Apakah Kita Cukup Mengenal Papua?

Apakah kita cukup mengenal mereka?
Apakah kita cukup mengenal mereka?

Papua tiba-tiba jadi ramai dibicarkan orang Indonesia, padahal selama ini tak banyak yang tahu tentang Papua.

“KALAU MAU LIHAT INDONESIA, LIHATLAH DI PAPUA.” Kata Keong, pria asal Sorong yang saya temui di Manokwari. Keong bukan nama aslinya, saya lupa nama aslinya tapi teman-temannya biasa menyapanya dengan nama itu. Dia pria asli Papua, aktif di gerakan pemuda kota Manokwari.

Kalimat yang diucapkan Keong itu selalu terbayang. Di Papua saya melihat asimilasi damai antara beragam suku di Indonesia, bahkan dengan suku Tionghoa yang bukan asli Indonesia. Saya menemukan banyak cerita di Papua, cerita yang kadang lupa untuk dikabarkan.

Papua memang satu wilayah yang sering terlupa di Indonesia. Dalam peta, bentuknya sangat besar sampai berkali-kali besar pulau Jawa yang jadi pusat Indonesia. Tapi besar saja tidak cukup, Papua tetap tertinggal, asing dan jauh dari percakapan. Membicarakan Papua seolah-olah membicarakan sebuah tempat yang kelam, penuh dengan orang barbar, keras, bahkan masih memakan sesamanya manusia.

Sampai Papua kemudian jadi pembicaraan nasional ketika sebuah kerusuhan bernunasa SARA meletup tepat di hari Idul Fitri tahun ini. Sebuah mushala (sebagian orang menyebutnya masjid) terbakar dan sholat ied dibubarkan massa. Berita ini menyeruak sampai kemana-mana, seperti api yang dilemparkan ke jerami kering. Dalam sekejap api membesar, membakar amarah banyak orang. Tiba-tiba saja Tolikara yang jadi sumber keramaian itu jadi terkenal, disebut-sebut meski saya yakin tak banyak orang yang bisa menunjukkan dengan tepat di mana Tolikara dalam peta.

Cerita ini tentu berbeda dengan cerita ketika empat orang mati tertembak di Paniai Desember tahun lalu, atau ketika puluhan dan bahkan ratusan lainnya mati di ujung peluru aparat selama bertahun-tahun. Tak ada berita dan cerita yang cukup bisa menyaingi berita bernuansa SARA seperti yang terjadi beberapa hari yang lalu.

Lalu banyak orang mulai berkoar-koar tentang Papua, tentang in-toleransi di Papua, tentang konflik agama di Papua, bahkan tentang kehidupan orang Papua. Tiba-tiba jadi sangat banyak orang yang merasa paling tahu tentang Papua. Tak peduli mereka pernah ke sana atau minimal pernah membaca literatur tentang Papua. Insiden Tolikara tiba-tiba dijadikan indikator menyamaratakan Papua, menyederhanakan masalah menjadi “hanya” sebatas konflik agama.

*****

MESKI SUDAH BERKALI-KALI KE PAPUA dan membaca banyak tulisan tentang Papua, saya tak pernah merasa tahu banyak tentang pulau itu. Papua buat saya adalah misteri yang selalu mengetuk-ngetuk untuk terus dipelajari, ditelaah, dicecap dan diceritakan. Papua buat saya sungguh unik, tak akan bisa saya melihatnya menggunakan kacamata Sulawesi, apalagi kacamata Jawa dan Jakarta. Karena Papua memang bukan Sulawesi, bukan Jawa dan bukan Jakarta.

Bolak-balik Papua saya menemukan cerita-cerita indah warga asli dan pendatang yang bisa hidup berdampingan dengan damai. Di distrik Demta yang lumayan jauh dan sulit dijangkau dari kota Jayapura, sebuah masjid berdiri tegak di tengah perkampungan Nasrani. Sampai sekarang saya tidak pernah mendengar kabar masjid itu dibakar.

Kalau benar orang Papua itu intoleran, pasti tak banyak orang Bugis-Makassar yang betah hidup di sana puluhan tahun bahkan sampai beranak pinak. Kalau orang Papua memang intoleran, tentu orang-orang Jawa tak akan tenang hidup bertahun-tahun dalam perantauan di tanah Papua.

Mungkinkah kedamaian ini semu?
Mungkinkah kedamaian ini semu?

