Tanpa Rempah, Indonesia Mungkin Tak Pernah Ada
Konon dalam salah satu pertemuan di Konferensi Meja Bundar di Den Haag tanggal 23 Agustus 1949, KH. Agus Salim duduk tenang sambil mengisap rokok kreteknya. Asap mengepul dan menyebar ke sekitarnya. Dua orang Belanda yang juga anggota delegasi Belanda di KMB menatap dengan pandangan sinis mencemooh. Mereka berbisik dalam bahasa Belanda, “Lihatlah gaya kambing itu.” Sambil menunjuk ke KH. Agus Salim yang kondang dengan jenggot putihnya.
Orang Belanda itu mungkin tak mengira kalau KH. Agus Salim yang tampil dengan dandanan sederhana dan kampungan menurut mereka, ternyata lancar berbahasa Belanda. Dengan tenang, KH. Agus Salim menghisap kreteknya dalam-dalam dan berucap dalam bahasa Belanda yang fasih, “kretek yang diisap kambing inilah yang membuat nenek moyang kalian menyeberang samudera sampai ke negeri kami.”
Dua orang Belanda itu terperangah dan tersipu malu. Skak mat!
Cerita di atas diceritakan guru SMP saya dan membekas hingga sekarang. Ketika mendengar kabar kontes blog Mahakarya Indonesia dengan tema Gemah Rempah, cerita itu tiba-tiba terngiang kembali.
***
21 Mei 1428, Vasco Da Gama dan rombongannya menginjakkan kaki di kota Calicut (India) setelah melalui perjalanan langsung lewat laut pertama dari benua Eropa. Kedatangan Vasco Da Gama itu membuka lembaran sejarah baru di bumi, menghentikan ketidakpedulian dan keterisolasian orang Eropa akan Asia. Sejak saat itu pandangan orang Eropa pada Asia tidak pernah sama lagi. Kedatangan Vasco Da Gama sekaligus membawa racikan baru dalam dunia dagang, korporasi dan kelak menjadi urat nadi sistem kapitalisme. Semua karena rempah.
Awalnya Vasco Da Gama membawa dua misi utama; menyebarkan agama dan mencari sumber rempah. Sayangnya karena Calicut, Malabar dan sekitarnya sudah terkena pengaruh kristen yang dibawa orang Syria berabad-abad sebelumnya. Jadi, misi pertama dianggap tidak perlu lagi dijalankan. Tinggal misi kedua yang sebenarnya juga tak kalah pentingnya.
Rempah sudah jadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat dunia kala itu. Rempah dengan harganya yang tinggi adalah sebuah kemewahan yang terbukti bisa mengangkat derajat sosial seseorang. Catatan tentang rempah sudah ada sejak tahun 2600SM. Ketika itu orang-orang Mesir disinyalir memberi makan para pekerja piramida Cheops dengan makanan yang dicampur rempah dari Asia. Tujuannya untuk memberi mereka tenaga ekstra dalam bekerja.
Orang Mesir kuno juga sudah menggunakan cassia dan kayu manis untuk mengawetkan mayat, karenanya kedua rempah itu diberi harga yang sangat tinggi.
Bukti arkeologi juga menujukkan bahwa cengkeh juga sudah populer di Syria tidak lama setelah itu. Selain cengkeh, rempah lain yang juga populer adalah pala yang diketahui didatangkan dari negeri yang sekarang bernama Indonesia. Jauh sebelum abad ke 6SM ketika Konfusius menganjurkan penggunaan jahe, orang Tiongkok sudah mendatangkan rempah dari negara tropis. Rempah juga sudah mulai diimpor ke Eropa bahkan sebelum kota Roma berdiri.
Saat ini orang mungkin hanya mengenal rempah sebagai pelezat makanan yang tiada bandigannya, tapi ratusan tahun lalu rempah punya ratusan kegunaan selain sebagai makanan. Rempah juga digunakan di bidang lain seperti medis, bahan baku parfum, dan untuk mengawetkan makanan. Rempah adalah komoditi yang perlahan-lahan makin dibutuhkan banyak orang dengan harga yang sangat tinggi. Penyebabnya apalagi kalau bukan monopoli distribusi yang dijaga sangat ketat.
Kerahasiaan dan monopoli atas rempah dilakukan bahkan dengan cara menyebar cerita bohong. Tahun 5SM, orang Arab mengarang cerita tentang kayu manis yang konon berada di sebuah bukit di negeri antah berantah di jazirah Arab. Kayu manis itu dijaga seekor burung raksasa pemakan daging. Untuk bisa mencuri kayu manis dari sarang si burung, orang Arab harus mengumpankan beberapa ekor keledai untuk memancing si burung meninggalkan sarangnya. Cerita yang terus dijaga hanya supaya orang Eropa tidak menemukan asal muasal rempah yang berharga itu.
Memang tidak semua orang terkecoh oleh cerita bohong itu, orang-orang Roma contohnya. Orang Roma terus berupaya melakukan invasi ke jazirah Arab untuk mengambil alih monopoli perdagangan rempah. Usaha ini terus menemui kegagalan, tapi tidak dengan usaha intelejen marketing mereka. orang Roma berhasil menemukan asal-usul rempah yang dibawa orang Arab, dan pada tahun 40M mulailah Roma melakukan perdagangan langsung dengan India, asal muasal rempah itu. Dominasi Arab terpatahkan.
