Apa Kabar Sopan Santun?
Dulu Indonesia terkenal sebagai bangsa yang penuh dengan tata krama dan sopan santun, tapi sepertinya perlahan-lahan itu sudah mulai luntur.
Ada berita yang lagi ramai di linikala. Apalagi kalau bukan tentang seorang pramugari Sriwijaya Air yang dipukul seorang pejabat karena meminta sang bapak pejabat mematikan handphone. Sontak kelakuan sang bapak pejabat mendapat banyak tanggapan di media sosial. Mengutip kata Donny BU, pengguna media sosial dan media mainstream kompak mem-bully si bapak pelaku.
Pejabat yang kehilangan sopan santun bukan hal baru di negeri ini, saya sendiri sudah sering melihat tingkah bapak-bapak pejabat yang mungkin karena sudah terlalu sering dihormati dan dijilat jadinya malah kehilangan rasa menghormati orang lain. Termasuk kehilangan rasa santunnya. Kemana-mana orang seperti ini memang merasa harus selalu dihormati, dilayani dan mudah tersinggung kalau ada orang yang tidak menuruti patron yang dia bentuk.
Mungkin karena makin banyak pejabat yang seperti ini maka tingkahnya mulai ditiru oleh generasi yang lebih muda. Tidak susah menemukan anak-anak ABG atau yang sedikit agak dewasa dengan kelakuan yang melanggar batas norma kesantunan di negeri kita. Coba lihat di media sosial, mudah menemukan mereka yang dengan gampangnya memaki orang yang lebih tua atau lebih parah lagi orang tua mereka sendiri.
Suatu hari Denny Sakrie pernah dikeroyok fans Agnes Monica hanya karena dia ngetwit tentang go international. Fans Agnes merasa Denny menyindir idola mereka, akibatnya ragam caci maki mendarat di tab mention sang kamus musik Indoensia itu. Caci makinya juga kelewatan sampai membawa-bawa nama binatang dan nama alat kelamin. Padahal rentang usia pelaku dan Denny sebagai korban tentu sangat jauh. Denny mungkin seumuran dengan orang tua mereka.
Iya, standar sopan santun memang beda. Di belahan barat, membantah guru adalah hal yang biasa, sama biasanya dengan bercelana pendek dan berkaos oblong di dalam kelas. Di Indonesia, membantah guru belum lazim meski sepertinya mulai ada guru yang membolehkan anak muridnya untuk berdiskusi sepanjang itu masih dalam koridor sopan menurut orang timur.
Adat istiadat di negeri kita selalu menjunjung tinggi tata krama dan sopan santun, khususnya kepada yang lebih tua. Orang Makassar menyebutnya panggadakkang. Standar sopan santun tiap suku di Indonesia juga tentu berbeda. Apa yang menurut orang Betawi biasa bagi orang Jawa atau bahkan bagi kami orang Makassar sudah dianggap tidak sopan. Bagi kami orang Makassar, jalan di depan orang tua tanpa menundukkan tubuh atau attabek bisa berarti tamparan di kepala karena dianggap tidak sopan. Tapi bagi suku lain mungkin tidak sampai begitu.
Standar sopan santun memang beda-beda tentu saja, tapi sebagai orang timur kita sepertinya punya kesepakatan tentang batas sopan santun. Batas itu yang sepertinya makin lama makin kabur. Entah dikaburkan oleh harta, tahta maupun oleh trend yang disebut modernitas. Pelakunya juga beragam, dari mereka yang sudah tua dan dewasa hingga mereka yang masih muda dan hijau.
Mungkin ada yang bertanya, pentingkah sopan santun itu? Bukankah kebanyakan sopan santun malah bisa membuat kita munafik karena terlalu menghargai perasaan orang lain dan menolak untuk jujur? Pada beberapa situasi bisa jadi ini benar. Anak-anak takut menyangkal pendapat orang yang lebih dewasa meski tahu itu salah. Penghalangnya apalagi kalau bukan karena segan melanggar norma kesantunan.
Tapi kalau cerdas menyiasati sepertinya hal itu bisa dijembatani. Sangkalan, bantahan atau kritikan yang disodorkan dengan cara santun tentu terlihat lebih elegan meski kembali lagi kepada pihak kedua, bisakah dia menerima bantahan atau kritik? Cukup santunkah dia membalas kritikan dan bantahan?
Selalu ada baik dan buruk dalam setiap pilihan manusia, termasuk memilih untuk santun atau tidak. Sebagai orang yang mungkin masih dianggap kolot saya masih tetap memegang teguh kesantunan yang diwariskan orang tua. Utamanya kepada mereka yang lebih tua. Saya tidak mau suatu hari nanti saya akan bertanya: apa kabar sopan santun? [dG]
…