Pantaiku Sayang, Pantaiku Malang
Makassar kadang akrab dengan kata laut dan pantai. Pantai Losaripun jadi salah satu ikon kota ini. Tapi sayangnya pantai dan laut di provinsi ini seperti anak tiri yang malang.
Orang yang datang ke Makassar rata-rata mengakui ingin melihat senja dari pantai Losari, atau setidaknya ingin melihat pantai yang sudah sangat sering muncul di televisi dan di beragam media lainnya. Foto sunset dengan latar tulisan PANTAI LOSARI sangat mudah ditemukan di internet. Entah sudah berapa ribu orang yang mengabadikannya. Pantai Losari sudah seperti menara Eiffel buat Paris atau patung Liberty buat New York.
Jujur, saya selalu berusaha menghindar kalau ada tamu yang minta diajak ke pantai Losari. Buat saya pantai Losari yang ada sekarang bukan tempat yang nyaman buat bersantai. Di senja menjelang malam (apalagi malam libur) anjungan pantai Losari akan sangat penuh dengan manusia. Beberapa di antaranya akan bergerak ke sana ke mari menengadahkan tangan dengan sedikit memaksa. Beberapa lainnya membawa gitar dan alat musik sederhana, memainkan musik dan seperti menutup mata dan telinga ketika orang-orang menggelengkan kepala atau menepis tangan tanda menolak. Itu hanya sedikit dari beberapa hal yang membuat pantai Losari makin lama makin tidak nyaman.
Buat saya pantai Losari yang sekarang adalah monumen sebuah penghianatan terhadap kata PANTAI. Dalam bayangan orang, pantai adalah sebuah garis memanjang penuh pasir yang sesekali dijilat ombak. Tapi tidak dengan pantai Losari. Anda hanya akan menemukan beton sebagai pengganti pasir. Sementara itu air laut yang seharusnya berwarna biru jernih sekarang sudah berubah kehitaman dan berminyak.
Pemerintah kota memang berhasil menciptakan sebuah ruang baru untuk para warga berkumpul di sore hari menantikan matahari yang pulang, tapi mereka gagal menjaga kemurnian sebuah kata pantai yang seharusnya bisa dinikmati.
Pantai Losari juga adalah monumen hidup tentang keserakahan yang menyembah pada kata ?modernisasi?. Di atasnya ada banyak nafsu yang disuburkan oleh beton-beton yang dingin dan kaku. Sepelemparan pandangan dari pantai Losari ada keserakahan lain yang sedang dipupuk, namanya reklamasi yang berujung pada kata indah: Center Point Of Indonesia.
Losari Yang Direnggut.
Pantai sejatinya adalah ciptaan Tuhan yang diberikan sebebas-bebasnya kepada umatnya untuk dinikmati. Bukan hanya manusia, tapi juga binatang, tumbuhan dan biota lainnya. Tapi mereka yang berkuasa di kota ini lupa itu. Pantai Losari dikiranya adalah warisan nenek moyangnya yang bebas mereka ubah sesuka mereka.
Maka atas nama modernisasi ditimbunlah pantai itu. Di atasnya nanti akan ada lambang-lambang kemajuan zaman yang diharapkan bisa menunjukkan ke dunia bahwa Makassar adalah kota dunia! Luar biasa menyejukkan.
Modern mungkin memang berarti harus berjarak pada alam dan lingkungan. Mimpi Central Point Of Indonesia itu merusak pantai Losari dan mahluk yang hidup di sekitarnya. Biota laut dirusak, bakau diberangus dan dengan sendirinya burung bangau serta semua hewan yang hidup di dalamnya ikut pergi atau mati perlahan.
Manusia juga sama. Pesisir pantai yang jadi tempat hidupnya para nelayan mulai terusik atau diusik. Jalur tradisional mereka untuk turun ke laut dipersempit. Rumah-rumah tradisional mereka yang berderet, berjejal dan saling bersentuhan hanya menunggu waktu sebelum digusur dan dibersihkan. Tak mungkinlah proyek prestisius bernama Center Point Of Indonesia sudi bersanding dengan perumahan tradisional milik para nelayan itu.
Sialnya, sikap bebal pemerintah itu diikuti oleh beberapa orang lainnya. Dua hari yang lalu sebuah organisasi massa yang membawa nama agama melakukan kebodohan berbentuk pelecehan kepada laut. Mereka berniat baik, memerangi khamar dan menegakkan iman dengan melakukan razia minuman keras ke beberapa tempat hiburan malam di kota Makassar. Sampai di sini niat baik mereka masih bisa mendatangkan simpati.
Tapi, sayang sekali. Niat baik tidak selamanya dilakukan dengan cara yang baik pula. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman keras itu beserta isinya dibuang ke laut. Iya, dibuang ke laut! Tepatnya di tepi pantai Losari yang selama ini sudah cukup menderita akibat ulah keserakahan pemerintah yang berselingkuh dengan pemodal. Lengkaplah sudah penderitaan pantai Losari. Pemerintah kota memperkosanya, wargapun menyakitinya.
Apa salah pantai itu sampai harus menerima perlakuan sesadis itu? Apa salah pantai Losari sampai dia harus menanggung beban sedemikian beratnya? Bukan soal siapa yang melakukanya, tapi apa yang dilakukan oleh mereka. Ironisnya lagi, perlakuan itu hanya berjarak sehari dari peringatan hari lingkungan hidup internasional.
Pantai Losari selama ini sudah menjadi ikon kota Makassar yang mengundang rasa penasaran dari banyak orang yang belum pernah ke kota ini. Tapi, dia seakan hanya diperbudak oleh pemerintah kota. Tampangnya dipercantik, diberi polesan sana-sini tapi sesungguhnya isinya dibiarkan rusak dan tidak alami. Dua hari yang lalu kerusakannya makin bertambah oleh oknum sebagian orang yang menganggapnya sebagai tempat sampah.
Ah, pantai Losari yang malang. [dG]
…