Setelah Pilkada Selesai
Pilkada sudah selesai dan khusus Pilkada Kota Makassar, saya agak tidak menyangka hasilnya. Walaupun ternyata saya saja yang kurang update.
Indonesia sepertinya mencetak rekor sebagai negara yang menyelenggarakan pemilihan umum daerah terbanyak di dunia. Ada 508 kabupaten kota dan 37 provinsi yang secara bersamaan di tanggal 27 November 2024 menyelenggarakan pemilihan kepala daerah. Jumlah yang tidak sedikit kan? Saya tidak yakin ada negara lain di dunia ini yang segila itu.
Makassar temasuk salah satu daerah yang menggelar pemilihan kepala daerah. Kali ini ada empat pasang calon walikota dan wakil walikota yang ikut kontestasi. Salah satunya adanya Indira Yusuf Ismail yang adalah istri dari walikota petahana Danny Pomanto. Lalu ada juga Munafri Arifuddin alias Appi, calon walikota yang sebelumnya sudah dua kali ikut Pilwalkot dan dua kali kalah. Sekali kalah dari kotak kosong, dan sekali kalah dari petahana Danny Pomanto. Appi tidak patah arang dan tidak malu untuk maju sekali lagi. Mungkin dia belajar dari Prabowo yang meski kalah berkali-kali tetap semangat untuk ikut Pilpres sampai akhirnya menang.
Appi memang akhirnya juga menang. Hasil hitung cepat saat ini menempatkan dirinya sebagai calon kuat menjadi walikota Makassar dengan suara sekitar 54%. Memang masih hasil hitung cepat, jadi masih bisa berubah meski sepertinya tidak akan berubah banyak.
Hasil di Luar Dugaan
Buat saya, hasil yang agak di luar dugaan adalah perolehan suara Indira Yusuf Ismail, istri walikota saat ini yang ternyata hanya ada di angka sekitar 13% dan kalah sama pasangan anak muda Andi Seto Asapa. Andi Seto Asapa sebelumnya adalah bupati Kabupaten Sinjai, anak dari Andi Asapa yang sebelumnya juga menjadi bupati di Kabupaten Sinjai.
Kenapa saya bilang di luar dugaan saya? Tadinya saya mengira Indira Yusuf Ismail akan dengan mudah mengumpulkan suara dari suaminya pada Pilkada 2019 lalu, mengingat sang walikota punya banyak pendukung setia.
Saya memang tidak yakin Indira Yusuf Ismail akan jadi pemenang mengingat track record-nya yang nyaris tidak ada selain menjadi “istri walikota”. Dia tidak seperti Hillary Clinton misalnya, yang sebelum maju jadi calon presiden sudah terkenal punya jejak panjang di dunia politik Amerika Serikat. Tapi meski tidak terpilih saya tetap yakin suaranya akan cukup banyak karena bayangan saya suara pendukung suaminya bisa dengan mudah berpindah ke si istri.
Eh, ternyata saya salah. Indira Yusuf Ismail kalah dari “anak kemarin sore” yang namanya bahkan tidak terlalu bergema di Makassar.
Apa yang salah? Dari beberapa percakapan di grup WhatsApp saya baru tahu kalau ternyata ada gelombang ketidaksukaan pada walikota petahana saat ini, minimal dalam beberapa tahun belakangan. Konon, sifat kepemimpinannya yang baperan dan mudah mengganti dan menggeser orang yang dia tidak suka jadi salah satu alasannya. Ketua RT dan RW se-Makassar yang sebelumnya begitu militan mendukungnya pun banyak yang mulai kecewa ketika janji-janji beliau tidak terpenuhi. Entah janji apa, saya pun tidak tahu. Mungkin janji surga?
Di grup-grup Facebook yang berisi pendukung Danny Pomanto juga beredar narasi adanya pengkhianat yang menyebabkan suara sang istri boncos. Entah pengkhianat seperti apa yang dimaksud, saya pun tidak tahu.
Yah terus terang saya memang tidak terlalu mengikuti peta politik kota Makassar dalam beberapa tahun terakhir. Nama-nama calon walikota pun saya baru tahu belakangan dan beberapa di antaranya benar-benar tidak pernah saya dengar sebelumnya. Makanya hasil Pilwalkot Makassar ini membuat saya cukup kaget, walaupun kata beberapa teman hasilnya sudah bisa ditebak sebelumnya.
Ternyata saya saja yang kudet.
Selamat Tinggal Kota Dunia
Dengan kemungkinan besar naiknya pasangan Appi-Aliyah maka saya membayangkan program-program Danny Pomanto yang begitu mengawang-awang dan mercursuar itu akan selesai. Mungkin berganti.
Tidak akan ada lagi jargon “Makassar Kota Dunia”, atau “pertama di dunia”, “satu-satunya di dunia”, dan “kota metaverse”. Jargon yang selama pemerintahan Danny Pomanto kerap menggema di udara, dan tidak di atas tanah. Saya juga tidak akan lagi mendengarkan program seperti Pete-pete Smart yang “pertama di dunia itu”, yang membuat orang Jepang tercengang karena katanya mereka baru berencana, Makassar sudah memulai. Walaupun hanya dimulai dengan peluncuran dan tidak ada lagi kelanjutannya.
Saya juga sedih karena program Makassar Metaverse juga tidak akan ada lagi. Padahal waktu itu Danny Pomanto sudah bilang di televisi nasional bahwa, “Kota-kota lain di Indonesia, maaf karena Makassar akan memulai duluan.” Minimal memulai dengan peluncuran dulu, lalu setelah itu raib ditelan angin.
Makassar mungkin akan kembali seperti kota-kota lain di Indonesia yang masih struggle dengan masalah transportasi, sampah, dan banjir di musim hujan. Tidak akan lagi menjadi kota dunia dan pertama di dunia. Ah, saya akan merindukan bapak Danny Pomanto yang sangat luar biasa beyond pemikirannya meski realisasinya yah begitulah. Saya juga akan merindukan deretan istilah yang muncul di masa pemerintahan Danny Pomanto seperti LISA, KanreRong, Tangkasaki, dan banyak lagi.
******
Terus terang, saya tidak memilih di Pilkada kemarin. Dua pasang calon gubernur Sulsel sama sekali tidak menarik. Satunya iyuuuwh, satunya errrr. Jadi sudahlah ya, biar orang lain saja yang memilih. Sementara untuk calon walikota, saya pikir siapapun yang jadi walikota sama saja. Makassar tetap akan jadi kota autopilot yang akan berkutat dengan masalah yang sama. Tidak ada calon yang saya yakin bisa membawa Makassar ke arah lebih baik. Saya sengaja memasang ekspektasi serendah mungkin agar tidak kecewa. Syukur-syukur kalau ternyata hasilnya lebih baik dari ekspektasi saya yang sangat rendah itu.
Setelah Pilkada selesai, saya akan seperti biasa. Menjadi warga kota Makassar yang mungkin bawel melihat kota yang tidak kemana-mana ini. [dG]