Istri Kedua Saya Kopi

Kopi lokal tidak kalah berkualitas
Kopi lokal tidak kalah berkualitas

Meski bukan tanaman asli Indonesia, kopi sudah kadung akrab dengan Indonesia. Kopi jadi salah satu Mahakarya Indonesia.

AROMA KOPI SEMERBAK MENUSUK HIDUNG, mengalahkan aroma asap tembakau yang dibakar para pria di ruangan yang tak seberapa lebar itu. Sesekali gelak tawa menyeruak ke udara, bersanding dengan suara musik blues dari Gugun Blues Shelter. Malam makin pekat, jalanan makin sepi. Hanya satu-dua kendaraan yang melintas di jalan raya selebar sekira delapan meter itu. Suara sempritan tukang parkir terdengar dari kejauhan.

Di meja seberang seorang sutradara kenamaan Indonesia sedang asyik bercengkerama dengan tiga orang temannya. Saya duduk di meja tak jauh dari mereka, bersama seorang kawan dan seorang lagi pria keturunan Tionghoa pemilik kedai kopi itu.

“Saya selalu percaya kalau dalam segelas kopi ada kehangatan.” Kata pria tinggi kurus berambut gondrong lurus di depan kami.

*****

“ANAK SAYA SATU, ISTRI DUA.” Katanya. Mata kami bertemu, saya menangkap tatapan nakal dari matanya. Segera saya menebak kalau dia hanya bercanda. Benar saja, karena kemudian dia melanjutkan, “Istri pertama di rumah, istri kedua di sini. Namanya kopi.”

Lalu kami tergelak bersamaan.

Namanya Heri Heriyanto. Saya menyapanya dengan Koh Heri, panggilan kakak untuk pria Tionghoa. Teman-teman yang lainpun memanggilnya dengan sapaan yang sama, entah siapa yang memulai. Koh Heri memang orang Indonesia Tionghoa, di darahnya mengalir darah Kanton. Orang Kanton salah satu suku Tionghoa yang paling banyak bermukim di Indonesia, termasuk kota Makassar.

Malam itu saya dan beberapa teman bercengkerama di kedai kopi milik Koh Heri. Namanya Double Shot, berada di Jalan Bali yang lebih dekat ke Jalan Irian. Kedai kopinya tergolong sederhana, hanya menempati ruko selebar empat meter dengan panjang 20 meter ke belakang. ΒΌ bagian digunakan sebagai coffee bar, sisanya untuk tempat duduk pengunjung. Beragam asesoris kopi berderet di belakang coffee bar, bersama benda-benda tua lainnya. Nuansa Double Shot memang sepertinya dibuat agak jadul, terlihat dari beberapa poster dan chalk art (seni menulis dengan kapur tulis) yang sengaja dibuat terkesan jadul. Dinding di belakang coffee bar dibiarkan berlumut dan terkelupas.

Double Shot mulai dirintis Koh Heri sejak setahun lalu setelah sebelumnya pria kelahiran 1979 ini berjualan kopi dengan gerobak di depan Makassar Golden Hotel Jl. Pasar Ikan, tepat di samping Pantai Losari. Kopi memang sudah lama merasuki pikirannya dan perlahan membuatnya terobsesi. Berawal dari kopi gerobak yang awalnya menjajakan kopi sachet, Koh Heri mulai belajar lebih banyak tentang kopi. Dari memilih biji sampai meracik sendiri. Pelanggannya makin lama makin banyak.

Usaha kopi gerobak itu bukannya tanpa halangan. Koh Heri datang dari keluarga perajin emas, sesuai kebiasaan orang Kanton yang memang terkenal sebagai perajin emas. Dari kakek buyutnya sampai orang tuanya, semua hidup sebagai perajin dan penjual emas di kawasan Jalan Somba Opu. Kawasan ini dikenal sebagai pusat penjualan emas di kota Makassar. Kedua orang tuanya tak setuju anak laki-laki mereka keluar dari jalur yang sudah digeluti turun temurun, apalagi “hanya” berdagang kopi gerobak di pinggir jalan.

Kopi lebih lekat dengan orang Tionghoa dari suku Hainan. Konon merekalah yang mempopulerkan cara meracik kopi menggunakan kain, di Makassar kerap disebut kopi kaus kaki. Orang Hainan juga yang dipercaya pertama kali membuka warung kopi di kota Makassar sekisar tahun 1940an.

Meski ditentang keluarganya, Koh Heri bergeming. Kopi sudah begitu merasuk ke dalam hidupnya, dia tak peduli meski orang tuanya tak setuju. Setiap hari dengan tekad kuat didorongnya gerobak kopi ratusan meter dari rumahnya ke depan MGH. Tak peduli panas ataupun hujan. Kadang dia harus mendorong gerobak sambil mengenakan jas hujan. Cemoohan teman-temannyapun seperti angin lalu saja.

“Teman-teman saya sampai bilang, ‘kamu kayak tidak ada kerjaan lain saja’.” Ujarnya mengenang kembali tantangan di awal-awal usahanya berdiri.

Tikungan hidup sulit kita duga, termasuk buat Koh Heri. Seorang pelanggan setianya menawarkan ruko di Jl. Bali. Ruko itu sisa dari ruko yang ditempatinya, kosong dan tidak terurus. Tawaran itu disambut Koh Heri, dan sejak tahun 2014 usaha kopi gerobaknya perlahan berubah menjadi kedai kopi modern.

