakbola itu nampak sangat menikmati permainan. Sesekali bola menjadi sangat liar dan susah diprediksi karena permukaan lapangan papan yang tidak rata. Permainan sepakbola mereka memang tidak sempurna karena rasanya tidak mungkin mereka melakukan sliding tackle, karena itu sama saja dengan menyakiti diri sendiri. Kiper pun bergerak agak terbatas. Mau mencoba melompat sambil buang badan menangkap bola? SIap-siap saja badan sakit atau bahkan terluka. Jadi, lupakan saja akselerasi layaknya pemain bola di lapangan rumput.
Tidak jauh dari lapangan Yos Sudarso juga berdiri sebuah sekolah dasar. Lapangannya pun terbuat dari papan. Pun dengan gedung sekolahnya. Bahkan rumah sakit umum Asmat pun berdiri di atas papan. Pokoknya semua bangunan yang terbuat dari papan berdiri di atas papan. Benar-benar kehidupan di atas papan.
Di antara bangunan dan di tepi jalan papan berdiri kokoh beragam pohon. Sungai-sungai kecil juga meliuk menembus kota, mengalir di bawah jalan papan. Satu-dua perahu sesekali melintas, hampir seperti kota Venesia dalam skala yang lebih kecil.
Baca juga pengalaman berpuasa sebagai minoritas di Asmat di sini.
Sebagai kota yang dibangun di atas rawa berlumpur, air bersih jadi tantangan utama. Hampir tidak ada sumber air bersih di dekat kota Agats sehingga warga sangat bergantung pada air hujan. Untungnya karena hujan sangat rajin menyambangi kota Agats, hampir setiap hari. Hujan sebentar saja berarti anugerah yang tak terhitung, tandon penampungan air penuh dan artinya warga bisa mandi seperti biasa.
“Pernah juga hampir dua bulan tidak hujan. Waktu itu susah sekali, terpaksa kita mandi di laut dan bilas-bilas di rawa,” kata om Beni, pria campuran Kei – Merauke yang menjaga penginapan tempat kami menginap.
Sampai sekarang, pemerintah daerah Asmat masih terus mencari cara untuk mengadakan air bersih. Baik itu menyuling air asin, sampai mencari titik sumber air terdekat yang bisa dialirkan ke Agats. Sampai saat itu tiba, untuk sementara warga Agats masih bergantung pada curah hujan.
*****
SEPINTAS MOTOR ITU BENTUKNYA SAMA dengan motor matic pada umumnya. Bedanya hanya pada bahan bakarnya. Kalau motor matic biasa bahan bakarnya dari bensin, maka motor itu bahan bakarnya listrik. Motor-motor seperti itulah yang berseliweran di kota Agats. Nyaris tanpa suara dan tentu saja tanpa asap buangan.
Dengan aki sebagai penampung daya, motor itu butuh di-charge kira-kira tiga sampai enam jam tergantung besar akinya. Kalau aki penuh, motor bisa dipakai sampai jarak sekira tujuh kilometer dengan kecepatan maksimal 30 km/jam. Tapi jarak itu tidak tentu, tergantung berat penggunanya juga.
“Kalau macam saya, jalan ke pelabuhan dan pulang itu motor sudah pelan,” kata Om Edo, penjaga penginapan yang lain yang berbadan super gendut. Saya taksir berat badannya lebih 100 kg.
Menurut keterangan Asisten I Setda Kabupaten Asmat, Yustus Kakom, motor listrik itu pertama kali masuk ke Agats sekitar tahun 2005. “Waktu itu saya kepala dinas pendapatan daerah. Saya datangkan dua motor listrik dari Surabaya,” kata Yustus. “Motor listrik waktu itu masih kombinasi (ada pedalnya). Jadi kalau listriknya habis ya dipakai seperti sepeda,” lanjutnya.
Menurutnya, warga mulai mengadakan sendiri motor listrik mulai tahun 2009 dan semakin masif sejak tahun 2015 ketika jalanan beton sudah mulai hadir di Agats. Kehadiran motor listrik yang rata-rata didatangkan dari Surabaya ini diakomodir secara penuh oleh pemerintah daerah Asmat. Pemda mengeluarkan peraturan daerah (Perda) yang melarang hadirnya kendaraan berbahan bakar bensin di kota Agats. Bahkan ambulans milik rumah sakit pun bertenaga listrik.
Hanya ada tiga kendaraan berbahan bakar bensin di Agats. Dua adalah motor pengangkut sampah dan satu lagi moto pemburu milik polisi.
Tidak semua warga punya motor listrik, jadi bagi yang tidak punya motor atau para pendatang mereka bisa menggunakan jasa tukang ojek yang banyak berseliweran. Tukang ojek ini bisa dikenal dari rompi mereka yang berwarna kuning dan biru dengan tulisan OJEK. Untuk jarak yang tidak terlalu jauh mereka memasang tarif Rp.10.000,- sementara jarak yang jauh mereka menagih Rp.20.000,-. Bagaimana menentukan jarak dekat dan jauh? Yaa, kira-kira saja. Tidak ada batasan pasti mana yang dimaksud dekat, mana yang dimaksud jauh.
