Jalan Panjang Menuju Asmat

Asmat
Selamat datang di Asmat

Akhirnya, setelah sekian lama hanya mendengar tentang Asmat saya bisa ke Asmat juga. Meski begitu, perjalanan ke Asmat tidak mudah. Ada hal-hal yang sulit diprediksi.


“BEGITU MEMANG KALAU MAU KE ASMAT KAK. Serahkan semuanya pada Allah,” begitu kata Dhila di WhatsApp.

Dhila adalah mantan rekan setim yang sekarang sudah kembali ke Makassar. Dulu dia bertanggung jawab pada program di Kabupaten Asmat dan sudah tiga kali ke sana. Ketika dia pindah tim, saya yang bertugas melanjutkan pekerjaannya. Jadilah untuk pertama kalinya saya ke Asmat, dan tentu saja merasa perlu meminta saran dari Dhila. Selain sudah tiga kali ke Asmat, Dhila juga tidak sekadar berkunjung, dia sudah lumayan mengeksplorasi kota Agats, ibukota Asmat. Tidak heran kalau pak George – salah satu boss di kantor – menjulukinya: Mace Asmat.

Ucapan Dhila itu merujuk pada ketidakpastian tiket pesawat dari Timika ke Asmat. Untuk mencapai Asmat (atau ibukota kabupaten yaitu Agats), ada dua jalur yang paling umum; dari Timika atau Merauke. Dua-duanya bisa menggunakan moda pesawat kecil sekelas Twin Otter atau moda kapal laut, baik feri maupun kapal Pelni (sering disebut “kapal putih”).

Karena pertimbangan waktu, kami memilih pesawat dari Timika. Masalahnya, jadwal pesawat hanya ada tiga kali seminggu; Senin, Kamis dan Sabtu dengan hanya ada satu maskapai yang melayaninya, yaitu SAS yang menyewa pesawat Avia Star. Dengan jadwal yang bolong-bolong itu, kemungkinan mendapatkan tiket juga tidak selalu pasti. Tiket tidak bisa dibeli secara daring, kita harus langsung datang ke kantor maskapai yang bukanya juga sesukanya. Tiket sudah di tangan, bukan berarti kamu pasti berangkat. Bisa saja jadwal berubah atau kursimu terpaksa diambil orang lain yang lebih butuh atau lebih berkuasa.

Mau protes? Bung, ini Papua! Ketidakpastian adalah sebuah kepastian.

“Maaf pak, tiket untuk hari Senin sudah penuh,” kata petugas SAS yang saya telepon.

“Bisa pak, saya sudah pesan dua tiket,” kata pak Ilham, supir di Timika yang saya mintai tolong mem-booking tiket ke Asmat.

Jadi mana yang benar nih? Sudah habis atau masih ada? Tanya saya dalam hati. Tapi, berbekal bismillah, saya akhirnya berangkat ke Timika. Kalau ada ya syukur, kalau tidak ada ya balik kanan lagi kembali ke Jayapura.

Alternatif lain ke Asmat selain pesawat terbang adalah dengan kapal laut. Tapi, berlayar ke Asmat butuh waktu. Kapal putih – istilah orang Papua untuk kapal Pelni – hanya ada dua minggu sekali.

Seperti kata Dhila, perjalanan ke Asmat memang bergantung sepenuhnya pada Tuhan. Seperti kepanjangannya: ASMAT: Aku Serahkan seMuanya pAda Tuhan.

*****

SENIN 21 MEI PUKUL ENAM PAGI saya sudah di bandara baru Mozes Kilangin, Timika. Bandara yang lebih kecil dari bandara utama ini memang jadi pusat penerbangan pesawat perintis ke berbagai kota di Papua. Nama-nama seperti Benga, Potowa, Agimuga, Wangbe, Jila, Kokonao, Mapnduma adalah nama-nama yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Nama itu adalah kota-kota yang dihubungkan oleh pesawat kecil dari Timika.


Asmat
Bandara Mozes Kilangin yang baru

“Avia Star? Duduk saja dolo, dong petugas belum datang,” kata seorang ibu petugas bandara. Saya duduk di ruang tunggu bandara yang terletak di bagian luar. Mata saya masih agak berat, belum sempat tidur selepas sahur.