*****

TREN MENIKMATI KOPI memang semakin subur di Indonesia belakangan ini. Kedai kopi modern dengan harga terjangkau tumbuh subur di banyak kota di Indonesia, termasuk Makassar yang sebenarnya berjarak tak jauh dari dua daerah sentra penghasil kopi Indonesia, Tana Toraja dan Enrekang. Kedai kopi modern ini seperti mengisi celah di antara kedai kopi tradisional dan kedai kopi waralaba asing sekelas Starbucks. Perlahan-lahan, warga kelas menengah mulai bergairah menikmati kopi dengan cara yang sedikit lebih modern tapi tidak menguras kantong.

Celah ini juga yang coba diisi oleh Koh Heri. Meski tergolong sederhana, tapi Double Shot segera menarik perhatian pecinta kopi kelas menengah di Makassar. Pasalnya, Koh Heri tidak main-main, sebagai pecinta kopi dia sangat memperhatikan kualitas biji kopi sampai proses penyajiannya.

“Kita punya banyak kopi lokal berkualitas. Bukan hanya Toraja atau Enrekang, tapi juga daerah lain seperti Malino, Bone dan Bantaeng. Ini yang ingin saya angkat, saya ingin membuktikan kalau kopi lokal Sulawesi Selatanpun tidak kalah dengan kopi dari luar.” Ujarnya.

Istri kedua saya di sini. Namanya kopi
Istri kedua saya di sini. Namanya kopi

Saat ini Doubel Shot memang fokus ke kopi lokal. Sebagian diambil Koh Heri langsung dari petani, sebagian lagi diambil dari distributor. Soal kualitas, Koh Heri turun tangan sendiri. Meski mengaku tidak punya latar belakang pendidikan formil tentang kopi tapi lelaki berkacamata ini sudah belajar banyak tentang kopi dari mereka yang lebih ahli.

Kecintaan pada kopi juga yang membuatnya rela turun langsung ke daerah, bertemu petani dan mendengarkan keluh kesah mereka. Koh Heri menangkap realitas kalau sebagian besar petani masih kesulitan menjaga kualitas kopi mereka karena kurangnya pengetahuan. Kadang kopi hasil panen dibiarkan berhari-hari sebelum dikupas, akibatnya kualitas kopi jadi turun, bahkan sebagian membusuk. Ini belum termasuk petani yang asal petik. Biji kopi yang masih hijaupun ikut dipetik, sebagian besar karena mereka malas bolak-balik rumah-kebun yang jaraknya jauh, dan medannya memang ekstrem.

Setiap ada waktu Koh Heri berusaha mengedukasi petani kopi, mengajarkan cara terbaik memanen dan mengolah biji kopi. Di kedai kopinya pun lelaki ini tak pernah menolak membuka dapurnya kepada pelanggan yang berminat mencari tahu proses penyeduhan dan penyajian kopi.

“Buat saya, pelanggan berhak tahu proses kopi itu bagaimana. Dari mulai masih berbentuk biji sampai tersaji di depan mereka.” Ujarnya. Ini juga yang membuat Double Shot mulai dirik penggemar kopi. Mereka yang punya minat pada kopi bisa bertanya banyak hal tentang kopi dan semua akan dijawab Koh Heri dengan tangan terbuka.

“Sebenarnya tujuan saya adalah mengangkat kopi lokal. Selama ini orang kita masih gampang silau dengan merek-merek kopi luar negeri, padahal bahan bakunya sebagian besar ya dari lokal juga.” Kata Koh Heri. “Makanya harga yang saya pasang tidak terlalu tinggi, karena tujuan saya memang mengajak sebanyak mungkin orang meminum kopi lokal. Tidak apa-apa margin profit saya kecil.” Lanjutnya lagi.

Harga kopi di Double Shot memang tergolong murah, dari Rp. 10.000,- per gelas sampai Rp. 12.000,-/gelas. Jauh jika dibandingkan dengan kopi yang sama dan rasa yang sama di kedai kopi bermerek luar negeri seperti Starbuck.

Sesekali saya menguap, bukan karena cerita Koh Heri membosankan tapi saya yakin karena pengaruh kopi yang disajikannya. Saya pernah membaca kalau kopi yang baik dengan cara seduh yang baik juga justru akan membuat aliran darah lebih lancar, dan peminumnya jadi lebih nyenyak tidur. Dan itu yang terjadi pada saya.

*****

“SAYA LAHIR DI MAKASSAR, BESAR DI MAKASSAR DAN MENCINTAI MAKASSAR.” Kata Koh Heri. Kalimat ini seperti bukti kalau meski leluhurnya datang dari negeri yang jauh tapi dia sudah menganggap dirinya orang Indonesia. Orang Indonesia yang kebetulan berdarah Tionghoa. Maka tak perlu lagi mempertanyakan kecintaannya pada negeri ini.

Koh Heri punya jiwa Indonesia. Ulet dan teguh memegang prinsip. Kecintaannya pada kopi lokal Sulawesi Selatan begitu mendarah daging dan bahkan membuatnya rela memangkas keuntungan besar untuk segelas kopi berkualitas di kedai kopinya. Dia memegang teguh idealismenya untuk memperkenalkan kopi lokal dan mengajak sebanyak mungkin orang untuk meminum kopi lokal. Koh Heri adalah orang Indonesia yang resah melihat begitu banyaknya hasil bumi berkualitas negeri ini yang belum digarap sepenuh hati, dan betapa gampangnya kita silau pada produk luar yang sebenarnya tidak lebih bagus atau bahkan menggunakan hasil bumi kita, bumi Indonesia.

Tak heran kalau dia mengakui kopi sebagai istri keduanya. Istri yang dicintainya sepenuh hati dan tidak rela ditinggalkannya. [dG]