Makassar, Kota Demo

Aksi demonstrasi di Makassar (foto: ciricara.com)
Aksi demonstrasi di Makassar
(foto: ciricara.com)

“Daeng, itu Makassar koq rajin banget demo? Sampai rusuh pula.”

Ada anak Makassar yang juga sering mendapat pertanyaan serupa? Dulu saya sering, setiap kali Makassar masuk televisi khususnya karena berita aksi kekerasan sebagai buntut dari sebuah demonstrasi maka biasanya akan ada yang bertanya seperti itu ke saya. Lama-lama pertanyaan itu mulai jarang, mungkin karena sang penanya malas mendengar jawaban saya yang sangat substansif, sistematis dan terstruktur.

Sebenarnya wajar kalau mereka bertanya seperti itu, utamanya mereka yang belum pernah ke Makassar. Media (khususnya televisi) masih teguh berpegang pada pameo bad news it’s a good news, pameo yang sudah ada sejak jaman Soekarno masih ingusan. Nah karena pameo itu pula maka Makassar lebih sering diberitakan dengan hal buruknya, salah satunya ya demo berujung rusuh. Toh kata Makassar lekat sekali dengan kata kasar, padahal mereka saja yang malas baca sejarah asal-usul nama kota Makassar.

Tapi kita tinggalkan saja soal sejarah itu, kita fokus ke soal demo.

Demonstrasi dan unjuk rasa sebenarnya hanya terjadi sesekali di kota ini, biasanya hanya muncul di musim-musim tertentu seperti musim pengadilan tersangka korupsi, musim kenaikan BBM, musim kebijakan baru atau kadang juga karena ada beberapa orang yang sedang iseng dan punya banyak waktu lowong. Karena banyaknya waktu lowong itu mereka iseng-iseng berdemo. Tidak selamanya demo itu berujung ke tindak kekerasan, lebih banyak yang selesai baik-baik karena para pendemo mulai kehabisan logistik, kekurangan penonton atau aspirasinya sudah tersampaikan.

Tapi demo yang berakhir tenang itu kurang menarik, tidak sesuai dengan ?pedoman bad news it’s a good news, jadi memang jarang diberitakan besar-besaran. Berbeda kalau demonya berujung bentrok apalagi sampai rusuh, ini baru jualan! Jadilah demo-demo seperti itu diliput secara live, kalau perlu selama berjam-jam walaupun belum sampai menyamai liputan live perkawinan yang mulia Raffi Ahmad.

Nah karena blow up media itu pula sampai akhirnya kata demonstrasi dan unjuk rasa jadi beroleh konotasi negatif. Kalau kata Bon Jovi; you give demo a bad name. Padahal kalau dipikir-pikir, demonstrasi dan unjuk rasa itu sehat loh. Ibarat manusia, kalau tidak kentut atau berak pasti ada sesuatu yang salah dengan tubuhnya. Jadi anggaplah demo itu sebagai kentut atau berak yang mungkin terasa menjijikkan atau jorok tapi sesungguhnya menyehatkan (bagi para pendemo).

Bisakah Demo Menjadi Lebih Kreatif?

Sejenak kita pindah bahasan dulu. Beberapa waktu yang lalu ada kabar Makassar sedang coba disiapkan untuk jadi salah satu kota kreatif, proposalnya sedang disusun dan akan diajukan ke UNESCO. Jangan tanya saya apa itu kota kreatif dan apa indikatornya karena jujur sayapun tidak tahu. Hanya saja ada beberapa banyangan tentang kreativitas yang melintas di kepala saya dan tentu saja berhubungan dengan stigma kota ini sebagai kota yang rajin bergaul dengan demonstran dan aksi kekerasannya.

Jadi begini, saya membayangkan andai saja demonstrasi itu bisa diarahkan ke sesuatu yang lebih kreatif maka mungkin hasilnya akan lebih keren. Demo tidak sekadar orasi, bakar ban, dorong-dorongan sama petugas apalagi sampai tembak-menembak dengan petugas. Toh sebagian besar petugas yang menjaga aksi demonstrasi adalah pria dan sebagian besar pendemo juga adalah pria, masak pria nembak pria? Lekong dong.

Tapi lupakan, mari saya jelaskan mimpi saya seperti apa:

Saya bermimpi walikota Makassar menyediakan satu tempat khusus untuk berdemo, tempat yang tidak mengganggu lalu lintas atau lalu lalang warga. Anggaplah bagian bawah fly over Jl. Urip Sumohardjo. Di bawah fly over ada tanah lapang luas yang tidak terpakai dan lumayan teduh karena tertutup jembatan fly over. Bolehlah tempat itu disiapkan jadi arena demonstrasi, toh warga juga tetap bisa lalu-lalang dan tidak terganggu.

Tapi, apalah arti sebuah demonstrasi kalau dia hanya di tepi jalan teduh yang tidak menghalangi lalu lintas? Bukankah demonstrasi dan unjuk rasa tujuan utamanya adalah menarik perhatian orang-orang? Kalau orang-orang tetap bisa beraktifitas seperti biasa, lalu siapa yang akan melirik demonstrasinya?

Nah, inilah tantangannya. Pendemo harus berpikir keras bagaimana caranya berdemo yang kreatif dan tidak konvensional. Orasi dengan pengeras suara sudah kuno, menutup jalan hanya membuat warga antipati padahal biasanya pendemo berdalih membawa aspirasi mereka. Lalu apa yang harus dilakukan pendemo supaya menarik perhatian?

Pendemo harus mencari cara yang kreatif untuk bisa berdemonstrasi dengan anggun sambil tetap menarik perhatian warga. Mereka bisa memulai dengan spanduk pembawa pesan yang didesain sedemikian rupa. Gunakan bahan-bahan yang tidak umum, gunakan desain yang lagi hype, cari ide-ide yang tidak biasa dan pastinya potensial menarik perhatian orang.

Kedua, gunakan kostum yang tidak biasa. Jas almamater sudah terlalu mainstream, sesekali gunakan kostum dari bulu tikus misalnya kalau demonya menuntut tersangka korupsi diadili. Pokoknya cari ide sebanyak-banyaknya supaya kostum terlihat mencolok dan menarik perhatian.

Ketiga, lupakan orasi dengan suara yang menggema. Gunakan cara lain semisal aksi teatrikal yang sudah banyak digunakan orang, atau bisa juga dengan menggunakan musik. Intinya, jangan berdemo dengan cara yang biasa. Kalau pandai mencari cara kreatif dalam berdemo dan berunjuk rasa, saya yakin warga akan tertarik untuk mampir sejenak melihat aksi demonstrasi itu. Bahkan saya yakin akan banyak yang selfie dan mengunggahnya ke akun media sosial sambil dibubuhi tagar save ini, save itu, pray for ini atau apalah.

Awalnya pasti susah, tapi kalau dibiasakan lama kelamaan para pendemo akan terbiasa. Terbiasa untuk mencari formula baru berdemonstrasi dan berunjukrasa dengan lebih kreatif. Alih-alih berujung bentrok dan menuai antipati warga, demo kreatif pasti akan lebih dinantikan. Bayangkan betapa asiknya kalau nanti anak-anak muda gaul itu ngetwit “eh, besok siang ke fly over yuk! Ada organisasi anuh yang mau demo. Demonya kreatif-kreatif dan keren loh!”

Pada akhirnya nanti citra kota Makassar akan berubah, dari kota yang sering rusuh karena demo menjadi kota yang lebih kreatif karena demo. Karena saya yakin, demonstrasipun bisa jadi sangat indah bila kita kreatif. Hidup Makassar! Ewako! [dG]