Benang Kusut Masalah Kesehatan di Papua

Papua
Jalanan antara Nabire-Dogiyai

Masalah kesehatan di Papua begitu rumit. Kendalanya bukan hanya di soal dana atau sulitnya akses. Tapi lebih dari itu. Perubahan perilaku akibat pengaruh dari luar juga ikut memberi sumbangsih pada akar masalah.

MALAM ITU HARUSNYA JADI MALAM YANG BIASA SAJA. Kami masuk ke rumah makan. Duduk. Pesan makanan. Menikmati. Bayar. Selesai. Tapi ternyata tidak. Malam itu ada yang berbeda, mungkin karena kami sedang berada di Enarotali, ibukota Kabupaten Paniai, Papua.

Malam dingin, di luar angin sejuk pegunungan 1,700 mdpl menerpa seluruh tubuh. Rumah makan yang berderet dengan bandara itu sederhana saja, berdinding papan dan berlantai tanah. Luasnya tak lebih dari 5×10 m dengan lima meja yang ditata rapi. Pemiliknya perantau dari Jawa yang menyediakan mujair bakar, ayam bakar dan soto ayam. Rumah makan yang tidak seberapa besar itu dipenuhi Orang Asli Papua. Hanya ada saya, kak Luna dan si pemilik warung yang bukan Orang Asli Papua.

Di depan kami, seorang pria Papua brewokan dengan kaos biru hitam menebar senyum. Di pangkuannya seorang bocah duduk tentang, dengan matanya yang jernih. Di sebelahnya, seorang perempuan berbaju ungu dengan tulisan: Freeport menggendong bayi dengan kain sarung.

Ismail (tutup kepala hijau) bersama istri dan anak-anaknya.

“Kami dari Intan Jaya. Tadi jalan kaki jam lima, sampai sini jam tujuh,” kata si pria itu ketika kami bertukar sapa.

Namanya Ismail. Wanita yang duduk di sampingnya adalah istrinya. Anak di pangkuannya yang berumur belum dua tahun dan bayi di gendongan istrinya adalah anak mereka. Si kecil di gendongan ibunya berumur delapan bulan. Dia sakit, demam kata Ismail. Mereka jalan kaki dari Kabupaten Intan Jaya, lalu menyeberang dengan perahu melintasi danau hingga tiba di Enarotali.

“Mau bawa ini berobat,” kata Ismail sambil mengelus rambut si bayi dalam gendongan ibunya. Si bayi dengan mata yang bulat berbinar menatap saya. Wajahnya lucu, tidak nampak seperti orang sakit.

“Di sana ada puskesmas. Tapi tidak ada orang, kosong,” kata Ismail ketika kami tanya kenapa dia sampai berjalan kaki sejauh itu ke Enarotali. “Pemalas semua,” sambungnya.

Puskesmas ada, tapi tidak ada petugas. Tidak ada pilihan lain bagi Ismail dan keluarganya selain berjalan kaki berjam-jam, tanpa alas kaki. Turun dari gunung, menyeberang dengan perahu melintasi danau, lalu disambung kembali dengan jalan kaki. Semua demi mendapatkan pelayanan kesehatan bagi bayinya yang sedang sakit.

Tantangan Geografis

PUSKESMAS TANPA PETUGAS hanya satu dari sekian banyak masalah kesehatan di Papua. Masalah-masalah kesehatan di Papua seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Salah satunya seperti yang sedang terjadi di Kabupaten Asmat. Puluhan anak meninggal dunia, sebagian besar karena campak dan kurang gizi. Asmat hanya satu contoh, kasus yang sama juga terjadi di Dogiyai dalam skala yang lebih kecil. Bertahun-tahun sebelumnya, Yahukimo juga pernah jadi berita ketika belasan orang meninggal karena kurang gizi. Bahkan distrik Sentani, Kabupaten Jayapura pun pernah “menyumbang” korban kekurangan gizi.

Akses seringkali menjadi masalah terbesar bagi pelayanan kesehatan di Papua. Beberapa daerah berada di kawasan yang sulit dijangkau dan terpencil. Kondisi ini menyulitkan bagi para tenaga kesehatan yang bukan orang asli Papua. Mereka bisa saja tidak nyaman untuk tinggal lama di daerah yang tanpa sinyal, tanpa listrik dengan budaya yang berbeda. Akibatnya, mereka tidak tahan dan tidak jarang harus meninggalkan tempat tugas.

Bobby Anderson, seorang aktivis asal Inggris yang banyak menghabiskan waktu di Papua pernah membuat sebuah tulisan panjang tentang kondisi kesehatan di Papua. Tulisan yang berjudul: Mati Sia-sia; Kegagalan Sistim Kesehatan di Papua (saduran dari ‘Dying for Nothing’ – dimuat di Inside Indonesia, No.115, Jan – Mar 2014) memotret kondisi layanan kesehatan di Papua, khususnya di pegunungan tengah.

