Toraja, Raksasa Yang Menggeliat
Setelah pernah sangat terkenal di tahun 1990an, nama Toraja berangsur sayup. Kini mereka mencoba bangkit kembali.
Di tahun 1990an, nama Toraja atau Tana Toraja begitu terkenal di telinga para penikmat wisata di Indonesia. Bukan cuma Indonesia, namanya bahkan menyeruak harum ke pelosok negeri jauh. Toraja hanya kalah dari Bali yang memang seakan jadi ikon utama wisata Indonesia.
Tapi itu dua puluh tahun lalu. Sejak krisis moneter menimpa Indonesia menjelang akhir 1990an, nama harum Toraja berangsur menghilang, sayup-sayup di telinga. Ketika masa berwisata kembali marak-bahkan lebih marak dari sebelumnya-nama Toraja tak juga kunjung semerbak seperti dulu. Toraja perlahan terkalahkan oleh nama-nama baru seperti Wakatobi, Bunaken, Pulau Komodo dan tentu saja Raja Ampat.
Orang mulai lupa kalau kabupaten di utara kota Makassar itu punya banyak potensi wisata yang tak akan habis direguk dan tak akan mudah lekang dari ingatan. Dari alam, budaya, sejarah sampai kesakralan. Toraja punya semuanya.
*****
Makassar 3 Desember 2015. Di lantai tertinggi hotel Shantika, Jln Sultan Hasanuddin, tampil delapan wanita dan empat pria berpakaian adat Toraja. Mereka menari dengan sangat elegan lalu menyanyikan lagu-lagu Toraja dengan alunan suara yang menggetarkan kalbu. Mereka adalah DB3 Voices, grup paduan suara dari UNHAS yang tampil dalam malam Toraja Media Gathering.
Acara inti malam itu adalah perkenalan re-branding Toraja yang baru. Pemerintah kabupaten Toraja dan Toraja Utara bekerjasama dengan DMO (Destination Management Organization) Toraja dan dibantu Swiss Contact memang berniat membangun kembali citra Toraja yang selama dua puluhan tahun belakangan ini seperti raksasa yang tertidur.
Hal pertama yang dilakukan adalah membuat logo re-branding yang baru. Mereka menggunakan jasa konsultan yang memang bergerak di bidang re-branding. Tugasnya adalah menciptakan logo baru untuk citra pariwisata Toraja. Konsultan yang ditunjuk bekerja serius dan profesional. Dari melakukan kunjungan langsung, diskusi, riset mendalam tentang karakter, budaya dan sejarah Toraja sampai perdebatan yang melibatkan banyak pemangku kepentingan.
Hasilnya, sebuah logo baru yang nampak sederhana tapi kuat dan sangat mencitrakan Toraja. Logo re-branding Toraja ini seperti membuat logo branding kota Makassar seperti logo yang dibuat anak SD. Sama sekali tidak sebanding.
Selain re-branding logo, Toraja juga menyiapkan banyak hal sebagai senjata utama mereka bersaing dengan tujuan wisata lain di Indonesia. Senjata utama tentu saja adalah alam dan beragam ritual budaya yang sudah sejak lama dikagumi banyak wisatawan.
Senjata barunya adalah agrowisata. “Kami sedang mengembangkan beragam tujuan wisata baru berbentuk agrowisata.” Kata ibu Juliana dari DMO yang duduk tepat di samping saya. DMO sendiri adalah sebuah badan yang dibentuk oleh kementerian pariwisata sejak tahun 2010. Tugasnya adalah menghubungkan beragam kepentingan yang ada di sebuah tujuan wisata. DMO Toraja mulai bekerja sejak 3 Mei 2012.
“Salah satu jenis agrowisata yang dikembangkan adalah agrowisata kopi.” Sambil berbisik, ibu Juliana melanjutkan.
Sudah sejak lama Toraja terkenal sebagai dataran tinggi penghasil salah satu kopi terbaik di Indonesia bahkan di dunia. Di antara sekian banyak jenis kopi Indonesia, kopi Toraja buat saya jadi salah satu pilihan utama karena rasa nikmatnya yang tak terkira. Di beberapa negara Eropa dan Amerikapun, nama kopi Toraja sudah sangat harum seharum baunya.
Sebuah jalan terjal terpampang di depan semua pemangku kepentingan Toraja. Bukan hal mudah untuk kembali mengumandangkan nama Toraja di antara nama-nama tujuan wisata lainnya di Indonesia. Banyak aspek yang bermain di dalamnya, dari penyediaan infrastruktur, benturan antara lokalitas dan modernitas sampai kesiapan pemerintah daerah sendiri menyambut para wisatawan.
Tapi malam itu saya menangkap optimisme dari semua pemangku kepentingan yang hadir. Wajah mereka berbinar dan nampak yakin kalau Toraja benar-benar bisa kembali ramai dikunjungi wisatawan dari luar Sulawesi Selatan dan luar Indonesia.
“Kultur Toraja sebenarnya menjunjung tinggi kekeluargaan. Itulah kenapa kematian selalu dirayakan lebih ramai daripada kelahiran. Orang Toraja sangat menghargai keluarga dan leluhur mereka. Kultur inilah yang akan coba kami tawarkan.” Kata Johan Rantesalu dari DMO yang ikut berbicara malam itu.
Mari menantikan kelahiran kembali Toraja yang sesungguhnya memang patut dinantikan dan dikunjungi. Mari menanti geliat kebangkitan raksasa itu. Ayo ke Toraja! [dG]
Selalu bercita-cita menjejakkan kaki di Toraja, tapi belum kesampaian. Mungkin suatu saat nanti harua ke sana.
saya baru sekali ke Toraja, itupun hampir 20 tahun lalu.
duh..
Yudi malah tahunya toraja dari permainan monopoly. blok hijau dengan harganyanya yang lumayan mahal hehe
btw, ada nggak dijelasin target kunjungan wismannya Daeng?
aceh tahun depan hanya berani 75rb kunjungan. sedih sekali dengar angka segitu 🙂
wah kemarin lupa, ada apa nggak ya targetnya? hehehe
dan jumlah 75rb kunjungan itu koq kayaknya dikit banget ya Yud? koq gak pede pasang target tinggi