Kisah Para Waria di Karebosi

Foto: Metro

Episode keempat Cerita Makassar yang mengangkat kisah tentang waria. Salah satu elemen yang pernah begitu lekat dengan Karebosi.


Kalau bicara tentang Karebosi – si alun-alun kota Makassar – maka ada satu kata yang selalu muncul di kepala saya, yaitu waria. Keberadaan waria memang tidak bisa dilepaskan dari Karebosi zaman dulu, sebelum menjadi Karebosi yang sekarang. Makanya tidak heran kalau bicara tentang Karebosi maka kata waria akan muncul di kepala, begitu juga sebaliknya. Kalau bicara tentang waria, maka Karebosi akan muncul di kepala. Setidaknya dulu, sebelum Karebosi menjadi seperti sekarang.

Karebosi lama adalah tempat berkumpulnya warga kota, nyaris 24 jam. Para waria akan menjadi pengunjung mayoritas di malam hari. Bisa dibilang merekalah yang menjadi penguasa Karebosi di malam hari.

Dulu saya kira semua waria yang berkumpul di Karebosi di malam hari adalah waria yang menjajakan diri, menjadi Pekerja Seks Komersil (PSK). Stigma ini memang sangat melekat di hampir semua warga kota Makassar. Stigma ini muncul karena memang waria yang berkeliaran di Karebosi dan terlihat oleh warga yang lalu lalang adalah waria yang menjajakan diri.

Mereka berpenampilan selayaknya perempuan. Menggunakan gaun, bersepatu hak tinggi, sampai berdandan menor. Benar-benar seperti perempuan. Mereka biasanya akan mendekati pengunjung pria yang melintas, baik yang sendirian maupun bergerombol. Dengan nada berbisik biasanya mereka akan menyapa para pria itu, sambil tentu saja menawarkan jasa.

Suasana Karebosi yang sepi dan remang-remang di malam hari, ditambah dengan cerita-cerita menakutkan tentang waria itu tentu saja membuat banyak pria segan melintasi Karebosi di malam hari. Saya salah satunya. Entah kenapa, bayangan melintasi Karebosi di malam hari benar-benar membuat saya cukup berpikir dua kali. Sekali waktu saya pernah terpaksa melintasi wilayah Karebosi di malam hari, dan benar saja seorang waria mendekat sambil menawarkan diri. Saya gugup, lalu bergegas meninggalkannya tanpa menoleh sama sekali.

Membicangkan Para Waria di Karebosi

Salah seorang teman, Anchu Lelakibugis pernah melakukan penelitian sederhana tentang waria di Karebosi. Penelitian itu dia lakukan dalam rangka membuat satu tulisan. Dia menceritakan bagaimana usahanya mendekati para waria itu sampai mendapatkan kepercayaan mereka, minimal sampai mereka mau bercerita banyak tentang kehidupan mereka.

Dari penelitian itu juga ada banyak cerita tentang para waria di Karebosi yang baru saya tahu. Salah satunya adalah istilah “bencong” yang ternyata bisa membuat para waria itu berang. Bencong bagi mereka adalah istilah untuk para waria yang pengecut, waria yang tidak mau mengakui kewariaannya. Itulah yang biasanya jadi penyebab mereka marah ketika ada orang meneriaki mereka bencong.

Dari cerita Anchu juga saya baru tahu kalau ternyata tidak semua waria yang berada di Karebosi itu adalah PSK. Sebagian besar justru ke sana hanya untuk bertemu dan bersosialisasi dengan sesama warian. Ada beberapa cerita lain tentang para waria itu yang kami obrolkan. Tentang aktivitas mereka di Karebosi, tentang keseharian mereka, dan banyak lagi. Bahkan, kami pun mengobrolkan bagaimana posisi waria dalam kehidupan sosial orang Bugis-Makassar.

Waria mendapat tempat tersendiri dalam kehidupan sosial orang Bugis-Makassar. Ada banyak waria yang mengambil peran sebagai indo’ botting dalam bahasa Bugis, atau dalam bahasa Makassar disebut anrong bunting. Secara singkat peran indo’ botting atau anrong bunting ini adalah sebagai penanggung jawab teknis urusan pernikahan. Baik itu tata cara, make up, pelaminan, sampai dandanan mempelai. Saat ini mungkin perannya sama dengan wedding organizer.

Perbincangan tentang kehidupan waria secara umum dan khususnya waria di Karebosi secara lengkap bisa kalian dengarkan di episode keempat podcast Cerita Makassar yang telah kami rekam dan unggah di tautan berikut:

Setidaknya, ini adalah cara kami mengenang salah satu fenomena di kota ini. Salah satu catatan kecil yang menghiasi perjalanan kota Makassar dari waktu ke waktu. [dG]