Kalau Kolom Kosong Menang, Siapa Yang Senang?

Ilustrasi

Menarik untuk melihat kemana arah pilwalkot Makassar ini berakhir. Kalau memang akhirnya kolom kosong menang, siapakah yang sebenarnya senang?

KOTA MAKASSAR BARU SAJA MENYELESAIKAN sebuah fase pesta demokrasi yang aneh. Aneh karena peserta pemilihan umum daerah yang akan menentukan siapa walikota dan wakil walikota Makassar periode 2019-2024 hanya dikuti satu pasang calon.

Ini adalah kemunduran yang sangat nyata. Di pilkada pertama yang dilangsungkan secara langsung di tahun 2008, ada tujuh pasang calon walikota dan wakil walikota yang maju bertarung. Lalu lima tahun kemudian jumlahnya bertambah menjadi sepuluh pasang. Lumayan kan? Dari tujuh menjadi sepuluh.

Artinya apa? Ada banyak kader yang punya rasa percaya diri besar untuk bertarung menjadi walikota dan wakil walikota Makassar. Ini tentu menyenangkan karena bisa diartikan kalau Makassar tidak kekurangan sosok calon pemimpin. Minimal ada 20 orang yang bisa dijadikan harapan untuk memimpin kota Makassar.

Lalu, lima tahun setelahnya jumlah yang besar itu tiba-tiba jatuh ke titik paling nadir: satu pasang! Hanya dua orang saja.

Tadinya ada dua pasang sebenarnya, pasangan Munafri Arifuddin – drg. Andi Rahmatika Dewi (Appi Cicu) dan pasangan petahana Ramdhan Pomanto – Indira (Diami). Tapi di tengah jalan, pasangan Diami kemudian dianulir keikutsertaannya karena diduga menyalahgunakan kekuasaan untuk mendongkrak perolehan suaranya di pilkada nanti. Jadi kemudian resmilah pilkada kota Makassar hanya diikuti satu pasangan saja yang harus melawan kolom kosong.

Usaha “menjegal” pasangan petahana Ramdhan Pomanto (akrab juga disapa Dhani Pomanto) sudah ramai digosipkan warga. Berawal dari pindahnya 10 partai pendukung yang tadinya sebagian sudah berkomitmen mendukung Ramdhan Pomanto ke pasangan Appi –Cicu. Perpindahan 10 partai ini memaksa Ramdhan Pomanto untuk maju lewat jalur independen, dan berhasil.

Baca Juga: Menimbang-nimbang Calon Walikota Makassar

Keputusan menganulir pasangan Diami lewat jalur hukum juga kata orang adalah usaha untuk menjegalnya kembali menjadi walikota. Tapi, ini hanya desas-desus warung kopi yang belum bisa diverifikasi kebenarannya. Termasuk gosip kalau ada pengusaha besar di belakang pasangan Appi – Cicu, pengusaha yang juga adalah mertua Muanfri Arifuddin dan pemilik grup usaha besar di Sulawesi Selatan.

Sekali lagi, itu hanya gosip dan desas-desus yang bisa jadi benar tapi bisa jadi juga tidak benar.

*****

RABU, 27 JUNI 2018 pemilihan umum daerah digelar termasuk di kota Makassar. Beberapa jam kemudian hasilnya sudah beredar. Bukan hasil resmi tentunya, tapi hitung cepat atau quick count. Hasil hitung cepat itu nyaris seragam menempatkan kolom kosong menang atas pasangan Appi – Cicu. Prosentase kemenangannya memang hanya sekitar 3-4%, tapi tetap saja ini adalah hasil yang mengagetkan banyak orang, utamanya yang tidak berafiliasi ke kedua pihak.

Beberapa teman-teman saya di Jakarta dan daerah lain di luar Makassar juga membahas soal ini. Berita kemenangan sementara kolom kosong ini sontak jadi perhatian nasional, walaupun tentu tidak sefenomenal kalau berita yang sama terjadi di Jakarta.

Kemenangan (sementara) kolom kosong ini adalah sejarah baru di demokrasi Indonesia. Pada saat yang sama, di Sulawesi Selatan juga ada dua kabupaten lain setahu saya yang juga pilkadanya sama-sama diikuti satu pasangan calon (paslon) saja, yaitu; Kab. Enrekang dan Kab. Bone.

Bedanya di dua kabupaten itu, kolom kosong dinyatakan kalah bahkan lewat quick count sekalipun. Padahal yang saya amati, di Enrekang sosialiasi untuk memilih kolom kosong ini sudah gencar sejak awal digelarnya tahapan pilkada Enrekang.

