Clash of Police
Di momen itulah saya merasakan betul bagaimana hierarki dalam kepolisian begitu dihormati. Seorang perwira tinggi berbintang dua terasa begitu menonjol meski tidak berpakaian dinas.
Suasana Kedai Pojok Adhyaksa – kami menyebutnya Kepo – malam itu agak berbeda. Saya tiba sekitar pukul 20:00 malam, di depan Kepo sudah ada belasan pria yang tidak saya kenali. Sebagian dari mereka menggunakan jaket kulit. Tidak lazim, karena biasanya saya bisa mengenali siapa-siapa saja yang sering ke Kepo. Tapi saya tidak terlalu ambil pusing, saya terus melangkah ke bagian dalam Kepo.
Suasana Kepo tidak terlalu ramai malam itu. Hanya ada beberapa orang yang saya kenal. Di salah satu sudut, ada beberapa meja yang disusun berderet, diisi oleh beberapa orang pria. Saya mengenali satu di antara mereka sebagai Kapolsek Panakkukang. Kami berkenalan beberapa bulan sebelumnya. Sebagai penghormatan, saya mendekati beliau, mengulurkan tangan dan berjabat tangan. Beliau membalas, tapi dengan gaya yang sangat kaku. Tidak sehangat biasanya.
Selepas itu saya berlalu, duduk di meja bersama beberapa orang teman. Sesekali saya memperhatikan rombongan bapak-bapak itu. Mereka terlihat seperti sangat kaku, duduk dengan tegap, tangan tergeletak di paha. Hanya ada satu orang yang terlihat duduk santai dengan tangan di atas meja. Pria akhir 40-an atau awal 50-an berbadan sedang dengan kaos polo putih. Terlihat betul bagaimana pria itu menjadi pusat dari rombongan bapak-bapak itu.
Saya terlambat tahu bahwa bapak berkaos polo itu adalah Kapolda Sulsel. Jenderal bintang dua yang saya lupa namanya. Akhirnya terjawab sudah keheranan saya akan belasan pria tidak saya kenali di halaman Kepo, dan tentang sikap bapak-bapak lain yang duduk seperti kaku dan tegap.
Di momen itulah saya merasakan betul bagaimana hierarki dalam kepolisian begitu dihormati. Seorang perwira tinggi berbintang dua terasa begitu menonjol meski tidak berpakaian dinas. Pria-pria lain yang duduk di meja yang sama adalah perwira juga, mungkin perwira menengah atau perwira pertama setingkat inspektur polisi, atau AKP. Meski sama-sama perwira, tapi terasa betul perbedaan sikap antara mereka.
Perwira menengah saja sudah sebegitu kakunya, apalagi para bintara. Saya melihat sendiri bagaimana seorang pria berjaket hitam yang saya taksir pangkatnya bintara, memilih jalan memutar menuju toilet. Alih-alih berjalan di depan rombongan perwira yang sedang duduk santai itu. Padahal ruang di depan para perwira itu masih sangat luas. Saking patuhnya pada standar hierarki di kesatuan mereka.
Brigadir J
Ketika mendengar kasus penembakan pada Brigadir Yoshua (atau kerap disebut Brigadir J), saya langsung ingat kejadian di Kepo itu. Pertama kali kasus itu merebak, penjelasan pertama dari polisi adalah Brigadir J berniat melakukan pelecehan seksual pada istri komandannya Irjen Ferdy Sambo. Percobaan pelecehan seksual itu berujung pada adegan baku tembak yang menewaskan Brigadir J. Setidaknya itu penjelasan pertama dari kepolisian.
Terus terang, saya agak skeptis ketika mendengar penjelasan itu. Seorang bintara mencoba melakukan pelecehan seksual kepada istri seorang perwira tinggi, di rumah kediaman sang perwira? Entah antara dia nekat, bodoh, atau sudah sangat dibutakan nafsu.
Beda pangkat antara Brigadir J dan Irjen Ferdy Sambo sangat, sangat jauh. Bukan satu-dua level. Saya bisa membayangkan, jangankan melakukan hal kurang ajar kepada istri si Irjen, berdiri dengan sikap santai di depannya saja kayaknya bisa dianggap kelakuan tidak disiplin.
Seorang bintara nekat mencoba melakukan pelecehan seksual kepada istri seorang Irjen, di kediaman sang Irjen yang dihuni juga oleh beberapa orang ajudan. Rasanya seperti seekor kucing yang berani mencoba menggangu seekor singa betina, di kandang singa yang dihuni beberapa ekor singa lain. Mungkin saja, tapi risikonya sangat besar.
Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual didasari oleh nafsu birahi, nafsu paling purba dari manusia. Dan nafsu birahi tidak mengenal jabatan. Jangankan polisi, seorang yang mengaku pemuka agama yang katanya dekat dengan Tuhan pun bisa dibutakan nafsu birahi dan melakukan pelecehan seksual. Pokoknya, nafsu birahi sama sekali tidak melihat siapa yang akan didatangi dan siapa yang akan dibutakannya.
Jadi memang bisa saja almarhum Brigadir J gelap mata, buta, dan mengikuti nafsu birahinya hingga mencoba melakukan pelecehan seksual kepada istri bosnya. Tapi sekali lagi, ada faktor lain yang bisa jadi pertimbangan kenapa itu rasanya sulit untuk dipercaya. Selain faktor lokasi, juga ada faktor hierarki seperti yang saya sebutkan tadi.
Kejadian seorang supir melecehkan istri majikannya mungkin pernah kita dengar terjadi. Artinya, perbedaan level status yang jauh tidak serta merta menafikan kemungkinan itu. Tapi, sekali lagi kita harus ingat soal hierarki dalam kesatuan. Sesuatu yang secara terus menerus ditanamkan dalam benak setiap anggota dan bahkan masuk ke dalam alam bawah sadar mereka. Ini yang membuat skenario percobaan pelecehan seksual dari Brigadir J kepada istri Irjen Ferry Sambo seperti tidak mungkin. Setidaknya, sulit diterima akal sehat. Mungkin, tapi prosentasenya kecil.
*****
Sampai hari ini, penyidikan atas kasus penembakan Brigadir J masih terus bergulir. Fakta-fakta baru terus terungkap. Ada yang mengagetkan, tapi ada yang sudah disangka sebelumnya. Sampai hari ini publik belum tahu apa yang sebenarnya membuat Irjen Ferdy Sambo sampai tega menyusun strategi menghabisi nyawa Brigadir J. Apakah memang karena pelecehan seksual kepada istrinya, atau ada alasan lain? Entahlah, karena sampai hari ini kepolisian masih menolak membeberkan apa yang sebenarnya terjadi. Alasannya, menjaga perasaan. Mungkin memang sekarang tugas baru kepolisian Indonesia adalah menjaga perasaan, selain menjaga keamanan.
Kita tunggu saja apa yang akan terjadi nantinya. Setidaknya saat ini, publik hanya bisa menikmati episode clash of police ini. [dG]
oh thanks