Mendulang Rupiah dari yang Resah

Bandara Sultan Hasanuddin (sumber: http://groundhandling2010.blogspot.com)

Para supir taksi, supir mobil rental dan tukang ojek di bandara Sultan Hasanuddin mungkin termasuk yang paling banyak dan paling gigih. Kadang sudah membuat resah.

” Taxi pak, rental mobil pak, Avanza pak, ojek pak”

Itu adalah berderet kata sambutan yang akan anda terima ketika mulai menjejakkan kaki di kota Makassar, tepatnya keluar dari pintu kedatangan bandara Sultan Hasanuddin. Begitu kaki anda melewati batas pintu otomatis terminal kedatangan, puluhan pria dan beberapa wanita akan langsung menggoda anda. Di tangan mereka biasanya ada selembar kertas yang dilaminating berisi tulisan tarif per zona. Beberapa di antaranya hanya menggenggam kunci mobil atau kunci motor. Tapi mereka semua sama, gigih dan tidak kenal kata menyerah.

Mereka bergerombol, penuh semangat dengan suara agak keras. Oleh petugas mereka dilarang untuk melewati pagar pembatas, tapi kadang karena terlalu semangatnya beberapa dari mereka enak saja melewati pembatas dan masuk ke area kedatangan hingga mendekati pintu kedatangan.

Setelah melewati pagar pembatas, kita akan makin akrab dengan kegigihan mereka. Biasanya satu penumpang akan dikerubuti lebih dari satu orang yang menawarkan jasa taxi, mobil rental atau malah ojek. Mereka terus merapat ke tubuh kita, menawarkan jasa meski kita sudah yakin untuk mengatakan tidak. Bagi mereka penolakan memang tak cukup hanya sekali.

Dari pengalaman saya di beberapa bandara di Indonesia baik bandara besar maupun kecil, para tukang taxi, rental mobil dan ojek di Makassar memang yang paling hiperaktif. Saya belum pernah menemukan bandara dengan jumlah dan perilaku tukang taxi, rental mobil dan ojek yang sama.

Sifat pantang menyerah mereka kadang sudah meresahkan penumpang, khususnya mereka yang baru kali itu datang ke Makassar lewat bandara Sultan Hasanuddin. Di jejaring sosial Foursquare, tepat di venue Bandara Sultan Hasanuddin saya mendapati komentar seorang penumpang yang melambangkan kekesalannya pada sifat pantang menyerah tukang taxi bandara Hasanuddin.

Di jejaring sosial Twitterpun pendapat yang sama muncul ketika saya mencoba menanyakan kesan mereka pada para supir taxi, rental mobil dan tukang ojek di bandara itu.

Ungkapan kesal di jejaring sosial

Petugas bandara sepertinya harus bekerja lebih keras untuk menertibkan mereka, minimal membuat aturan yang jelas agar para pendatang tidak sampai resah oleh paksaan mereka yang menawarkan jasa angkutan keluar dari bandara Sultan Hasanuddin itu.

Mengais Rupiah di Bandara

Namanya Rasyid. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, seragam biru muda melekat di badannya. Sudah terlihat lusuh, mungkin karena terlalu sering dipakai hingga jarang dicuci. Malam itu saya menumpang taxinya, sebuah Chevrolet Lova berwarna biru tua. Khas warna taxi bandara.

” Hari ini saya sudah dapat 4 rit, dua rit tadi masuk zona tiga”, Jawabnya ketika saya bertanya sudah berapa kali dia mengantar penumpang hari itu. Para supir taxi dan mobil rental di bandara Sultan Hasanuddin memang membagi 3 zona berdasarkan jarak dari bandara. Zona 1 antara bandara hingga daerah BTP (sekitar 10 Km), zona 2 antara bandara hingga daerah sekitar pantai Losari (20 Km) dan zona tiga adalah wilayah yang lebih jauh dari itu.

Pak Rasyid kemudian bercerita dengan lancar soal aktifitasnya sebagai supir taxi di bandara. Katanya sudah 3 tahun dia bekerja menyediakan jasa untuk mengantar mereka yang mendarat di Makassar keluar dari bandara. Mobil yang dipakainya adalah mobil milik koperasi bandara Sultan Hasanuddin yang bisa mereka miliki dengan cara mencicil. Mobil itu mereka beli dengan uang muka Rp. 60 juta dan cicilan per bulan Rp. 2,4 juta selama 5 tahun.

” Dalam satu hari saya harus dapat paling kurang 2 rit untuk mencukupi cicilan. Kalau lebih dari itu, bonus untuk saya”, Ujarnya. Saya memang bertanya rata-rata berapa rit yang harus dia dapatkan per hari demi mencukupi cicilan mobilnya. Pak Rasyid menambahkan, ” Kalau dapat satu rit zona 3 wah lumayan pak, tinggal santai-santai”. Tarif untuk zona tiga memang paling tinggi, Rp. 100 ribu.

Para supir taksi siap “menerkam” mangsa

Ternyata untuk menjadi supir taxi resmi bandara tidak gampang. Ada dana sebesar Rp. 15 juta yang harus disetor sebagai biaya pendaftaran. Imbalannya mobil mereka akan diberi stiker resmi angkutan bandara. Untung saja karena uang Rp. 15 juta itu bisa mereka cicil selama setahun. Selain uang sebesar itu, mereka ternyata masih harus membayar biaya parkir Rp. 8.000,-sekali parkir, plus uang sebesar Rp. 15.000,- per rit yang disebutnya sebagai uang jasa untuk koperasi.

Saya menghitung, pendapatan bersihnya untuk satu rit di zona satu sekitar Rp. 45.000,- dari harga asli yang dipatok sebesar Rp. 68.000,-. Pantas saja dia senang kalau bisa dapat penumpang yang minta diantar ke zona dua apalagi zona tiga.

Di depan pintu keluar terminal kedatangan ada banyak konter taxi dan rental mobil, tapi pak Rasyid memilih menunggu di bawah, tepat di area penjemputan. Dia tidak suka mendaftar di konter, katanya antriannya panjang dan harus menunggu lama sebelum bisa dapat penumpang. Makanya dia lebih memilih bergerilya sambil berharap bisa menjaring penumpang yang tidak terjaring oleh konter resmi.

” Tadi saya mengoper penumpang ke teman. Soalnya si penumpang minta diantar ke Bulukumba. Saya sudah capek, habis ini saya sudah mau pulang.” Bulukumba adalah sebuah kabupaten berjarak sekitar 150 Km sebelah selatan kota Makassar.

Malam memang sudah larut, sebentar lagi jam sebelas. Pak Rasyid yang mulai siaga di bandara dari jam 11 pagi mengaku sudah cukup. Saya adalah penumpang terakhirnya malam itu. 4 rit, dua rit jadi modal untuk membayar cicilan dan 2 rit lagi untuk menyambung hidupnya dan keluarganya.

Saya turun di daerah Jl. Perintis Kemerdekaan. Ketika menyodorkan uang untuk biaya taxi lelaki itu berterima kasih. Pak Rasyid dan puluhan kawannya adalah orang-orang yang selama ini dianggap cukup menjengkelkan di terminal kedatangan bandara Sultan Hasanuddin. Mungkin mereka memang harus sedikit mengubah gaya mereka agar para penumpang tidak merasa dipaksa.

Saya juga kadang jengkel pada mereka, tentu saja karena sikap memaksa mereka. Tapi malam itu saya merasa pak Rasyid dan teman-temannya adalah orang-orang yang mencoba mendulang rupiah, meski kadang meresahkan.

[dG]