Manis Pahit Nasib Petani Garam Jeneponto

Lanjutan dari halaman 1

Nasib Daeng Situju sebagai pemilik lahan tambak garam mungkin masih lebih bagus dari nasib para pekerja tambak. Para pekerja ini adalah orang-orang yang datang dari sebelah Timur Jeneponto, dari daerah di ketinggian yang jauh dari laut. Mereka turun ke pesisir dan bekerja sebagai buruh di tambak-tambak garam yang terhampar di pesisir Jeneponto. Tanah yang kering dan tidak bisa dipakai bercocok tanam adalah alasan yang memaksa mereka turun mencari pekerjaan lain untuk menyambung hidup.

Para pekerja itu menerima upah dengan sistem bagi hasil. Untuk setiap petak yang mereka olah mereka mendapatkan 2/3 bagian sementara pemilik lahan mendapatkan 1/3 bagian. Untuk setiap petak selebar sekira 4 x 7 meter mereka bisa menghasilkan 20 hingga 30 karung garam setiap 3 hari sekali. Proses yang mereka lakukan memang masih sangat manual dan sederhana.

Air laut diangkut masuk ke tambak menggunakan kincir angin. Daeng Situju mengaku pernah mendapat bantuan kincir angin dari kementerian kelautan dan perikanan serta Dinas Perindustrian Kab. Jeneponto. Di petak pertama tanah akan dipadatkan dulu untuk menampung air laut tersebut, setelah didiamkan beberapa hari air laut itu kemudian disalurkan lagi ke petak penggaraman yang berada di dekat petak pertama. Di petak penggaraman inilah air laut dibiarkan mengendap selama 2 atau 3 hari sebelum dipanen.

Ladang garam di Jeneponto
Ladang garam di Jeneponto

Masa terbaik melakukan proses penggaraman adalah ketika musim kering antara bulan Juni hingga Oktober. Kala itu angin bertiup dari arah gunung yang disebut Daeng Situju sebagai angin panas, sementara angin yang bertiup dari arah pantai disebutnya sebagai angin dingin. Angin dingin disebut kurang cocok untuk para petani garam, apalagi ketika akhirnya musim hujan tiba.

Di musim penghujan, aktivitas petani garam otomatis akan berhenti. Tambak-tambak garam yang perlahan akan digenangi air diubah fungsinya menjadi tambak ikan bandeng atau udang. Bibit ikan bandeng dan udang didatangkan dari daerah Takalar atau Bantaeng, sebagian lagi memang diusahakan sendiri oleh para petani garam. Meski begitu Daeng Situju mengaku hasil dari tambak ikan bandeng dan udang itu kadang tidak seberapa besar karena lebih banyak ikan bandeng atau udang yang mati sebelum bisa dipanen.

Kalau nasib Daeng Situju sebagai pemilik lahan bisa lebih baik meski musim panen garam sudah lewat, tidak begitu dengan nasib para pekerja tambak. Ketika tambak-tambak garam tak lagi bisa berproduksi mereka mencari cara lain untuk bertahan hidup. Sebagian dari mereka bergerak ke kota Makassar, mencari peruntungan dari mengayuh becak atau bekerja sebagai buruh bangunan di proyek-proyek konstruksi.

Ketika menjalani aktivitas sebagai petani tambakpun nasib mereka kadang tak beruntung. Untuk membiayai kehidupan sehari-hari mereka kadang harus meminjam uang dari para pemilik lahan. Ketika musim panen tiba penghasilan mereka akan dipotong untuk membayar pinjaman mereka, ini menyulitkan para pekerja apalagi ketika harga garam sedang turun.

Harga garam di Jeneponto memang sangat tidak stabil, banyak hal yang memengaruhinya. Faktor utama adalah cuaca, ketika musim kemarau berkepanjangan produksi garam akan meningkat dan tentu saja membuat harga garam menukik tajam. Di musim hujan ketika produksi garam menurun harga garam justru akan meningkat.

Faktor lain yang memengaruhi adalah produksi garam dari tempat lain, termasuk dari Madura. Ketika produksi garam dari Madura meningkat maka harga garam produksi petani garam di Jeneponto akan menukik meski produksi berlimpah. Hal sebaliknya terjadi bila produksi sentra garam di tempat lain menurun.

Gudang garam

“Sebenarnya kami berharap pemerintah bisa menetapkan harga garam yang standar biar harganya tidak turun-naik seperti ini.” Kata daeng Bunga. “Dulu ada KUD yang bisa jadi harapan kami, KUD menampung garam hasil panen petani dengan harga standar. Sayangnya sekarang KUD itu tidak ada lagi.” Sambungnya. KUD yang dia maksud adalah Koperasi Unit Desa yang memang pernah marak di jaman orde baru.

Saat ini petani garam di desa Bontorannu merasa senang karena hasil garam mereka diangkut oleh seorang pengusaha bernama pak John. Sayang mereka tidak bisa menjelaskan dengan detail siapa pak John ini. Mereka hanya tahu pak John punya pabrik pengolahan garam yang besar di kawasan industri Makassar (KIMA). Lewat penelusuran di internet saya menduga pak John ini adalah pemilik PT. Eka Sari Lestari yang memang bergerak di bidang pengolahan garam.

Pak John dan anak buahnya memang sudah bertahun-tahun menjadi pengumpul garam hasil produksi petani garam di desa Bontorannu. Untuk sekali angkut mereka bisa menggunakan 20 truk yang setiap truk berisi 150 karung atau total sekitar 3000 karung. Setiap karung untuk saat ini dihargai Rp. 15.000.-. Garam itu masih berupa bahan baku, masih harus dibersihkan lagi dan diolah lagi hingga siap untuk dikonsumsi atau digunakan untuk keperluan industri.

Di pabrik milik pak Johnlah garam-garam itu diolah, termasuk proses kristalisasi, penghalusan dan pemberian zat iodium. Warga setempat juga ada yang melakukan proses seperti itu, tapi skalanya kecil.

“Kami tidak tahu soal proses itu, kami hanya menyediakan bahan baku. Urusan setelahnya semua diurus sama pak John.” Kata Daeng Situju.

Sejak tahun lalu menurut penuturan Daeng Situju, pak John sudah turun langsung mengangkut hasil panen garam petani. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya ketika petani sendiri yang harus mengangkut hasil panennya ke pengepul sebelum dibawa ke pak John.

*****

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya hidangan di meja makan kita kalau garam tidak ditemukan. Makanan tanpa garam tentu terasa sangat membosankan. Namun di balik semua kegunaannya garam yang hadir di meja makan kita ternyata menyimpan cerita yang sangat panjang.

Di dalam sebutir garam yang halus itu tersimpan cerita panjangnya proses penggaraman. Di butirannya juga terekam kisah manis dan pahitnya nasib para pekerja dan petani garam, salah satunya di Jeneponto Sulawesi Selatan.

Seperti kegunaannya, garam yang menyempurnakan rasa makanan juga ternyata memperkaya rasa buat para petani dan pekerjanya. Kadang mereka mereguk manisnya hasil panen garam, tapi tak jarang pula harus pasrah menelan pahitnya kehidupan keras sebagai pekerja dan petani garam. [dG]