Memilih dan mensosialisasikan kolom kosong memang tidak melanggar aturan. Berbeda dengan mensosialisasikan untuk tidak memilih atau golput, misalnya. Kolom kosong tetap diakui keberadaannya dan secara hukum juga dilindungi. Makanya ada juga gerakan untuk mendorong warga memilih kolom kosong dalam pilkada, meski di dua kabupaten itu gagal. Sementara di Makassar, setidaknya sampai sebelum hasil final dari KPU diumumkan kolom kosong masih bisa dianggap menang.

Nah, pertanyaanya kenapa di Makassar kolom kosong bisa menang?

Saya sempat membincangkan ini dengan sobat saya pemerhati masalah transportasi massal; Om Lelaki Bugis (atau kerap disapa Om Lebug). Menurut kami ada beberapa faktor kenapa kolom kosong bisa begitu fenomenal di kota Makassar.

Pertama, Dhani Pomanto punya barisan pendukung yang cukup loyal dan mereka ini yang bergerak simultan dan spartan untuk mensosialisasikan kolom kosong. Mereka menempatkan Dhani Pomanto sebagai pihak yang terzalimi dan karenanya perlu didukung dengan mendongkrak perolehan suara kolom kosong di bilik suara.

Kedua, warga Makassar merasa punya alternatif lain selain dua pasangan yang tadinya mau bertarung ini. Mungkin tadinya ada warga yang memilih untuk golput saja karena calonnya hanya dua; Appi – Cicu dan Dhani – Indira. Mungkin saja warga tidak merasa klop dengan dua pasangan itu, tapi karena kemudian ada kolom kosong maka mereka lantas merasa ada opsi lain selain dua pasangan itu. Karena, jika kolom kosong maka pilkada kota Makassar akan diulang dengan memberi kesempatan kepada calon lain untuk maju. Minimal menambah pilihanlah.

Golongan kedua inilah yang kemudian memilih kolom kosong dengan harapan tahapan pilwalkot akan diulang dan calon lain selain dua paslon itu akan muncul. Pemilih di golongan kedua ini tidak bisa dikategorikan sebagai pendukung Dhani Pomanto meski kadang secara serampangan dimasukkan juga ke dalam kategori pendukung itu.

Ketiga, jarak antara keputusan menganulir pasangan Dhani Pomanto – Indira dan menghadirkan kolom kosong dengan waktu pencoblosan tidak telalu lama. Rentang waktu yang singkat ini adalah momentum yang tepat untuk membangkitkan semangat orang-orang memilih kolom kosong.

Momentum ini yang tidak tidak didapatkan oleh pendukung kolom kosong di Enrekang. Rentang waktu yang panjang antara keputusan hadirnya kolom kosong dengan waktu pencoblosan cukup panjang dan sedikit banyaknya berpengaruh pada semangat mensosialisasikan, dan “bahan bakar” para pendukung. Mereka kehabisan bensin di tengah jalan.

Keempat, ada kekuatan besar di belakang Dhani Pomanto – Indira yang memuluskan kemenangan kotak kosong. Saya tidak percaya kalau kotak kosong bergerak sendirian dan murni karena suara rakyat. Saya juga tidak percaya kalau Dhani Pomanto yang menggerakkannya sendirian. Pasti ada kekuatan besar di belakang semua itu. Pertanyaan besarnya hanya: siapa? Dan apa kepentingannya?

Bahwa ada warga yang memilih kolom kosong murni karena merasa demokrasi diciderai atau karena berharap ada calon lain, itu benar. Tapi mereka tergerak karena ada opini yang dibangun secara sistematis oleh kelompok tertentu. Kelompok yang mungkin saja punya kepentingan cukup besar.

Kemungkinan-kemungkinan yang hadir dalam diskusi dengan pemerhati masalah transportasi massal itu yang membuat saya bertanya-tanya. Apa hubungannya transportasi massal dengan politik lokal? Eh..bukan. pertanyaan saya adalah; kalau memang akhirnya kolom kosong yang menang, siapa yang sebenarnya diuntungkan? Siapa yang senang?

Benarkah warga yang diuntungkan? Atau jangan-jangan warga Makassar ini sekarang sedang berada dalam pertarungan dua raksasa yang sebenarnya tidak terlalu peduli pada kepentingan warga, tapi lebih peduli pada ambisi pribadi mereka?

Entahlah ya. Saya harap sih tidak, tapi…. [dG]