Komunitas di Makassar; Mau Dibawa Kemana?
Sebuah catatan ringan tentang komunitas di Makassar selepas bincang-bincang bersama Akber Makassar.
SEKIRA SEMINGGU YANG LALU, sebuah pesan di aplikasi LINE masuk ke telepon pintar saya. Pesan itu dari Ardhe, salah seorang pengurus Akber Makassar. Isinya, mengajak saya menjadi salah satu pemateri di obrolan kelas Akber yang membincangkan tentang komunitas di Makassar.
Ajakan itu saya terima, dan Jumat 28 Oktober 2016 bertempat di Toko Kue Mama Café Jln. Bau Mangga, saya bersama Lelaki Bugis, kak Jimpe, Rama Bizkid, Ari dan Fanda akhirnya berhasil berkumpul, membagi cerita dan pendapat tentang komunitas Makassar. Yuli Tanyadji yang juga adalah penggerak Akber Makassar mengambil posisi sebagai moderator. Ada sekira tigapuluhan peserta yang hadir malam itu. Berasal dari beragam komunitas yang ada di Makassar.
Pertemuan malam itu berawal dari keresahan Ardhe, salah satu pegiat Akber Makassar. Dalam pengamatannya dia melihat selepas Pesta Komuntas Makassar 2016 nyaris tak ada lagi kegiatan kolaboratif antar komunitas di Makassar. Karenanya, dia seakan menanyakan; mau dibawa kemana kegiatan komunitas ini? Apakah Pesta Komunitas Makassar hanya akan berakhir sampai di pesta saja?
Seperti yang pernah saya tulis di sini, Pesta Komunitas Makassar (PKM) memang awalnya dirancang salah satunya oleh saya. Ide melahirkan PKM lahir dari keresahan melihat ramainya komunitas di kota Makassar, tapi sepinya kegiatan kolaboratif. Komunitas sebagian besar hanya berkegiatan di dalam lingkarannya saja, bahkan beberapa komunitas tidak saling mengenal satu sama lain.
Dari keresahan itu, saya bersama Lelaki Bugis, Ryan Hidayat dan Made kemudian mencorat-coret konsep apa yang kira-kira bisa kita lakukan untuk mempertemukan komunitas-komunitas itu? Hal pertama yang terbayang adalah membuat Pesta Komunitas Makassar, sekadar mempertemukan dulu komunitas-komunitas itu dalam sebuah keriaan lalu menyerahkan kepada mereka; apa yang akan mereka lakukan setelahnya?
Kami sadar, komunitas itu sangat cair. Kita hanya bisa melempar ide dan membiarkan mereka sendiri yang merangkai ide itu, entah melanjutkannya, membantahnya atau memberikan ide yang berbeda.
Yang penting bertemu dulu, pikir kami waktu itu.
Pesta Komunitas Makassar Pertama
Akhirnya, Mei 2014 Pesta Komunitas Makassar berhasil digelar. Pesta pertama itu memang baru uji coba, masih banyak kekurangan dalam pelaksanaannya. Dana pun masih sangat kurang, belum ada dukungan dari pemerintah kota Makassar maupun pemerintah provinsi SulSel kecuali kemudahan menggunakan area Monumen Mandala.
Setahun kemudian, pemerintah kota Makassar akhirnya membuka ruang untuk menjadi pendukung utama Pesta Komunitas Makassar. Hal itu berlanjut sampai pagelaran PKM 2016. Panitia tak perlu lagi pusing-pusing soal dana, setidaknya pengeluaran utama sudah ditanggung oleh pemkot.
Tahun 2015 dan 2016 saya memang tidak terlibat banyak lagi dalam pelaksanaan PKM. Tapi dari luar saya melihat kalau PKM memang semakin membesar. Kalau hitungannya jumlah maka itu bisa dengan mudah kita lihat.
Di PKM pertama komunitas yang berpartisipasi sebanyak 75 komunitas, jumlah ini meningkat menjadi 120 komunitas di tahun 2015 dan puncaknya tahun 2016 ini menjadi 280 komunitas. Sangat signifikan.
Tapi sepintas juga saya melihat tidak ada perubahan mendasar pada konsep yang ditawarkan. Komunitas peserta diberi ruang berupa booth untuk menampilkan kegiatan dan aktivitas mereka, sebagian diberi kesempatan untuk tampil di panggung dan komunitas yang bergerak di bidang ekonomi diberi kesempatan untuk menggelar hasil karya mereka. Sebagian besar panitia juga masih berasal dari perwakilan komunitas yang jadi peserta. Konsep yang sama persis dengan PKM pertama 2014.
Mau Kemana Komunitas Makassar?