Motor-motor listrik ini tidak memiliki STNK. Namun, tiap motor wajib untuk dilaporkan ke dinas perhubungan dan mendapatkan plat nomor dari bahan akrilik. Satu motor diwajibkan membayar pajak Rp.150.000,- per tahun untuk plat hitam atau motor pribadi, dan Rp.300.000,- per tahun untuk motor plat kuning atau ojek.
Kehadiran motor listrik ini melengkapi uniknya kota Agats. Sudah berdiri di atas papan, kendaraannya pun seragam, tanpa suara dan tanpa asap buangan. Kadang di malam hari kita harus berhati-hati berjalan karena motor-motor ini bisa saja ada di belakang kita tanpa kita tahu. Belum lagi rata-rata motor itu tidak menyalakan lampu di malam hari. Mungkin untuk menghemat listrik.
*****
BILA MENGIKUTI LOGIKA ORANG KOTA, mungkin kita akan berpikir; kenapa mereka mau tinggal di atas tanah berawa yang berlumpur itu? Tanpa air bersih pula. Kenapa mereka tidak pindah saja dan mencari tanah datar yang lebih kering dan punya mata air?
Pertanyaan itu sempat juga muncul di kepala saya. Tapi, logika mereka tentu berbeda dengan kita. Tanah itu adalah tumpah darah mereka, akar kehidupan sudah menancap jauh ke dalam tanah berlumpur itu. Tentu tidak mudah untuk meninggalkannya. Mereka bertahan di sana, seburuk apapun keadaannya. Bagi para pendatang, kemungkinan untuk mencari hidup di kota di atas papan itu adalah pilihan. Mungkin itu pilihan yang lebih baik dari pilihan lain yang mereka punya. Setidaknya, mereka tidak akan merasakan menjadi korban banjir.
Itulah Agats, ibukota Kabupaten Asmat dengan segala keunikannya. Sebuah kota yang sangat berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia. Tiga malam di Agats rasanya belum cukup untuk menyingkap semua keunikannya. Mudah-mudahan saya masih berjodoh dengan kota ini, agar bisa mengulik keunikannya lebih dalam. [dG]
Benar-benar unik kota Agats itu, namanya saja unik mirip-mirip nama kota di negara-negara Afrika.
Saya bayangkan kalau di Makassar semua motor diganti dengan motor listrik, pasti tidak adami geng motor yang balapan. Karena pada umumnya anak-anak yang balapan itu selain merasakan sensasi mengendarai motor dengan kecepatan tinggi juga menikmati suaranya yang bising, nah kalau menggunakan motor listrik, akan senyap . Tidak asyik.
Mau tahu Daeng, papan yang digunakan itu jenis kayu apa yah? Kuat sekali.
hahaha iyya, nda laku geng motor di Agats
kayunya pakai kayu besi, kena air malah makin kuat
Kota dan perdanya unik banget. Aku baru tahu ada kota seperti ini di Indonesia. Kalau hanya boleh motor listrik, apakah berarti pasokan listrik di kota Agats lancar, Bang?
sekarang pasokan listrik lancar sih, sudah 24 jam pakai PLN tenaga diesel
Daeng, jadi orang-orang di Agats jarang menginjakan kakinya di tanah dong ya, sampai main bola aja di lapangan papan. There’s no place like hometown, mau di atas tanah atau di atas papan kampung halaman selalu istimewa.
betul, mereka akhirnya ya hidup di atas papan dan jarang sekali menginjakkan kaki di tanah
Menarik kalau menilik orang Agast. Butuh berapa banyak kayu untuk dijadikan papan jalan. Kalau biasanya kita membaca kampung laut, atau rumah-rumah yang terapung di sungai. Baru kali ini aku melihat nggak hanya rumah panggung, tapi jalan pun menjadi semacam panggung.
kebutuhan kayunya pasti banyak sekali karena semuanya dibangun pakai kayu
memang ada isu di soal kerusakan lingkungan juga sih
makanya bagus juga karena jalannya sudah mulai dibeton, minimal menghemat penggunaan kayu
Tahan berapa lama itu kayu besi baru butuh diganti jalanannya?
aih saya nda tanya
tapi pasti tahannya lama sekali karena kayu besi. kena air malah tambah kuat
wahhhh.. ketika di ibu kota pusing dengan Polusi..maah dikota kecil yang jauh disana sudah semua penduduk menggunakan motor listrik yang berdamai dengan polusi.
Luar biasa bang pengalaman bisa main kesana
Benar banget, di Agats polusi bisa ditekan karena tidak ada kendaraan bermotor yang pakai bensin
nanti sama ki ke sini nah, Daeng. doakan saja bisa masuk dan lolos. if you know what i mean 🙂
hahaha AMIIIINNNNN
Saya tertarik dengan pasarnya, pasar Buton-buton.
