Semua Ada Hikmahnya
Awalnya kesal, marah dan bahkan dendam. Akhirnya, saya malah bersyukur.
Tahun itu akan saya kenang sebagai tahun yang berwarna. Tahun yang menjadi titik balik kehidupan saya, utamanya di soal pekerjaan. Setelah 15 tahun mengabdi (iya, 15 tahun!) di kantor yang sama, akhirnya saya harus mengalah. Minggir dan mengundurkan diri.
Semua berawal dari sebuah kesalahan yang saya lakukan, bolos sehari tanpa ijin. Sehari setelah kasus bolos itu saya mulai memasuki masa-masa gelap. Ibu manager saya menjatuhkan hukuman tanpa diawali surat peringatan. Awalnya saya hanya dibebastugaskan, tidak diberi pekerjaan sama sekali.
Bisa Anda bayangkan bagaimana rasanya ketika pekerjaan Anda sedikit demi sedikit dilimpahkan ke orang lain dan Anda dibiarkan bengong tanpa tahu mau kerja apa. Itu yang saya rasakan.
Pelan-pelan hukuman itu diperberat. Saya dipindahtugaskan ke divisi lain yang sama sekali tidak sesuai dengan kapasitas saya. Saya merasa sebagai orang buangan kala itu. Tidak dibutuhkan tapi juga tidak diberdayakan. Digantung tanpa keputusan. Persis seperti pria yang sehari-hari diminta antar jemput seorang gadis, tapi tidak pernah diakui sebagai pacar. Pacar bukan, tukang ojek juga bukan. Itulah saya waktu itu.
Saya tahu saya salah, tapi saya juga tidak merasa kalau kesalahan saya wajar diganjar hukuman seperti itu. Dihukum dengan surat teguran, skorsing sampai pemotongan gaji mungkin masih bisa saya terima, tapi tidak dengan dicuekin, digantung tanpa keputusan.
Selama beberapa bulan saya benar-benar berada di titik terendah. Malas kerja karena betul-betul tidak tahu mau kerja apa. Ke kantor pun hanya untuk absen pagi, lalu menghilang setelahnya. Mengundurkan diri juga tidak berani. Saya sudah kerja 15 tahun, mengundurkan diri berarti tidak dapat apa-apa. Kantor pun sepertinya tidak berani memecat saya, alasannya kurang kuat. Lagipula memecat saya berarti harus membayar pesangon yang jumlahnya mungkin besar.
Saya makin meradang. Hidup tanpa tujuan dan tanpa passion. Dalam hati saya menggerutu; kerja 15 tahun dan kemudian diperlakukan seperti ini? Benar-benar tidak adil!
Hingga akhirnya saya mengambil keputusan. Daripada digantung tidak jelas, hati meradang, mulut menggerutu, pikiran tidak tenang, saya akhirnya memilih mengundurkan diri. Dengan surat pengunduran diri di tangan saya menghadap bos besar yang konon masih ingin memberi saya kesempatan.
Teman manager HRD waktu itu juga sebenarnya masih meminta saya bertahan, pindah ke divisinya dan membantunya. Tapi saya sudah patah arang, niat saya sudah bulat untuk mengundurkan diri.
“Ini yang terbaik untuk saya dan perusahaan,” kata saya waktu itu.
Akhirnya saya mengundurkan diri juga, meski tidak tahu sehabis itu akan kerja apa. Beruntung perusahaan tidak benar-benar kejam. Masa kerja yang 15 tahun rupanya masih dihargai, saya diberi uang terima kasih yang nominalnya meski jauh di bawah hitungan pesangon tapi setidaknya bisa menopang hidup saya selama beberapa bulan. Mungkin sebelum saya akhirnya bisa menemukan pekerjaan baru.
Lega sekaligus haru rasanya ketika akhirnya saya berjalan keluar kantor, resmi sebagai mantan karyawan.
****
Beberapa bulan lalu, ibu mantan manager saya itu berpulang setelah sakit sekian lama. Beberapa tahun lalu mungkin saya merasa dendam dan sakit hati pada beliau. Beliau yang meminggirkan saya, membuat saya akhirnya harus mengundurkan diri. Namun, rasa itu hanya bertahan beberapa bulan.
Setelah perlahan saya menemukan jalan baru, rasa itu tergantikan dengan rasa terima kasih dan rasa bersyukur.
Iya, saya bersyukur beliau meminggirkan saya waktu itu. Bersyukur karena beliau memaksa saya keluar dan mencari jalan lain yang ternyata lebih pas buat saya. Karena ulahnya juga saya akhirnya bisa seperti sekarang, berdiri sendiri, bekerja sesuai apa yang saya minati.
Saya memang belum berlebih secara materi, belum pula meraih kesuksesan dan kebebasan finansial. Tapi apa yang saya dapatkan sekarang sudah cukup untuk membuat saya merasa bahagia. Bisa bekerja sesuai passion, jalan-jalan ke tempat baru, menikmati pengalaman baru sesering mungkin dan yang paling menyenangkan; bisa bangun pagi sesuka hati tanpa harus absen di pagi hari.
Bukankah itu hal yang menyenangkan? Toh meski tak berlebihan materi saya juga tidak sampai kelaparan.
Dalam hati saya benar-benar berterima kasih kepada ibu mantan manager saya itu. Beliau dengan caranya sendiri malah membukakan pintu baru kepada saya, pintu menuju kebahagiaan a la saya. Tanpa caranya yang dulu saya anggap kejam itu, saya mungkin masih di kantor yang sama, menikmati rutinitas yang sama, menikmati masalah yang sama dan bahkan mungkin menggerutu merutuki hal yang sama.
Begitulah, terkadang jalan hidup memang misterius. Apa yang kita rutuki dan kita anggap kesialan atau mengesalkan, bisa jadi suatu hari nanti akan kita syukuri. Persis seperti kisah Frank Slazak, seorang astronot yang gagal terpilih sebagai awak Challenger. Awalnya dia begitu kesal karena tak terpilih, namun pada akhirnya dia bersyukur karena pesawat ulang-alik itu ternyata cilaka di udara. Kesialan hari ini, bisa jadi berkah di masa depan.
Karena semua memang ada hikmahnya. [dG]