Mencengangkan! Demokrasi Kita Berjalan Mundur!

#KamiBersamaDhandy

Tulisan ini akan saya mulai dengan menyegarkan ingatan kita pada masa-masa sebelum 1998.

MASA ITU, INDONESIA DIPIMPIN SEORANG JENDERAL BERBINTANG LIMA. Dia satu dari tiga orang Indonesia yang berhasil meraih bintang lima di pundaknya. Dua lainnya adalah Jenderal Besar Soedirman dan Jenderal Besar Abdul Haris Nasution. Jenderal yang satu ini tidak perlu saya sebut lagi, kalian pasti masih ingat.

Sampai sekarang pun masih banyak stiker dengan wajah sumringah beliau yang dipasang di belakang mobil, atau grafiti dengan wajah yang sama dan kalimat yang biasanya hampir sama. “Piye Kabare Le? Isih Penak Jamanku Toh?”

Nah, sang jenderal ini memimpin Indonesia dengan kekuasaan penuh. Meski sebenarnya di Undang-undang Dasar kita disebutkan kalau kekuasaan presiden tidak tak terbatas. Tapi, itu kan hanya di Undang-undang Dasar, di atas kertas. Di atas lapangan ya beda lagi.

Jenderal Besar ini memimpin dengan demokrasi yang diatur sedemikian rupa. Demokrasi, tapi ada yang mengatur. Siapa yang mengatur? Ya sang jenderal besar dong ah, lengkap dengan tentara dan aparat bersenjata yang siap digerakkan kapan saja dibutuhkan.

Di masa itu sepanjang yang saya ingat – dan saya baca – demokrasi hanyalah utopia semata. Ada dalam teori, ada dalam khayalan, tapi sulit ditemukan dalam kenyataan.

Demokrasi sejatinya memberi hak bagi siapa saja untuk bersuara, kritis, mengkritik dan mengemukakan pendapat. Teorinya sih begitu. Tapi di masa itu praktiknya jauh panggang dari api. Seperti jarak LDR artis Kimberly Ryder dan pacarnya. Dia kuliah di London, pacarnya di Indonesia.

Seperti itulah praktik demokrasi jaman pemerintahan pak jenderal. Oh iya, orang biasa menyebutnya jaman Orde Baru.

Mau mengemukakan pendapat berbeda? Mau mengkritik? Mau jadi orang yang kritis? Di jaman itu sih boleh-boleh saja, tapi ya harus siap dengan rencana cadangan. Minimal rencana persembunyian atau rencana belajar debus biar kuat menghadapi kerasnya siksaan dalam penjara.

Kenapa? Karena kalau berani bersuara berbeda, berani mengkritik, atau berani berteriak keras tentang ketidakadilan di waktu itu berarti garansi penjemputan gratis dari aparat. Ya kalau dijemputnya pakai mobil sedan yang di depannya ada dasi atau karangan bunga, tapi ini tidak. Jemputannya biasanya mobil Toyota Hardtop, Kijang Super atau mobil pick up dengan kursi kayu di bagian belakang yang membuat penumpangnya seperti sedang bermusuhan. Saling membelakangi.

Pokoknya tidak ada jalan buat yang kritis. Semua ditata, diatur sedemikian rupa agar satu suara. Suara berbeda berarti siap dengan risiko besar. Di mana-mana disebarlah yang namanya Babinsa, intel, atau Banpol. Tugasnya ya menjadi telinga dan mata bagi pemerintah. Siap merekam kegiatan yang dianggap membahayakan stabilitas keamanan negara.

Media juga setali tiga uang. Dikontrol, diatur, diseleksi, sehingga semua beritanya jadi seragam. Berani menulis berita yang kritis? Tuh masih ada sel penjara yang menanti, plus menteri penerangan siap mencabut surat ijin penerbitan yang membuat media jadi tidak punya hak lagi untuk terbit.

Kira-kira begitulah. Saya tidak mengada-ada loh, ini berdasarkan ingatan saya yang kemudian diperkuat catatan sejarah. Silakan Googling kalau tidak percaya, saya tidak sedang mencoba menyebarkan hoax atau hate speech.

*****

TAHUN 1998 REFORMASI PECAH. Orde Baru tumbang, digantikan Orde Reformasi yang – sayangnya – masih dihuni sebagian oleh penumpang Orde Baru juga.

Tapi setidaknya ada perubahan di sisi demokrasi. Keran keterbukaan dibuka sebesar-besarnya, semua jadi bebas bersuara, bebas berteriak, bebas pula menjadi kritis. Sayangnya, seperti seekor kuda yang bertahun-tahun dikandangkan, ketika pintunya dibuka si kuda menjadi sangat binal, kelepasan, berlarian liar ke sana ke mari.

Begitu juga dengan kebebasan yang baru diraih itu.

