Indonesia di Ujung Tanduk

Indonesia di ujung tanduk
Indonesia di ujung tanduk

Senin pagi sebenarnya saya mulai dengan seperti biasa. Bangun dengan beragam isi kepala tentang apa yang akan saya kerjakan hari itu.

Lalu tiba-tiba melintas kabar tentang meninggalnya Intan Olivia Marbun, bocah kecil korban bom molotov di Gereja Oikumene, Samarinda. Sontak, saya tersentak. Berita itu dengan cepat mampu mengubah keseluruhan mood saya di hari Senin kemarin.

Intan Olivia tidak salah apa-apa. Dia hanya anak kecil yang bermain di depan rumah Tuhan di hari Minggu yang mungkin dianggapnya seperti hari Minggu biasa. Ceria, penuh dengan kesenangan seperti yang seharusnya dirasa seorang anak kecil.

Tapi hari Minggu itu berbeda.

Ada orang yang dengan begitu jahatnya menjelma sebagai iblis, menebar teror yang akhirnya merenggut jiwa bocah kecil itu. Si manusia yang tak pantas disebut manusia itu bahkan menggunakan kaos yang seolah-olah menggambarkan apa yang dilakukannya adalah jihad, sebuah perang suci di jalan Allah.

Memuakkan! Tak pernah ada satupun ajaran dalam agama Islam yang menganjurkan pengikutnya untuk melukai umat manusia, untuk menggunakan kekerasan sebagai pilihan.

*****

4 Nopember 2016, ratusan ribu umat Islam turun ke jalan dalam aksi damai menuntut Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok diproses secara hukum karena dugaan penistaan agama. Selama berjam-jam, para pendemo itu berhasil menampakkan citra Islam yang sejuk. Mereka berdemo dengan santun, membersihkan sampah dan bahkan berjabat tangan dengan para aparat yang mengawal mereka.

Namun, citra itu akhirnya tercoreng akibat ulah sebagian dari mereka yang akhirnya bentrok dengan petugas, membakar mobil dan menyulut kerusuhan. Sebuah hasil yang membuat girang sebagian orang yang sejak awal memang memandang sinis aksi damai tersebut. Padahal tak ada yang salah dari aksi itu, mereka hanya orang-orang yang merasa melakukan hal yang benar sesuai apa yang mereka percayai. Demonstrasi dijamin secara hukum dalam iklim demokrasi.

Lalu tak lama berselang, muncullah aksi bom molotov tersebut. Citra yang susah payah dipoles dan diperbaiki kembali rusak.

Sialnya lagi, tak semua pendukung aksi damai 4/11 itu mengutuk apa yang terjadi di Samarinda. Bahkan ketika ada korban jiwa. Masih banyak yang diam seolah tak peduli, seolah ketika sebuah musibah menimpa umat agama lain maka itu bukan urusan mereka. Sebagian bahkan menganggap kalau apa yang terjadi di Samarinda adalah grand design untuk meruntuhkan citra Islam di Indonesia. Nyawa manusia hanya dianggap sebagai efek samping dari sebuah konspirasi. Collateral damage.

Pendukung aksi damai 4/11 kembali jadi sasaran kesinisan.

*****

Indonesia memang sedang di ujung tanduk. Bibit-bibit perpecahan berdasar SARA sedang tumbuh subur. Bahkan bukan hanya di antara mereka yang berbeda agama dan suku saja yang punya potensi saling memusuhi, sesama penganut agama yang sama dan suku yang sama pun mulai saling bermusuhan.

Bukti paling sederhana ya di antara umat Islam sendiri. Ketika aksi 4/11 berlangsung, sesama Muslim saja sudah saling serang, saling ejek, saling hina dan bahkan saling bermusuhan. Pendukung aksi damai 4/11 menyerang mereka yang tidak mendukung. Sebaliknya, mereka yang tidak mendukung juga balik menyerang.

Belum sembuh permusuhan karena aksi damai 4/11 itu, muncul pihak ketiga yang bermain di tengah suasana panas. Bom di Samarinda meledak, lalu menelan korban. Pertikaian antar Muslim pun kembali memanas. Mereka yang sedari awal tak mendukung aksi 4/11 lalu menyerang pendukung aksi 4/11 yang mereka anggap diam saja ketika seharusnya mereka ikut marah. Sayangnya, memang ada juga yang sengaja tak bersuara bahkan mungkin tak acuh pada apa yang terjadi di Samarinda. Tak peduli pada siapa yang jadi korban, selama itu bukan saudara mereka.

Sungguh, keadaan ini adalah alarm bahaya bagi Indonesia. Bila sesama Muslim saja sudah saling menyerang, bagaimana bisa  kita berharap kedamaian akan hadir? Habis energi kita hanya untuk mencari-cari kesalahan saudara sendiri. Sesuatu yang sangat mudah dimanfaatkan siapa saja untuk semakin memecah belah apa yang sebenarnya sudah lama kita pelihara.

Kalau yang besar saja sudah berhasil dipecah, maka urusan memecah yang kecil tentu tinggal menunggu waktu. Kalau sesama Muslim saja sudah saling serang, tentu mudah untuk mengadu domba mereka dengan pihak lain. Dan pada akhirnya korban akan berjatuhan, korban yang tertinggal sebagai angka di laporan, tertinggal sebagai sekadar “efek samping”.

Kalau sudah begini, Indonesia memang sudah ada di ujung tanduk. [dG]