Manis Pahit Nasib Petani Garam Jeneponto

Daeng Situju dan garam hasil panennya
Daeng Situju dan garam hasil panennya

Pernah membayangkan makanan yang kita santap sehari-hari tidak ditambahi garam? Rasanya tentu hambar dan sama sekali jauh dari rasa nikmat yang sudah terbiasa kita rasakan. Tapi tahukan Anda kalau di balik hadirnya garam itu ada banyak cerita panjang perjuangan para petani garam?

Di jaman kejayaan kerajaan Romawi, para serdadu yang baru pulang bertugas dari negeri jauh seperti Asia dan Afrika akan diberi upah berupa garam yang ditaruh dalam karung. Kala itu bangsa Eropa begitu takjub ketika menemukan komoditi bernama garam, komoditi yang bisa membuat makanan jadi terasa lebih nikmat. Bukan hanya untuk keperluan penyedap rasa, garam yang kala itu belum bisa ditemukan di Eropa juga punya banyak kegunaan lain. Karenanya nilai garam menjadi sangat mahal.

Karena harganya yang mahal itu, garam dijadikan indikator seberapa besar jasa seorang prajurit dalam menjalankan tugasnya. Dari situlah frasa worth the salt muncul. Anda yang memberikan pengabdian sepenuhnya berhak untuk mendapatkan garam, begitu juga sebaliknya.

*****

Beratus-ratus tahun kemudian garam menjadi sesuatu yang jamak, mudah ditemukan di mana saja meski gunanya juga semakin banyak. Garam tidak hanya digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti menyempurnakan rasa masakan tapi juga diperlukan untuk beragam industri seperti pengeboran minyak, industri pulp, industri kaca, industri tekstil sampai penyamakan kulit.

Indonesia adalah salah satu negara penghasil garam, setiap tahun menurut Aliansi Asosiasi Petani Garam Indonesia (A2PGI) garam yang dihasilkan di Indonesia antara 1.4 sampai 1.5 ton. Sayangnya karena setiap tahun Indonesia juga mengimpor garam dari luar dengan jumlah yang hampir sama. Garam produksi Indonesia dianggap belum memenuhi standar industri sehingga hanya bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga, sehingga untuk kebutuhan industri garam masih harus diimpor dari luar.

Dari sekian banyak sentra penghasil garam di Indonesia, Jeneponto adalah salah satunya. Kabupaten yang terletak sekira 90 km sebelah Selatan kota Makassar ini sejak dulu terkenal sebagai salah satu daerah dengan tambak garam yang luas.

“Menambak garam sudah jadi pekerjaan turun temurun bagi masyarakat di sini sejak lama.” Kata daeng Situju, seorang penambak garam di desa Bontorannu, Kec. Bangkala Allu Kab. Jeneponto. Lelaki 50 tahun itu menyambut kami di gapura kecil di depan rumahnya pada suatu siang yang basah dengan gerimis hujan. Kawasan penghasil garam di Jeneponto kadang disebut pacce’lang?(bahasa Makassar: penggaraman) sehingga warga sendiri kadang menyebut desanya sebagai desa pacce’lang.

Daeng Situju mengaku punya lahan tambak garam seluas sekira 3 are, lahan yang merupakan warisan dari orang tuanya. Semasa muda dia pernah bermimpi meneruskan hidup sebagai pegawai negeri sipil. Berbekal ijazah S1 jurusan sosial politik yang didapatnya dari Universitas Veteran Republik Indonesia (UVRI) dia sempat mencoba peruntungan mendaftar menjadi PNS. Bukan hanya mendaftar dan mengikuti ujian, Daeng Situju bahkan sampai membayar uang pelicin kepada seseorang yang dirasa bisa menjamin kelulusannya.

Naas karena dia akhirnya malah tertipu. Gagal di tes calon pegawai negeri sipil, uang pelicinpun tak kembali. Tahun 1999 Daeng Situju akhirnya pulang ke tanah kelahirannya dan meneruskan tambak garam milik orang tuanya. Sampai sekarang bapak 5 anak itu terus mengolah tambak garamnya, mengeyam pahit manis sebagai petambak garam.

“Di jaman presiden Habibie kami pernah merasakan manisnya jadi petambak garam.” Kata Daeng Situju. Kala itu pemerintah menutup keran impor garam dari luar dan tentu saja memengaruhi harga garam dalam negeri. Harga garam naik hingga angka Rp. 100.000,- per karung seberat 50 kg. Sangat jauh dari harga sekarang yang berkisar antara Rp. 15.000,- sampai Rp. 20.000,- per karung. Ketika kami datang (3 Desember 2014) harga garam memang sedang jatuh, jauh dari harga normal sekitar Rp. 50.000,- per karung.

Manisnya jadi petambak garam itu hanya berlangsung sejenak, hanya sekisar setahun dari 1999 sampai 2000. Setelah BJ. Habibie turun, nasib petani garampun kembali pahit. Mungkin tidak selamanya pahit, tapi setidaknya tidak pernah menjadi semanis masa itu.

*****

Perhatian pemerintah sepertinya menjadi sesuatu yang dirindukan para petambak garam di desa Bontorannu. Mereka menyayangkan tidak adanya usaha serius dari pemerintah daerah untuk memperhatikan nasib mereka. Pemerintah daerah Jeneponto pernah mengadakan studi banding ke Madura, salah satu sentra penghasil garam terbesar di Indonesia. Sayangnya karena studi banding itu tidak hanya mengikutkan petambak (yang jumlahnya juga hanya segelintir), tetapi juga orang-orang yang dekat dengan aparat pemerintah. Orang-orang yang sebenarnya tidak punya kepentingan dengan industri tambak garam di Jeneponto. Akhirnya studi banding itu berjalan tanpa hasil, setidaknya bagi Daeng Situju.

“Kalau hanya diajari cara membuat garam kami juga bisa, tidak usah diajar lagi.” Kata Daeng Situju yang juga diamini dua perempuan yang ikut nimbrung dalam obrolan siang itu.

Garam yang habis dipanen

Sikap apatis para petani tambak bisa dimaklumi jika mendengar kisah-kisah mereka. Tahun 2012 yang lalu banjir besar melanda Jeneponto. Tambak-tambak garam terendam air, bahkan gudang tempat garam disimpanpun ikut jadi korban banjir. Akibatnya warga petambak menderita kerugian besar, garam yang disimpan di gudang tidak bisa dijual lagi. Tak lama berselang pejabat pemerintah turun langsung melihat lokasi bencana, termasuk wakil gubernur Sulawesi Selatan Agus Arifin Numan.

Kunjungan pejabat pemerintah itu diikuti dengan berita kalau pemerintah daerah akan mengganti kerugian petani tambak. Ramai-ramai mereka diminta untuk menandatangani sebuah form yang katanya untuk mendata kerugian mereka. Harapan membuncah di dada para petani tambak, setidaknya kerugian dan rasa sakit akibat bencana banjir itu akan sedikit terobati.

Dua tahun berselang, kisah itu hanya jadi kenangan. Uang ganti rugi yang dijanjikan sama sekali tidak datang, harapan menguap entah kemana. Rasa apatispun muncul, tak peduli lagi pada apa yang terjadi di pemerintahan.

“Akhirnya kami sampai bilang, siapapun yang naik jadi bupati tidak ada pengaruhnya buat kami. Kami tetap jadi petambak garam.” Kata Daeng Bunga, wanita 30an tahun yang mendampingi kami siang itu.

Lanjut ke halaman 2