Karena Ulah Pendukung, Rusak Wajah Kota Ini
Sudah sering kali saya tuliskan, betapa wajah kota Makassar dan sekitarnya menjadi rusak oleh ulah para politisi dan para pendukungnya yang seenaknya menebar baliho tanpa rasa bersalah
Baliho itu sudah lama ada di sana, di Jl. Syech Yusuf Kabupaten Gowa. Ukuran sekitar 2×3 meter. Gambarnya dua lelaki berpakaian adat Makassar. Seorang di antaranya sudah sangat terkenal. Dialah sang Gubernur Sulawesi Selatan yang akan maju lagi dalam perhelatan pilkada Januari tahun depan. Lelaki di sebelahnya bernama H. Muhammad Yunus Daeng Masila. Siapa dia? Jangan tanya saya, saya hanya menduga kalau dia orang yang cukup berpengaruh di kabupaten Gowa.
Saya hanya menduga, karena saya pikir tak mungkin orang berani memasang baliho seperti itu kalau dia tidak punya kuasa atau pengaruh. Apalagi balihonya bukan cuma satu, saya mencatat minimal ada tiga di sepanjang Jalan Syech Yusuf.
Dugaan saya rasanya makin benar ketika saya melihat ada satu baliho lagi dengan tema yang sama. Besarnya juga sama. Masih ada foto H. Muhammad Yunus di sana walaupun lebih kecil dan berbentuk inset. Baliho yang satu ini agak menggelikan. Ada 5 orang lelaki dan 2 orang perempuan berusia lebih dari 40an tahun berdiri di depan Masjid Raya Sungguminasa. Salah satu dari mereka memegang piagam yang tak terbaca isinya apa. Gaya mereka kaku, bukan selayak para foto model tentu saja.
Di bawah foto mereka ada tulisan besar: H. Muh. Yunus daeng Masila beserta 7 saudara dan anak cucunya siap memenangkan “SAYANG II”
SAYANG adalah akronim dari Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nukmang, dua sosok yang sekarang memimpin propinsi Sulawesi Selatan.
Sejak terpilih hampir 5 tahun lalu, mereka seakan mempatenkan kata SAYANG menjadi sebuah kata yang punya arti baru. Dalam kamus bahasa Indonesia, SAYANG berarti rasa cinta tapi di Sulawesi Selatan kata SAYANG mendapat pengertian baru yang berbau politis. Saya akui branding mereka berhasil.
Belakangan ini mereka juga seperti mencoba membranding kata baru, kata KOMANDAN. Orang Sulawesi Selatan tahu itu. Kata KOMANDAN dengan cepat akan membuat ingatan orang melayang pada sosok berkumis yang sedang giat membangun citra menjelang pilkada tahun depan.
Pak KOMANDAN memang orang yang giat. Segala kesempatan dia rebut, semua kemungkinan dia ambil. Semua dilakukan demi membangun citra menjelang pilkada. Para pendukungnya tahu itu, maka para pendukungnyapun mengikut untuk turut menggunakan kesempatan dan semua celah yang ada. Maka lahirlah orang-orang seperti H. Muh. Yunus dan Bahar Ngitung yang sudah lebih dulu terkenal dengan jargon PAKUI yang luar biasa absurd itu.
H. Muh. Yunus dan Bahar Ngitung memanfaatkan kesempatan untuk ikut bergaya dengan membawa nama sang komandan. Mereka oportunis dan percaya betul pada pepatah sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Mumpung pak komandan sedang butuh dukungan, kita dukung saja sambil ikut memamerkan diri ; mungkin begitu pikiran mereka.
Sayangnya di Makassar dan sekitarnya bukan cuma dua sosok yang seperti itu. Ada banyak, entah yang bergerak sendirian ataupun yang bergerak atas nama kelompok. Jadi tidak heran kalau kita begitu mudah menemukan baliho dengan tulisan: kami kelompok A mendukung KOMANDAN, atau: kami komunitas B sayang KOMANDAN.
Lebih sial lagi karena bukan hanya pendukung komandan yang berlaku seperti itu. Hampir semua calon gubernur (dan kemudian calon walikota) punya pendukung dengan sifat yang sama. Mungkin mereka berpikir; masak cuma dia yang bisa? Masak kita tidak bisa? Dan mulailah kota ini dirusak oleh baliho atau materi kampanye lain yang dengan semena-mena dibuat dan disebar oleh para pendukung itu.
Sang komandan, semangat baru atau siapapun itu tidak ada yang melarang tingkah megalomaniak para pendukungnya. Mereka membiarkannya saja, mungkin mereka terlena oleh dukungan. Mungkin mereka malah makin bangga karena merasa ada banyak warga yang mendukung mereka, ada banyak warga yang rela mengeluarkan dana pribadi untuk menunjukkan dukungan mereka.
Walaupun wajah kota ini yang jadi korban.
Mungkin suatu saat nanti di depan setiap rumah akan ada baliho ukuran raksasa dengan tulisan ; keluarga bapak C mendukung komandan! Di sebelahnya lagi ada tulisan; Bapak D dan 10 anaknya beserta cucunya dan cucu dari ponakannya serta cucu dari tentangga ponakannya siap mendukung semangat baru.
Dan ketika itu terjadi, kota ini akan jadi hutan. Hutan baliho. Alih-alih menyegarkan mata dan janutng seperti hutan tropis, hutan baliho malah bisa merusak mata dan makin lama bisa merusak mental.
Hei, mereka itu pendukung atau penjilat sih? Anda yang jawab ya?
[dG]
Baliho. Baliho di mana-mana…
Kayaknya para blogger perlu memberi ide-ide segar sebagai alternatif alat kampanye yang kreatif, cerdas dan menarik. Misalnya dengan mengadakan seminar tentang “social media dan politik” dengan mengundang team2 kampanye dan para politisi.
mrk hrsnya belajar dr Jokowi yah 😐
masih gak belajar juga ya
tempo hari JB gak pake sebar spanduk tapi bisa kepilih kok
karena yg penting itu mereka terpatri di hati dan pikiran
bukan di awang2 kek gitu … eerrrrr
Ironinya, di dekat mmasjid Raya – di panyingkul dgn jalan Andalas ada papan larangan memasang atribut kampanye tapi di situ rame. Cobanya ada yang bisa fotoki ka tempo hari ada fotonya pembesar ka di sana.
*Sapa tau dg.Ipul “tersindir” dan pigi foto ki ^__^*
pilkada memang merusak. couldn’t agree more.
Mereka pendukung atau penjilat, saya jawab mereka PENJILAT biar dapat jatah jadi PNS 🙂
Serius pilkada kali ini benar-benar bikin saya jengkel, pagar kost ku baru-baru sore saya bersihkan dan cat sama bapak kost pagi-pagi buta ada mi seng ta tempel posternya no.3 dengan baju khas jokowi.
setuju sama daeng, selanjutnya kan pilwakot , saya memang tidak memilih di Makassar tapi keseharian saya di Makassar, saya prihatin kalo pilwakot akan begini lagi, berkeseharian ditengah hutan baliho, hufftt dehh.