Tapi sekali lagi, Papua itu unik. Di balik cerita kedamaian pendatang dan penduduk asli ada bara dalam sekam. Cara pandang yang berbeda menyikapi kata “ulet” perlahan tapi pasti menciptakan jarak antara pendatang (yang mayoritas muslim) dengan penduduk asli (yang mayoritas Nasrani). Pasar jadi simbol kemenangan para pendatang, rata-rata di setiap kota di Papua pendatang bisa menguasai pasar berbekal ilmu dagang dan keuletan yang berbeda dengan perpektif dagang dan ulet orang asli Papua.

Orang Papua terlahir sebagai peramu yang hidup di tanah yang kaya. Mereka tidak mengenal kerja keras seperti yang dikenal orang Sulawesi atau orang Jawa yang tanahnya tak sekaya Papua. Kerja keras bagi mereka berarti menokok sagu atau berburu binatang, sesederhana itu. Dan ketika jaman semakin maju dan ilmu dagang semakin berkembang, mereka tertinggal. Kalah bersaing dengan pendatang yang lebih jeli melihat peluang. Jurang semakin melebar, meski kadang tak disadari sepenuhnya.

Konflik jadi gampang terpantik. Pasar yang paling sering jadi korban, karena buat penduduk asli Papua, pasarlah lambang kekalahan mereka atas pendatang. Dalam temuan Komnas HAM atas insiden Tolikara, pasar dan kios pula yang pertama dibakar oleh warga dan kemudian merembet sampai ke mushala. Parahnya lagi karena reaksi itu justru muncul karena tindakan aparat yang represif, membubarkan demonstasi dengan peluru yang mengenai 12 orang warga. Sudah bukan rahasia lagi kalau aparat (yang sebagian besar pendatang) memang lebih suka memilih jalan kekerasan dalam membalas reaksi orang Papua.

Memang ada satu golongan radikal yang menjadi penyebab insiden di Tolikara. Ada satu golongan yang membuat teror dengan membatasi hak beribadah penganut agama lain, bahkan penganut aliran lain dalam satu agama yang sama dengan mereka. Akar masalah ini yang tak disikapi dengan bijak oleh aparat, didiamkan sampai membesar menjadi api.

Masalah di Papua tidak bisa disederhanakan menjadi sekadar konflik agama. Bahwa ada api yang membakar rumah ibadah dan ada pemberangusan hak untuk beribadah, tentu kita tidak bisa menutup mata. Siapapun pelakunya, siapapun yang memulai tentu harus ditindak dan dihukum. Tapi memukul rata kalau semua Papua seperti itu tentu tak bijak.

Papua mungkin seperti seorang adik yang selalu merasa dianaktirikan, tak diperhatikan seperti saudara-saudaranya yang lain bahkan cenderung dikerasi dan terus dipaksa bekerja. Ketika dia tak mampu lagi menahan emosinya, dia bereaksi keras memukuli kakaknya. Kakak yang baik dan orang tua yang bijak harusnya paham dan mencari tahu akar masalahnya, bukan balas memukul dengan lebih keras. Pukulan dan kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, hanya menunda masalah lain yang lebih besar.

*****

SAYA TAK HENDAK BERPIKIR KALAU MASALAH DI TOLIKARA ADALAH MASALAH KECIL. Tidak, ini bukan masalah kecil apalagi berpikir kalau ini biasa dan tidak ada apa-apa. Apa yang terjadi di Tolikara adalah masalah besar, alarm bahaya untuk Indonesia. Kecuali kalau kita memang menginginkan negeri ini pecah berkeping-keping.

Beberapa hari ini kita terlalu banyak bicara tentang Papua, tapi kita tidak tahu persis tentang Papua. Kita tidak cukup mengenal Papua dan lalu menyederhanakan masalah. Papua tidak melulu tentang hitam atau putih, Papua adalah tentang sosial, budaya, politik dan ekonomi. Konflik agama bahkan tidak pernah jadi alasan utama.

Pater Neles Tebay, pemimpin Katolik yang juga koordinator jaringan damai Papua bilang, “Budaya Papua tidak mengajarkan orang untuk mengganggu, apalagi membakar tempat ibadah.” Jadi apa yang terjadi di Tolikara tentu sesuatu yang istimewa, menuntut penjelasan lebih mendalam. Waktunya bagi aparat dan pemerintah mencari tahu akar masalah yang sebenarnya tanpa mengedepankan kekerasan.

Sementara itu, marilah kita diam sejenak dan mengenal Papua lebih dalam. Jangan sampai kita berbicara banyak tentang Papua, padahal kita cukup mengenalnya. Saya percaya pada kata-kata Keong, kalau mau lihat Indonesia lihatlah di Papua. Di sana ada kedamaian tapi juga ada potensi konflik.

Karena bicara Indonesia memang tak selamanya tentang kedamaian. [dG]