Highlight 2018; Papua
Dari rencana awalnya yang hanya tiga bulan, ternyata saya menghabiskan waktu hampir setahun penuh di Papua. Tak ayal, perjalanan hidup saya di 2018 dipenuhi satu kata: Papua.
“PUL, ADA ITU LOWONGAN UNTUK DI PAPUA. NDA MAU KO DAFTAR?” Tanya kak Kiko, boss saya di program sebelumnya. Waktu itu akhir Desember 2017, penghujung dari program yang sudah dua tahun saya jalani. Program yang membawa saya mendatangi banyak tempat baru di Indonesia. Sebagai seorang “kontraktor” yang kerjanya berdasarkan kontrak, masa penghujung kontak adalah masa yang mendebarkan. Setelah ini mau ke mana? Itu pertanyaan yang paling sering muncul di ujung sebuah kontrak.
“Tiga bulan ji,” kata kak Kiko lagi. Oke, cuma tiga bulan. Bukan waktu yang panjang dan saya pikir cukuplah untuk mencari pengalaman baru. Sebelumnya kak Kiko sudah menawarkan pekerjaan lain di Papua, tapi karena durasinya panjang saya terpaksa menolaknya. Sejak kembali ke Makassar 2001, saya belum pernah lagi merantau jauh dari kota ini. Tawaran datang berkali-kali, tapi karena alasan tertentu terpaksa saya tolak. Saya lebih memilih menderita di kampung sendiri daripada menyeberang lautan dan menerjang ketidakpastian. Oke, saya memang bukan perantau seperti layaknya orang Bugis-Makassar.
Iming-iming “ Papua” dan “hanya tiga bulan” plus tidak ada tawaran lain, membuat saya tidak berpikir panjang dan menerima tawaran itu. Toh hanya tiga bulan, bukan waktu yang panjang, kata saya dalam hati. Sesuatu yang di belakang hari terbukti tidak benar. Tapi tidak membuat saya menyesal.
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Papua tahun 2014, saya sudah jatuh cinta pada provinsi ini. Ada banyak hal yang benar-benar membuat saya tertarik. Alamnya, orang-orangnya, realitasnya, ironinya, dan banyak lagi. Sampai saya pernah berpikir untuk bekerja di sana, dalam kurun waktu yang panjang. Bukan hanya sekadar berkunjung seperti yang biasa saya lakukan. Pikiran iseng yang tak saya bayangkan akan jadi kenyataan.
Tapi be careful for what you wish, kata orang.
Hampir empat tahun kemudian, keinginan itu terwujud. Januari 2018 saya mendarat di Jayapura, ibukota Papua. Dimulai dengan mencari kamar kos, lalu membiasakan diri dengan kehidupan di kota terbesar di Papua itu. Bangun pagi, ke kantor, beraktivitas, pulang, mencari makan, tidur dan besok harinya memulai kembali hari yang baru. Papua pelan-pelan menjadi bagian dari hidup saya, dan saya mulai betah.
Lalu satu per satu kota lain di Papua masuk ke dalam daftar tempat yang saya kunjungi.
Nabire, Dogiyai, Deiyai, lalu Enarotali, Paniai. Nama yang dulu bisa membangkitkan kengerian ketika mengetik namanya di mesin pencari Google. Paniai Berdarah, itu hasil pencarian paling populer dari kabupaten di pegunungan tengah Papua bagian barat itu. Tempat yang akhirnya saya injak di Januari 2018. Tempat yang ternyata tidak seseram yang digambarkan mesin pencari. Tempat yang akhirnya sangat saya akrabi sepanjang 2018 ini.
Lalu kalimat “hanya tiga bulan” itu terpatahkan. Di akhir kontrak pertama yang memang hanya berdurasi tiga bulan saya menerima tawaran perpanjangan. Awalnya tambahan tiga bulan, lalu tiga bulan lagi sampai akhirnya penuh hingga akhir 2018. Kontrak eceran, kata saya. Kontrak yang membuat saya akhirnya melewati 2018 di Papua, nyaris sepanjang tahun.