Dalam tulisan itu Bobby menyebut banyaknya pusat layanan kesehatan yang didirikan pemerintah Indonesia, kosong melompong atau tidak beroperasi maksimal. Tidak ada tenaga kesehatan yang tinggal dan bekerja di sana. Kalaupun ada, mereka tidak dibekali obat-obatan atau alat-alat kesehatan yang memadai. Obat banyak yang kadaluarsa, atau rusak karena tidak ada mesin pendingin.

Asmat
Garasi diubah jadi tempat pelayanan kesehatan di Agats, Asmat Foto: @dhilamansyur

Bobby Anderson menuding keadaan ini sebagai rusaknya sistim pelayanan kesehatan di Papua. Pemerintah yang mengambil alih layanan kesehatan ini tidak mampu meneruskan apa yang sudah dirintis oleh para misionaris di jaman Belanda. Sebelumnya, misionaris yang mengabdi di banyak tempat di Papua memang memberikan layanan kesehatan selain menjadi pelayan Tuhan.

Baca juga: Menjaga Kehamilan, Menjaga Masa Depan

Bobby Anderson mungkin benar, tapi perbaikan bukannya tidak ada. Beberapa daerah di Papua sudah memperbaiki pelayanan kesehatan mereka dengan menggunakan pendekatan budaya. Dalam merancang program kesehatan, para petugas kesehatan benar-benar belajar memahami budaya, kebiasaan, perilaku dan rambu-rambu yang ada di masyarakat Paniai. Salah satu yang bisa menjadi contoh adalah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Paniai. RSUD Paniai bisa menjadi rumah sakit rujukan, bahkan untuk seluruh wilayah adat di Mee Pago yang mencakup wilayah Nabire, Paniai, Intan Jaya, Dogiyai dan Deiyai.

Di Enarotali – ibukota Paniai – juga ada bidan asal Sumatra Utara bernama Butet. Ibu bidan ini sudah tinggal bertahun-tahun di Enarotali, Paniai. Dia menguasai bahasa Mee, bahasa daerah sebagian besar orang Paniai. Dengan penguasaan bahasa dan pemahaman akan budaya lokal, Ibu Butet berhasil memberikan penyadaran dan pelayanan kesehatan yang memadai untuk warga Paniai.

Perubahan Perilaku

APA YANG ANDA LAKUKAN kalau punya beberapa ekor kepiting rawa? Normalnya, kita akan mengolah kepiting tersebut dan menjadikannya makanan yang lezat bukan?

Tapi di Papua, hal seperti itu kadang tidak berlaku.

Di Asmat, adalah hal yang lazim kita menemukan warga yang menjual kepiting tangkapan mereka dan kemudian membeli mi instan. Hal yang hampir sama juga terjadi di daerah pegunungan, temasuk Paniai. Warga bisa saja menjual ikan atau udang hasil tangkapan dari danau, lalu membeli berkardus-kardus mi instan.

Mi instan dianggap sebagai lambang kemajuan, moderen dan lebih mentereng dari makanan tradisional mereka sehari-hari. Kemasan yang menarik dan rasa yang berbeda adalah daya tarik utama. Tidak ada yang peduli dengan kandungan gizinya. Padahal jelas-jelas makanan sehari-hari mereka jauh lebih bergizi dari makanan instan pabrikan yang diekspor dari Jawa itu.

Perubahan ini juga menjangkiti anak-anak kecil. Mereka terbiasa mengonsumsi makanan instan pabrikan yang rendah gizi, daripada makanan tradisional mereka yang kayak gizi. Parahnya, anak-anak di Asmat bahkan mengonsumsi minuman energi dan kopi sejak usia dini. Bahkan ketika berusia di bawah lima tahun. Mereka memuntahkan susu karena rasanya yang hambar, tidak semanis minuman energi misalnya.

Perubahan perilaku itu tidak selamanya berjalan dengan sukarela, ada pula yang terjadi karena terpaksa. Massifnya pembukaan lahan yang dilakukan oleh investor di beberapa tempat – sebagian karena sawit atau industri lainnya – membuat warga kesulitan mengakses makanan tradisional mereka. Jumlah binatang buruan berkurang dengan drastis, sagu tidak mudah lagi ditemukan. Akibatnya, mereka terpaksa kekurangan makanan, atau berpindah ke makanan moderen yang mudah didapat tapi minim gizi.

Kasus gizi buruk di Asmat ditengarai salah satunya disebabkan oleh perubahan seperti itu.

