Menunggu Akhir Pilkada Makassar

Sumber: Sulawesion.com

Tanggal 9 Desember 2020 jadi tanggal yang menentukan bagi warga kota Makassar. Hari ini, warga kota Makassar akan menentukan siapa pemimpin dan wakil pemimpinnya.


Hari Rabu tanggal 9 Desember 2020 akan jadi tanggal yang cukup menentukan untuk masa depan kota Makassar empat tahun ke depan. Bersama dengan beberapa daerah lain di Indonesia, tanggal itu akan jadi tanggal menentukan pasangan pemimpin kota Makassar untuk periode 2020 sampai 2024 alias cuma empat tahun. Pandemi masih ada, tapi Pilkada harus terus jalan. Apa mau dikata.

Jujur, saya tidak terlalu mengikuti perkembangan Pilkada kota Makassar ini. Baru pas kembali ke Makassar saya akhirnya tahu kalau pesertanya ada empat pasang. Keempat calon walikotanya saya kenal, tapi tidak dengan para calon wakilnya.

Saya tahu kalau pasangan nomor satu ada Danny Pomanto, walikota petahana yang di gelaran tahun sebelumnya gagal maju karena dianulir menjelang pemilihan. Pasangan kedua ada Appi Rahman, seorang pengusaha yang kembali maju setelah di gelaran sebelumnya tahun lalu kalah dari kotak kosong. Lalu, ada Daeng Ical di nomor tiga. Beliau ini saya kenal sebagai wakil Danny Pomanto selama lima tahun dan memutuskan untuk pisah kongsi dan maju sendiri. Terakhir ada Irman Yasin Limpo alias None yang sebenarnya sudah pengalaman maju sebagai calon walikota karena pernah maju juga enam tahun lalu melawang pasangan Danny Pomanto – Daeng Ical.

Hanya sampai di situ pengetahuan saya tentang para calon walikota ini. Saya tidak kenal siapa yang menyertai mereka sebagai calon wakil. Belakangan saya tahu kalau Ibu Fatma yang menemani Danny Pomanto adala istri dari mantan Bupati Kabupaten Sidrap, Rusdi Masse. Tiga calon wakil walikota lainnya saya tidak kenal, dan tidak hendak saya cari tahu latar belakangnya.

Ulangan Pilkada Tahun Lalu

Sebagai pengingat, tahun lalu gelaran Pilkada kota Makassar ini sebearnya sudah digelar. Kala itu hanya ada dua calon: Appi – Cicu melawan Danny – Indira.  Menjelang partai final alias pemungutan suara, pasangan Danny – Indira didiskualifikasi karena dianggap melakukan penyelewengan kekuasaan untuk menguntungkan dirinya dalam kontestasi Pilkada walikota ini. Walhasil, pasangan Appi – Cicu harus berhadapan dengan kotak kosong atau kolom kosong.

Dan, sejarah baru dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia baru saja terjadi. Di luar dugaan, kotak kosong ternyata menang. Mengalahkan pasangan Appi – Cicu yang sudah berjuang keras dengan semua amunisi yang mereka punya. Sebuah kejadian yang tidak biasa, dan kalau tidak salah yang pertama dan belum terulang lagi sampai sekarang di Indonesia.

Karena kotak kosong yang menang, maka Pilkada harus diulang tahun depan alias 2020. Selama setahun lebih Makassar dipimpin oleh pejabat sementara yang disetujui oleh KementerianDalam Negeri.

Singkat cerita, Pilkada kembali digelar. Appi kembali ke ring, begitu juga dengan Danny Pomanto yang sudah menyelesaikan lima tahun masa baktinya sebagai pemimpin kota Makassar. Dua hal yang berbeda, mereka sekarang sudah ganti pasangan. Appi tidak lagi bersama Cicu, dan Danny sudah pisah dengan Indira. Hal kedua yang berbeda adalah hadirnya dua pasangan lain yang ikut meramaikan ring perebutan kursi Makassar 01-02.

Kalau saya perhatikan, walaupun sekarang sudah ada pasangan lain yang ikut meramaikan Pilkada Makassar, tapi menu utama perseteruan masih tetap antara kubu Appi dan Danny. Para pendukung kedua pasangan itu masih bersaing dengan ketat, utamanya di media sosial Facebook.

Saya suka nongkrong di beberapa grup Facebook Pilkada Makassar dan melihat bagaimana kubu pendukung kedua pasangan itu saling serang. Mulai dari serangan verbal yang ringan, sampai yang sudah cukup kasar. Rupanya api yang tahun lalu berkobar masih tersimpan sampai sekarang. Hi-hi-hi-hi.