Ini mengingatkan saya waktu menetap di Balikpapan. Ada satu pasar paling tua di sana, disebut Pasar Buton juga.
Konon, pendatang paling awal yang datang ke kota itu orang Buton. Dan setiap mereka menjejak di satu kota, maka yang pertama mereka buka adalah pasar.
Dari cerita di artikel ini kemudian menyambung cerita orang Balikpapan itu sendiri, bahwa di setiap kota yang tumbuh oleh kaum pendatang, maka orang Buton lah biasanya yang membuka pasar pertama. Kemudian disusul orang Bugis Makassar yang menjadi pedagangnya. Orang Jawa juga masuk memasok sayur dan kebutuhan sembako lain. Akhirnya terbentuklah komunitas plural baru.
Wah ternyata begitu ya
Di Paniai pun ada banyak pendatang dari Buton yang buka pasar.
Pernah nginap sehari di satu kampung di Bontang yang juga di atas papan tapi ributnya minta ampun. Sampe nda bisa tidur karena bunyi papannya kayak orang mau baku pukul huhuhu. Padahal yang lewat cuma motor. Kalau di sana berisik juga kah Daeng?
Nda terlalu ji karena sudah banyak jalan yang dibeton. Tapi memang kalau yang masih dipapan, ya ribut juga
Lagi-lagi saya iri pada keasrian Papua. Di samping sisi lain yang tersiar tentang papua, Agats rupanya hadir seperti oase di padang pasir. Kendaraan pun lebih ramah lingkungan.
Iya, nda ada geng motor di Agats hahaha
Nda ada juga anak muda yang trek-trekan
Waktu lihat judul artikel ini, terus baca-baca sampai akhir, saya merasa sudah familiar dengan segala ceritanya sambil berpikir, dimanakah dulu baca tentang kota Agats ini?
O dodo ee…ternyata di blog iniji juga, di artikel yang sama. Saya baru ingat saat membaca komentar sebelumnya, hehehe…
Tidak pernah bosan Daeng, baca tulisan-tulisanta, terutama tentang daerah-daerah yang pernah dikunjungi.
Hahaha iya, pernah maki baca kak
Terima kasih sudah komen lagi
Tulisan tentang Agats ini mau tidak mau melayangkan ingatan saya sama omku Rahimahullaah. :'( Semasa hidup beliau pernah dapat tugas kerja dan tinggal bertahun-tahun di sana. Dari beliau (tepatnya tante saya yang cerita) saya jadi sedikit tahu tentang kota unik di Papua seperti Agats ini yang berdiri di atas rawa-rawa.
Al Fatihah untuk om ta
Agats bagi saya memiliki kenangan tersendiri. Selain kondisinya mengingatkan pada kerjaan pertama di sumatera. Kerjaan di Agats adalah kado perpisahan sebelum resign dari tempat kerja yang terakhir. Sebagai kenangan saya sempat membuat video kenangan betapa banyaknya proses dan tantangan yang harus dilewati untuk membangun sesuatu disana.
Wah kota Agats ya om?
Pasang BTS pasti
Hwow … uniknya kotanya. Saya langsung membayangkan anakku kalo ke sana, mungkin dia ndak mau diam, akan berlari-lai seantero kota karena senangnya melihat kota unik itu 😀
Ayo kak! Bawa ki ke Agats
Dia pasti senang hahaha
behh srunya itu sensasi naik motor diatas papan hahahaa, pasti bunyi2 ki.
apa lagi motornya pakai yang hemat bgituu.
satu lagi saya suka penamaan agats nya, kayak keren kedengarannya
Hahaha iya, lumayan ribut memang kalau motor sudah lewat.
Salah satu.keunikan yang ada di Indonesia nih..
Bisa menghemat biaya perbaikan jalan kalau pake papan..cuma kayunya harus yang tahan..satu kali bikin bisa lama digunakan..
Cuma kalau hujan licin juga yah kalau pake papan.
Nah iya, kalau hujan ya lumayan licin juga hehehe
Wah gak nyangka masih ada kehodupan primitif begini di Indonesia ?. Tapi Agats ini bagus juga jadi tempat destinasi.
Halah! Agats dibilang primitif?
Ndaklah yaa..
Di Agats kehidupan juga sudah moderen
Suasana kota agats mirip dengan bagian kecil dari tarakan khususnya di wilayah dekat laut dimana org2 juga hidup di atas papan. Unik juga yah.
Iya, salah satu ibukota kabupaten yang unik di Indonesia.
Hmm..penasaran k’ sama yang main bola di atas papan itu. Bagaimana ributnya di’? Orang jalan biasa saja di atas kedengaran sekali suaranya (ingat suasana rumah panggung). Ini k rame-rame, lari-lari kejar bola di atas papan. Deh bunyi bunyi terusmi mungkin itu papannya.