Bangsa Arab baru berhasil merebut kembali monopoli perdagangan rempah ketika kejayaan Islam mulai menguasai Asia dan masuk ke Eropa. Salah satu poros monopoli yang paling terkenal adalah poros Arab-Venesia yang ditandai dengan penaklukan Constantinopel oleh kesultanan Ottoman Turki pada tahun 1453. Sejak itu harga rempah kembali melambung sangat tinggi, orang Turki dengan penuh percaya diri mematok harga tinggi untuk rempah yang memang begitu dibutuhkan oleh orang Eropa.
***
Tapi orang Eropa sendiri tidak pasrah begitu saja. Penjelajahan ke dunia baru yang dipelopori oleh Vasco da Gama dengan cepat diikuti oleh pelaut lainnya termasuk Christoporus Colombus yang sayangnya malah tersesat ke benua Amerika. Hasil terbesar dari penjelajahan dirintis oleh Vasco Da Gama baru terasa manfaatnya bagi bangsa Portugis saat Gubernur Jenderal Alfonsu Alburqueque berkuasa di Timur Jauh. Selama 6 tahun masa pemerintahannya (1509-1515) Alburqueque membuka jalan bagi pelaut Eropa ke Timur jauh. Alburqueque juga meluaskan ekspansinya demi menguasai jalur perdagangan rempah.
Segera setelah Goa (India) dijatuhkan, mereka melepas pandangan jauh ke Malaka. Ketika itu Malaka sudah jadi urat nadi penting dari perdagangan rempah. Rempah dari Ternate, Tidore, Halmahera dan kawasan lainnya dibawa ke Malaka dulu sebelum dilayarkan ke bagian lain dunia ini. Menguasai Malaka berarti menguasai alur perdagangan rempah.
10 Agustus 1511 Malaka akhirnya jatuh ke tangan Portugis. Episode itu hanya awal dari episode berikutnya yang melibatkan daerah-daerah di Nusantara. Ternate, Tidore, Halmahera dan banyak lagi pulau penghasil rempah kemudian jadi rebutan antara Portugis, Inggris dan Belanda dengan VOC-nya. Tahun 1670 VOC bahkan jadi perusahaan terkaya di dunia yang mampu membayar dividen sebesar 40% dari nilai investasi pemegang sahamnya, membiayai 50.000 karyawan, 30.000 prajurit dan 200 kapal yang sebagian besar dipersenjatai. Rahasia kesuksesan mereka mudah; mereka tidak punya keragu-raguan sedikitpun dalam menjalankan strategi dagang.
Strategi mereka salah satunya adalah dengan menguasai dan memonopoli perdagangan rempah. Bukan hanya pada jalur perdagangan saja, bahkan sampai ke penanaman. Mereka juga tidak ragu menggunakan senjata untuk memuluskan usahanya itu. Selama ratusan tahun VOC terus menerus menjalankan usahanya untuk menguasai, menjajah dan memonopoli negeri-negeri di Nusantara. Satu persatu kerajaan dan negeri-negeri di Nusantara jatuh ke tangan VOC dan tentunya pemerintah Belanda.
Episode berikutnya kita semua sudah tentu paham. Kerajaan-kerajaan di Nusantara yang berada dalam genggaman VOC dan pemerintah Belanda merasa senasib sepenanggungan. Akar yang sama mempersatukan mereka selain tentu saja nasib jadi negeri jajahan orang Belanda. Pemikir-pemikir ulung lahir dari negeri-negeri ini yang kemudian berkelindan, bermufakat dan bertujuan satu: memerdekakan diri dari penjajahan bangsa asing. Mereka juga tak lupa mengusung konsep negara kesatuan yang kelak diberi nama Republik Indonesia yang mencakup ratusan kerajaan-kerajaan dan daerah-daerah Nusantara yang sama-sama dijajah Belanda.
Dan hari ini, kita hidup dalam satu bendera yang sama; merah putih. Kita hidup dalam negeri yang sama; Indonesia. Menoleh ke belakang kita akan temukan betapa rempah yang punya sejarah panjang itu ternyata berhasil menyatukan kita dalam satu negara merdeka bernama Indonesia. Tanpa rempah, saat ini mungkin di KTP saya akan tertulis “Kerajaan Gowa” dan bukannya “Republik Indonesia”.
Rempah adalah kutukan yang membawa bangsa kulit putih itu menyeberangi samudera, datang ke Nusantara dan menancapkan kuku penjajahnya. Rempah juga yang membangkitkan semangat perlawanan dan akhirnya semangat persatuan. Pada ujungnya rempah adalah berkah bagi kita, bagi negeri yang sekarang kita kenal dengan nama Indonesia. Baik buruknya, negeri ini negeri kita. Negeri yang besar dengan ranyak ragam mahakarya di dalamnya, termasuk tentu saja rempah yang sejarah panjangnya tercatat dalam buku sejarah dunia ini.
Seandainya tak ada rempah, mungkin negeri kita tidak pernah ada. [dG]
tetap bangga dengan INDONESIA…