Serulah pokoknya melihat bagaimana orang-orang itu saling serang seolah-olah kalau jagoannya menang dia akan otomatis menjadi kepala dinas, atau kalau jagoannya kalah dia akan otomatis melarat dan susah makan.

Untuk menambah serunya perseteruan kedua kubu itu, maka adegan penusukan pun dimasukkan sebagai bagian dari perseteruan. Salah seorang relawan kubu Appi mendapatkan tikaman dari belakang yang diduga dilakukan atas suruhan relawan Danny selepas acara debat calon walikota di Kompas TV, Jakarta.

They bring this rivalry to another level. What a stupid moron!

Dua kubu pasangan lainnya cenderung lebih tenang, lebih fokus ke program mereka, mempromosikan jagoan mereka. Ada juga yang bernada menyerang, tapi tidak terlalu masif. Buat saya mereka lebih mirip para pedagang yang hadir di sebuah pertandingan sepak bola, memasarkan dagangan mereka pada mereka yang asik menyaksikan pertarungan di lapangan. Bisa saja mereka berdua akan pulang dengan keuntungan yang besar, yang tidak perlu membuat muka mereka bengap-bengap atau energi terkuras untuk bertarung.

Panas Menjelang Akhir

Menjelang puncak Pilkada alias hari pencoblosan, suasana rupanya kembali memanas. Ada rekaman suara yang diduga (dan akhirnya diakui) merupakan suara Danny Pomanto. Isi rekaman itu adalah percakapan internal Danny dan beberapa orang di kediaman pribadinya. Isinyalah yang memantik suasana panas. Di rekaman itu – katanya, karena saya juga tidak mendengarnya sendiri – Danny menyebut nama Jusuf Kalla sebagai orang yang ada di belakang penangkapan Edhy Prabowo, menteri Kelautan dan Perikanan yang ditangkap karena kasus suap. Kemudian ada juga spekulasi keterlibatan JK dengan Anies Baswedan, Rizieq Shihab, dan usaha membenturkan Jokowi dan Prabowo.

Kontan, rekaman suara itu membuat keluarga JK bereaksi. Mereka langsung melaporkan Danny Pomanto ke Mapolrestabes Makassar atas tuduhan pencemaran nama baik. Danny Pomanto tentu tidak tinggal diam. Dia mengakui kalau suara itu adalah suaranya, tapi dia juga mengelak bahwa pembicaraan itu adalah pembicaraan internal dan lebih merupakan analisis atas situasi politik Indonesia saat ini yang sudah dimuat oleh media di Indonesia. Danny juga bilang kalau  rekaman suara itu sudah dipotong sedemikian rupa sehingga menggambarkan dirinya sebagai penyebar fitnah.

Ahhay! Seru nih, pikir saya dalam hati. Ha-ha-ha-ha.

Mengutip kalimat salah seorang guru saya yang bilang, biarkan orang tua mempertontonkan kebodohan mereka. Kita yang lebih muda cukup menikmatinya saja. Dan, inilah momen yang pas untuk menikmati orang-orang tua mempertontonkan “kebodohan” mereka.

Menarik untuk melihat seberapa jauh rekaman ucapan itu dikelola menjadi senjata menjelang pemungutan suara tanggal 9 Desember nanti. Apakah ada pihak yang berhasil mengolahnya menjadi suara di dalam bilik, atau tetap menjadi sekadar hiburan menjelang pemungutan suara? Tapi bagaimanapun saya agak kurang yakin kalau kasus ini bisa jadi alasan untuk kembali menganulir Danny Pomanto. Waktunya sudah terlalu mepet dengan hari-H, plus kesannya akan terlalu dipaksakan kalau benar itu jadi alasan menganulir keikutsertaan Danny Pomanto dalam Pilkada tahun ini.

*****

Lalu, kira-kira siapakah yang bakal menang dan terpilih menjadi walikota dan wakil walikota Makassar 2020-2025 nanti? Saya sih terus terang tidak pusing. Saya tidak melihat keempat orang calon walikota Makassar ini punya kapasitas yang mumpuni untuk membangun Makassar menjadi kota yang lebih manusiawi. Program mereka tidak jauh-jauh dari membuat kota Makassar lebih moderen, bukan lebih nyaman. Jadi yah sudahlah, siapapun yang akan menang biarlah dia menjadi walikota. Semoga saja dia akan membawa Makassar lebih baik dan lebih manusiawi. Bukan cuma Makassar yang lebih moderen tapi kehilangan jati diri.

Selebihnya, saya menikmati saja semua drama menjelang Pilkada Walikota Makassar ini. [dG]