Di ruang tunggu itu juga duduk orang-orang Papua yang pagi itu juga siap-siap untuk terbang ke berbagai kota. Dandanan mereka sederhana. Jangan membayangkan dandanan pengunjung bandara seperti yang biasa kalian lihat. Penumpang di bandara ini kebanyakan hanya bercelana pendek, kaos oblong dan sandal jepit. Satu-dua ada juga yang berpakaian agak mentereng. Penampilan mereka berbeda dengan penampilan para pendatang seperti saya.

Inilah hebatnya Papua, sesuatu yang selalu membuat saya kagum.

Bagi orang Papua, naik pesawat bukan hal yang luar biasa. Mereka naik pesawat sama seperti kita naik angkot. Bahkan ada juga yang jalan kaki ke bandara, naik pesawat, turun di bandara tujuan dan jalan kaki ke rumah. Benar-benar seperti orang naik angkot.

Karena sulitnya akses transportasi, pesawat memang jadi pilihan utama untuk bisa jadi penghubung antar kota. Jangankan antar ibukota kabupaten, antar ibukota kecamatan pun pesawat jadi pilihan utama. Di beberapa daerah pegunungan Papua, anak-anak katanya lebih excited ketika melihat mobil daripada melihat pesawat. Pesawat bisa dilhat setiap hari, tapi mobil tidak.

“Pak, chek in diundur ke jam sebelas katanya,” pak Ilham yang tadi mengantar saya ke bandara rupanya kembali lagi karena mengantar penumpang lain.

Waktu mengantar saya dia mengabari kalau jam check in adalah sembilan pagi, sekarang diundur ke pukul sebelas. Sekali lagi, itulah kebiasaan pesawat kecil di Papua. Jamnya tidak pasti. Kita bisa datang pukul sembilan pagi, tapi pesawat baru berangkat pukul dua belas.

Baiklah, mari kita menunggu dalam ketidakpastian. Bagaimanapun, saya sudah siap untuk berpuasa di Asmat.

*****

ASMAT. NAMA ITU SUDAH LAMA AKRAB DI TELINGA SAYA, setidaknya sejak saya masih kecil dan provinsi ini masih bernama Irian Jaya. Dulu Asmat adalah sebuah distrik yang masuk dalam wilayah Kabupaten Merauke. Asmat sedari dulu terkenal dengan pria-pria pemahat yang punya kemampuan luar biasa.

Mereka bisa memahat papan dan balok kayu menjadi karya seni yang luar biasa dan bernilai tinggi. Sebagian besar adalah cerita tentang leluhur mereka, adat istiadat dan cerita keseharian orang Asmat. Ukiran-ukiran inilah yang membuat nama Asmat begitu harum ke seluruh Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri.

Infografis tentang Asmat

Tahun 2018, nama Asmat semakin dikenal di Indonesia. Sayangnya, Asmat terkenal karena sesuatu yang tidak nyaman; campak dan gizi buruk. Puluhan anak meninggal dunia dan ratusan lainnya harus dirawat intensif. Sebuah pukulah telak bagi pemerintah yang mengaku sudah lebih memperhatikan Papua.

Kejadian luar biasa ini juga yang membuat nama Asmat jadi perhatian Indonesia, bahkan dunia internasional. Ratusan atau mungkin ribuan orang membanjiri Asmat, membawa bantuan dan pulang dengan berbagai cerita. Berbulan-bulan kemudian, nama Asmat kembali sayup-sayup.

Dari sisi geografis sebagian wilayah Asmat berada di pesisir pantai dan tepi sungai. Seperti wilayah lain di Papua, Asmat juga dipenuhi hutan-hutan yang masih perawan. Sungai meliuk-liuk menerobos rapatnya pepohonan. Di tepi sungai itulah, warga bermukim. Sebagian bermukin secara permanen dan membentuk kampung, sebagian lagi hanya bermukim sementara ketika mencari kepiting, berburu atau mencari kayu.

Meski sudah lama mendengar tentang Asmat, tapi saya tidak tahu banyak tentang kabupaten ini. Bahkan saya baru tahu beberapa hal unik tentangnya. Ini juga yang bikin saya makin penasaran ingin melihat langsung Asmat, utamanya kota Agats.