Semakin lama makin banyak yang kebablasan. Menyebarkan hoax dianggap sebagai praktik kebebasan, mencaci presiden dan pejabat negara dianggap praktik mengkritisi pemerintahan, menyebarkan info bernuansa SARA dianggap sebagai praktik demokrasi.

Demokrasi pala lu peang?

Makin lama makin banyak yang susah membedakan mana kritikan, mana yang sekadar ujaran kebencian atau sebaran hoax semata. Makin banyak yang menyebarkan tuduhan tapi lupa menyertakan data dan fakta. Ketika terciduk pun mereka yang menyebarkan bisa berkelit dengan kalimat; saya hanya meneruskan, kalau tidak setuju ya tidak apa-apa.

Lah? Enak sekali ya? Meneruskan saja tanpa cross check kebenarannya, kalau salah tinggal hapus postingan atau ya ngeles saja kayak bajaj.

Pemerintah lalu menerbitkan berbagai undang-undang dan peraturan. Maksudnya supaya yang begitu-begitu bisa diatur, yang kebablasan bisa diancam pidana, biar kapok dan tidak sembarangan menyebarkan hoax atau kebencian.

Tapi, undang-undang itu banyak bolongnya. Multi interpretasi, bebas diartikan apa saja sesuka hati, utamanya hati orang yang baperan dan mudah tersinggung. Akibatnya, kritikan dianggap sebagai ujaran kebencian. Padahal kritikan itu didasarkan pada data dan fakta yang lugas, bukan opini berdasar hoax. Si objek kritikan lalu panas hatinya, memerah kupingnya, baper dan kemudian menghadap yang berwajib.

“Saya difitnah, dituduh yang tidak-tidak. Hati saya terluka, hidup saya hancur. Saya mau dia dihukum!”

Jadilah satu demi satu aktivis yang bersuara kritis diciduk aparat.

Daftar aktivis yang dipidanakan.
(sumber: SAFENet)

Pemrotes pembangunan alun-alun di Gresik dipenjara, pengacara yang mendampingi nelayan di Bangka ditahan, warga Banyuwangi yang menolak tambang emas dituduh menyebarkan paham komunisme, bahkan penyidik KPK juga dilaporkan karena dianggap menyebarkan ujaran kebencian.

Paling baru, seorang jurnalis dan aktivis bernama Dhandy Dwi Laksono juga dilaporkan ke polisi karena unggahan statusnya di Facebook. Dhandy yang selama ini memang lantang bersuara ketika melihat ketidakadilan, dilaporkan salah satu organisasi underbow PDI Perjuangan. Relawan Perjuangan Demokrasi (REPDEM) Jawa Timur menganggap Dhandy menghina ketua PDI-P Megawati Soekarno Putri.

Dalam statusnya, Dhandy memang menyandingkan antara Megawati dengan Ang San Suu Kyi. Status itu sudah saya baca, tapi saya tidak melihat ada unsur penghinaan, pencemaran nama baik apalagi ujaran kebencian di sana.

Isinya adalah data dan fakta bagaimana dua tokoh perempuan itu sama-sama mengingkari janji perdamaian yang sudah diucapkannya sebelum terangkat menjadi pemimpin. Suu Kyi berjanji atas nama kemanusiaan, tapi membiarkan penindasan atas etnis Rohingya ketika menjadi orang berkuasa di Myanmar. Sementara Megawati, berjanji melindungi Aceh tapi meloloskan operasi militer ketika menjabat sebagai presiden.

Kalau tulisan itu memang dianggap sebagai penghinaan, kenapa tidak dibalas dengan tulisan juga? Toh ini jaman demokrasi Bung, jaman semua bebas bersuara. Kalau tidak setuju ya balas dong dengan tulisan yang sama, lengkap dengan data dan fakta juga.

Atau mungkin mereka maunya kita semua satu suara saja? Menulis yang baik-baik dan tidak usah bercerita macam-macam apalagi bersikap kritis terhadap sesuatu yang sudah lewat? Mungkin saja.

Eh, tapi mereka yang melaporkan bisa saja berkilah begini, “Kami membalas tulisan Dhandy dengan tulisan juga. Walaupun tidak sepanjang tulisan Dhandy, tapi kami membalasnya dengan tulisan di atas kertas di kantor polisi. Kalian kira membuat laporan itu tidak butuh tulisan? Butuh kan? Jadi tulisan Dhandy kami balas dengan tulisan juga. Tulisan laporan ke polisi. Paham?”

Wah kalau memang benar begitu, maka betapa mencengangkannya demokrasi kita. Berjalan mundur ke era pak Jenderal Besar. Kemunduran yang justru dipraktikkan oleh organisasi yang menggunakan nama “demokrasi”.

Kalau sudah begitu, ya wassalam deh! [dG]