Asmat
Kondisi sebuah tempat layanan kesehatan di Agats, Asmat.
Foto: @dhilamansyur

Sementara itu di Paniai yang berada di pegunungan tengah Papua, masalah gizi juga sudah mulai mengintai. Warga Paniai memang masih mengonsumsi makanan tradisional mereka dan menganggap nasi sebagai makanan rekreasi. Tapi umumnya warga Papua, makan bagi mereka yang penting kenyang. Gizi bukan hal yang penting untuk diperhatikan.

“Pemahaman gizi orang di sini memang masih kurang. Mereka kalau makan ya yang penting kenyang, tidak berpikir soal gizinya,” kata dr. Agus, pria asal Palembang yang merantau ke Papua sejak lebih dari 10 tahun lalu. Dia sekarang menjabat sebagai direktur Rumah Sakit Umum Daerah Paniai.

Dr. Agus dan koleganya – baik dari rumah sakit maupun dari dinas kesehatan Paniai – masih terus berusaha untuk menanamkan pemahaman soal gizi kepada warga Paniai, khususnya Orang Asli Papua. Salah satu program mereka adalah pemberian makanan tambahan kepada ibu hamil dan anak-anak balita lewat Posyandu. Setiap kali mereka dijadwalkan untuk memeriksakan kehamilan atau kondisi balita, makanan tambahan siap disajikan. Para tenaga kesehatan pun tidak pernah lelah untuk memberi penjelasan tentang gizi, khususnya buat ibu hamil dan balita. Program yang sama juga dilakukan di beberapa daerah di Papua.

“Sebenarnya soal gizi bukan masalah utama untuk orang Paniai,” kata Josephina Gobay dari dinas kesehatan Kabupaten Paniai.

Wanita yang kerap disapa Fince ini menuturkan kebiasaan makan orang Paniai. Menurutnya, orang Paniai makan dengan asupan gizi yang berimbang. Ada karbohidrat, ada protein baik protein hewani maupun nabati. Ubi tidak pernah hadir sendirian di meja makan, selalu ada sayuran dan daging baik daging ikan ataupun ayam. Sesekali dalam upacara, daging babi juga muncul.

“Masalah utama mereka itu hanya higienitas (kebersihan),” kata Fince lagi. Dia menggambarkan bagaimana kondisi rumah orang Paniai yang dianggapnya kurang sehat. Tidak ada ventilasi, sehingga penguni rentan terkenal beragam penyakit, utamanya yang berhubungan dengan pernapasan.

Namun, Fince juga membenarkan kalau perubahan pola hidup sedikit banyaknya juga menyumbang masalah pada kondisi kesehatan orang Paniai. Dari pergeseran pilihan makanan hingga kebiasaan anak-anak di Enarotali mengirup lem Aibon.

Fince juga menjelaskan beratnya menanamkan pemahaman soal kesehatan kepada orang Papua. Tidak semua kampanye kesehatan diterima dengan baik di Papua. Pemasangan alat kontrasepsi dianggap sebagai usaha menahan laju pertumbuhan Orang Asli Papua, begitu juga dengan penggunaan kondom. Di Asmat, warga juga menolak memvaksin anak mereka karena sang anak akan demam setelah divaksin. Mereka marah bahkan menuduh vaksin bisa membunuh anak mereka.

Perjuangan petugas kesehatan di Papua memang ekstra berat. Harus sabar, dan harus paham betul konteks lokal. Pendekatan holistik jadi syarat utama.

*****

MEMBICARAKAN MASALAH KESEHATAN di Papua memang ibarat mengurai benang kusut. Sulit untuk mencari ujung pangkalnya. Masalah kesehatan di Papua tidak sesederhana “kurang dana.” Mereka tidak kekurangan dana karena Papua punya dana Otonomi Khusus (Otsus) yang besar. Masalah kesehatan di Papua pun tidak melulu karena akses yang sulit.

Masalah utama mereka ada di sistim dan sumber daya manusia yang kesulitan merespon perubahan di lapangan. Pengaruh dari luar menyerbu dengan cepat, sementara warga asli masih tergagap-gagap menerima perubahan tersebut.

Di sisi lain, strategi dan sistim layanan kesehatan masih belum menemukan bentuk sempurna. Perlu membangun sebuah sistim yang dibangun di atas dasar kebiasaan, budaya dan perilaku warga serta kondisi geografis. Apa yang berhasil di Jawa dan Sulawesi, belum tentu berhasil di Papua. Mengurai benang kusut memang berat, tapi kalau semua mau tentu tidak akan mustahil.

Jika tidak, maka kita hanya akan menantikan waktu sebelum kasus seperti kasus Asmat kembali jadi perbincangan nasional. Lalu bantuan datang dari berbagai penjuru. Makanan, obat-obatan, digelontorkan untuk para korban. Setelah berita mereda, semua lupa kalau akar masalahnya belum dibenahi.

Begitu terus. Entah sampai kapan. [dG]