Mengingat Kakek Yang Rajin Mencatat
Ternyata saya punya kakek yang rajin mencatat. Kalau hidup jaman sekarang, mungkin beliau sudah jadi blogger juga.
SAYA SAMAR-SAMAR MENGINGATNYA sebagai lelaki tua yang ramping dan jangkung. Beliau rajin membelikan saya sebungkus biskuit Gabin yang rasanya asin, sambil bercanda dan mengajak saya bermain. Tapi itu semua benar-benar samar, sedikit sekali yang bisa saya ingat. Beliau meninggal sebelum saya genap berumur dua tahun, wajarlah tidak banyak yang bisa saya ingat darinya. Beliau adalah kakek dari pihak ibu, namanya Abdul Hamid daeng Gassing.
Nama paddaengangnya itu yang kemudian saya pakai ketika mulai kembali menggali akar Makassar saya. Ketika itu cerita-cerita tentang beliau mulai saya kumpulkan satu-persatu, tentang aktifitasnya di organisasi, tentang kecerdasannya dan keteguhan hatinya.
Lalu pada kesempatan lebaran baru-baru ini saya menemukan hal-hal lain tentang beliau. Dari cerita ibu dan tante, beliau ternyata seorang pria yang rajin mencatat. Dulu dia bahkan punya buku catatan kecil yang menyimpan banyak cerita kehidupannya. Dari hal besar sampai hal remeh temeh seperti kapan ayamnya bertelur, kapan telur itu menetas dan lain-lain.
Seingat saya dulu ada satu kotak besi penuh berisi buku catatan dan segala hal tentang beliau. Sayang, keluarga kami tidak sadar pentingnya dokumentasi. Kotak itu beserta isinya hilang begitu saja, entah dibuang, entah tercecer. Hanya ada satu buku kecil yang saya temukan bersama dengan dua ijazah beliau yang diterbitkan tahun 1937 dan 1939. Entah ijazah sekolah apa, tidak ada keterangannya. Jelasnya ijazah itu diterbitkan pemerintah Hindia Belanda.
Saya masih terlalu kecil ketika itu, saya belum paham betapa berharganya catatan-catatan itu. Sekarang saya hanya bisa menyesali, kenapa semua catatan-catatan itu dibiarkan hilang begitu saja padahal itu adalah harta yang sangat berharga.
*****
TAPI SETIDAKNYA MASIH ADA YANG TERSISA. Cerita tentang kakek membuat saya menelusuri satu buku catatan kecil yang berhasil terselamatkan. Catatan itu sudah lusuh dimakan usia, di dalamnya ada banyak catatan tentang aktifitas kakek selama di Hisbul Wathan, gerakan pandu milik Muhammadiyah. Beliau memang aktivis Muhammadiyah.
Tidak ada tanggal di buku catatan ini, tapi ada tulisan tahun 1950 yang saya duga adalah tahun dibuatnya catatan ini. Tulisannya ditulis dengan tangan, sangat rapi bahkan seakan dicetak dengan komputer. Ejaannya ejaan lama sampai saya agak sulit membacanya meski ditulis dalam bahasa Indonesia yang baku. Saya hanya menebak-nebak isinya, apalagi beberapa tulisan sudah luntur termakan usia.
Saya membayangkan, seandainya beliau hidup di jaman sekarang mungkin beliau sudah jadi blogger. Sifatnya yang rajin mencatat adalah modal utama untuk menjadi blogger. Tapi mungkin juga tidak, karena konon kebiasaan mencatat adalah hasil pendidikan jaman Belanda yang kemudian seperti dihapuskan sejak jaman Orde Baru.
Halim HD, seorang budayawan senior meninggalkan komentar di status Facebook saya yang bercerita tentang alm. Kakek. Katanya di jaman Belanda orang-orang memang terbiasa mencatat apa saja, entah kejadian penting dalam kehidupannya atau kejadian biasa-biasa saja. kebiasaan ini seperti memperkuat budaya literasi dalam suku Bugis-Makassar yang sudah ada sejak lama. Orang Bugis-Makassar memang dikenal suka mencatat, entah dalam lembaran daun lontar, kertas atau dinding dan tiang rumah. Kebiasaan ini memang berangsur-angsur hilang, utamanya ketika jaman Orde Baru yang seperti menakut-nakuti orang untuk mencatat sejarahnya sendiri.
Tapi itu urusan berbeda. Saya hanya merasa senang bahwa bertahun-tahun lalu sebelum saya mendapati fakta tentang almarhum Kakek, saya sudah menggunakan namanya untuk blog pribadi saya, tempat saya mencatat banyak hal. Setidaknya saya meneruskan semangatnya untuk mencatat. Mungkin di alam sana dia tersenyum bahagia melihat ada cucunya yang meneruskan kebiasaannya mencatat.
Mudah-mudahan.
Setidaknya saya tahu sekarang dari mana kebiasaan mencatat ini saya dapatkan. [dG]