*****

“INI BUKAN REGULER PAK, KEBETULAN ADA PERMINTAAN dari Bupati untuk menambah penerbangan,” kata petugas Avia Star yang berdiri di belakang meja konter.

Waktu itu hampir pukul sembilan, masih dua jam dari jadwal yang tadi diberitahukan. Seperti yang dibilang mas-mas berkaos polo putih itu, pesawat yang akan berangkat sekarang adalah pesawat tambahan, bukan pesawat reguler.

Karena kami sudah siap, maka tawaran untuk berangkat lebih dulu dari jadwal reguler segera kami sambar. Selain Avia Star yang akan berangkat, masih ada satu lagi pesawat milik Susi Air yang juga akan berangkat hampir bersamaan. Kami memilih Avia Star, apalagi karena ternyata nama kami memang sudah ada di daftar.

Inilah pertamakalinya saya menumpang pesawat kecil, dan pertamakalinya juga melihat langsung proses chek in. Setelah nama disebut, kami harus naik ke timbangan dulu lengkap dengan barang bagasi yang akan dibawa ke kabin. Proses ini buat sebagian orang bisa saja terasa sangat sensitif. Bayangkan, kamu berdiri di atas timbangan di depan banyak orang yang bisa langsung tahu berapa kilogram berat badanmu. Ha-ha-ha-ha.

Untuk penerbangan ini juga tidak ada tiket yang disediakan. Biasanya ada, tapi hari itu tiketnya habis, jadi penumpang hanya diberi kwitansi saja sebagai bukti pembayaran. Tidak ada boarding pass seperti layaknya naik pesawat. Unik kan?

Sekitar pukul setengah 10 saya sudah duduk di atas pesawat bermuatan 20 penumpang itu. Interiornya sangat sederhana, nyaris seperti bus. Di bagian kiri ada lima kursi single sementara di sebelah kanan ada enam deret kursi double. Di bagian belakang ada deretan kursi untuk tiga penumpang. Bagian kokpit pesawat yang dihuni pilot dan co-pilot bisa terlihat jelas karena tidak ada pintu pembatasnya. Bagian paling uniknya apa coba? Lantainya dilapisi multipleks ha-ha-ha-ha.

Asmat
Lantainya berlapis multipleks! Ha-ha-ha-ha

Tidak ada peragaan keselamatan, tidak ada ucapan selamat datang dari pilot, tidak ada pengumuman tujuan pesawat. Pokoknya naik saja, mau pasang seat belt silakan, tidak juga tidak apa-apa. Setelah semua siap, pesawat mulai bergerak ke runway dengan suara yang lumayan memekakkan telinga.

Karena ukuran pesawat yang sangat kecil jadi wajar kalau daya jelajahnya tidak terlalu tinggi. Rasanya hanya beberapa meter di atas puncak pohon yang terlihat jelas di bawah. Selain itu, setiap kali angin mengempas, pesawat juga bergetar hebat. Sesekali rasanya seperti mobil yang nge-drift. Bagian ekor seperti meliuk.

Lumayan bikin deg-degan juga.

Empat puluh lima menit di atas pesawat yang tiketnya ditebus Rp.1.500.000,- itu, akhirnya kami tiba di Asmat. Tepatnya di bandara Ewer. Dari bandara kecil yang berada di tepi sungai itu, kami masih harus menumpang perahu kecil bermesin menuju Agats. Perahu kecil bermuatan maksimal empat penumpang dengan satu supir itu melintas di atas sungai berair cokelat dengan kecepatan tinggi. Udara panas menyengat, matahari bersinar garang. Untungnya angin kencang di atas perahu lumayan bisa mengusir rasa gerah.

Asmat
Akhirnya mendarat juga di Ewer

Dua puluh menit kemudian atau kira-kira pukul sebelas, perahu kami akhirnya menepi di pelabuhan Agats. Ibukota Asmat yang selama ini saya dengar ceritanya akhirnya terpampang di depan mata. Kota yang kata orang kota di atas papan. Pfiiuh, lega juga karena akhirnya perjalanan panjang tanpa kepastian itu berakhir dengan manis.

Selamat datang di Agats! Nantikan cerita lainnya yang tidak kalah seru tentang keunikan kota Agats, ibukota Asmat. [dG]