Kontrak baru itu juga yang membuat saya menginjak kota-kota baru. Wamena, Tiom, Timika dan Asmat adalah nama-nama baru yang hadir dalam perjalanan saya. Merasakan dinginnya angin Kurima di Wamena, menggigil di suhu 6 derajat di Tiom, dan merasakan keringat yang mengalir deras di kota Agats yang berdiri di atas papan dan lumpur.
*****
PAPUA BENAR-BENAR SEPERTI MASUK KE DALAM DARAH SAYA sepanjang tahun ini. Sebagian besar napas saya berembus di antara kota-kota di Papua. Satu per satu cerita tentang provinsi ini berdesakan ke dalam memori di kepala saya. Satu per satu orang-orang hebat muncul di depan saya. Dari ibu Emiliana Zonggonau di Paniai, pak Robert Kamo di Tiom, sampai Siti Maemumah di Asmat. Nama terakhir memang agak menipu, saya pun awalnya mengira beliau orang Jawa atau Sulawesi. Tapi ternyata bukan, ibu dari Alona yang manis ini adalah keturunan Jawa-Tolikara dengan tampilan fisik yang sangat Papua.
Mimpi yang pernah secara iseng saya lontarkan, ternyata menjadi kenyataan. Papua menerima saya dalam kurun waktu yang cukup panjang. Papua memberikan saya cerita yang unik dan menarik. Dipalang dalam perjalanan Nabire-Paniai, dikawal Brimob dalam perjalanan Tiom-Wamena, hingga menginap di bivak di tepi hutan dalam perjalanan ke Koroway. Hingga akhirnya saya pulang membawa malaria, oleh-oleh dari Papua.
Saya harus berterima kasih pada kak Kiko yang sudah menawarkan pekerjaan ini di akhir 2017 lalu. Penawaran yang “hanya tiga bulan” yang langsung saya terima. Kalau saja waktu itu dia menyebut angka “satu tahun”, belum tentu saya akan langsung menerimanya. Memang jalannya sudah begitu.
Konsekuensi tentu saja ada. Saya kehilangan banyak kesempatan berkumpul dengan teman-teman komunitas di Makassar, pun kehilangan kesempatan undangan sebagai bloger untuk datang ke beberapa acara di Jakarta dan kota lain di Jawa. Tapi tak mengapa, ada harga ada mutu. Kesempatan yang terlewat itu terbayar oleh berbagai cerita dan pengalaman baru yang berharga.
Dan akhirnya bila berbicara tentang 2018, maka yang pertama muncul di kepala memang adalah Papua. Papua menjadi highlight perjalanan saya di tahun 2018, dan mungkin di tahun berikutnya. Sesuatu yang saya syukuri karena menambah pengalaman hidup dan cerita-cerita menarik. Selama Papua masih mau menerima saya, selama itu juga saya akan tetap bertahan di sana. Mungkin karena memang saya sudah jatuh cinta pada Papua.
Sa pu hati tatinggal di Papua [dG]
Pembaca blog juga bersyukur, daemg. Karena kontrak daeng yang terus diperpanjang, akhirnya kami (pembaca) dapat mengenal Papua tidak sekadar Raja Ampat, Sorong, Maupun Jayapura.
terima kasih mas sudah jadi pembaca blog sederhana ini hehehe
pengen sih menceritakan lebih banyak tentang Papua
Ditunggu daeng ceritanya. Pokoknya jangan lelah berbagi cerita 😀
Menambah informasi untuk saya tentang Papua
alhamdulillah hehehe
Dan ada tempat kepo bertanya tentang Papua yang sekarang itu apa benar seperti yang dikatakan rangorang. ???
hahahaha dan saya akan jawab sebisanya
selalu ada tempat yang bisa dikenang, keren om
benar sekali, semua tempat punya ceritanya sendiri2
Saya belum pernah ke Papua dan berharap kelak bisa ke sana meski hanya sebagai pelancong 😀
aminnnn hehehe
mudah2an tercapai yaa