Selepas PKM 2016, muncul pertanyaan di beberapa orang; mau kemana komunitas di Makassar? Apakah selepas pesta lalu semua dikembalikan ke khittahnya masing-masing lalu lupa untuk berkolaborasi? Atau bagaimana?
Saya pernah mengusulkan di tulisan ini, bagaimana kalau Pesta Komunitas Makassar berhenti di PKM 2016 saja. Buatlah format baru, semisal acara kecil-kecilan setiap dua bulan sekali yang mempertemukan para komunitas yang bernada sama. Atau acara apalah, yang penting reguler dan tidak hanya sekali pesta. Kalaupun mau, Pesta Komunitas Makassar bisa digelar sekali dalam dua tahun, misalnya.
Tapi usulan saya disanggah oleh Rama Bizkid yang juga adalah ketua panitia PKM 2014 dan sekaligus panutan sebagian besar komunitas di Makassar. Menurutnya, PKM masih jadi pilihan sebagian besar komunitas karena dianggap sebagai “lebaran”-nya komunitas di Makassar. Mereka bisa berkumpul, bertemu, silaturahmi dan menampilkan kemampuan. Menurut Rama juga, beberapa komunitas justru naik ke permukaan setelah adanya PKM. Padahal sebelumnya mungkin tak ada yang peduli pada komunitas itu.
Jadi menurut beberapa komunitas di Makassar, gelaran PKM masih sangat dibutuhkan. Mungkin hanya formatnya saja yang harus diubah, agar tak terkesan itu-itu saja tanpa ada yang baru. Ini tentu jadi tugas bersama, utamanya bagi komunitas-komunitas yang melibatkan diri di PKM.
Perlukah Ada Forum Komunitas?
Pertanyaan ini juga muncul di acara malam itu. Selama ini PKM memang seolah organisasi tanpa bentuk. Ada ketua dan pengurus yang berganti setiap tahun, tapi tidak ada ketetapan hukum yang melindunginya. Bagi sebagian orang, ini tidak masalah. Toh PKM memang tidak dimaksudkan menjadi semacam badan hukum yang memayungi komunitas di Makasar. Pun, PKM tidak pernah dibayangkan akan menjadi seperti itu.
Namun, dalam perjalanan waktu ada kebutuhan yang sepertinya mendorong PKM untuk bergeser ke arah itu. Pelaksanaan PKM 2015 dan 2016 bermasalah di ketetapan hukum. Pengucuran dana dari pemkot Makassar dan pengurusan ijin keramaian membutuhkan legalitas badan hukum. Masalah itu bisa diselesaikan dengan sedikit improvisasi yang tak melawan hukum.
Menurut Abhe, salah seorang punggawa Revi.us yang malam itu juga hadir, bentuk forum yang formal dan berbadan hukum dibutuhkan untuk menjaga arah dan spirit komunitas di Makassar. Dengan bentuk forum yang formil, komunitas yang ada di dalamnya bisa bergerak dengan visi dan misi yang lebih jelas dan arah yang lebih benderang. Usulan ini ada benarnya juga, meski menurut saya ada kesulitannya juga.
Seperti yang saya bilang, komunitas itu sangat cair. Kita tidak bisa menyetir arah sebuah komunitas hanya karena kita “memegang” ketuanya misalnya. Komunitas bukan partai politik yang menurut kepada satu tokoh. Usulan membentuk forum memang bisa membuat gerakan atau kolaborasi komunitas menjadi lebih terarah, tapi di lain sisi juga bisa membuat komunitas menjadi lebih kaku dan tidak cair lagi.
Jadi, kesimpulannya seperti apa?
Malam itu pertemuan berakhir dengan kesimpulan; semua dikembalikan kepada komunitas yang aktif di Pesta Komunitas Makassar. Apakah mereka akan tetap berjalan dengan pola seperti sekarang? Atau mungkin mereka akan sepakat untuk membentuk forum? Kalau iya, siapa yang akan mereka pilih sebagai penanggungjawab dari forum itu? Orang-orang yang bisa dipercaya memberi arahan jelas dan tidak memanfaatkan komunitas untuk sesuatu yang bersifat politis praktis.
Bergaul dengan komunitas memang banyak dinamikanya. Karena dinamis dan sangat cair, kita pasti sulit untuk menentukan satu bentuk yang diharapkan sama antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lainnya. Tiap komunitas punya karakternya sendiri-sendiri, mungkin malah punya arahnya sendiri-sendiri.
Pesta Komunitas Makassar memang sudah memulai jalan mempertemukan komunitas di Makassar. Sisanya, tinggal mengarahkan akan kemana komunitas itu berlabuh. Ke arah kolaborasi antar komunitas, atau berhenti dengan berpesta saja?
Sebuah tugas yang tak mudah buat semua yang mengaku peduli pada kota Makassar [dG]