DIA Menang, Siapa Senang?

Ilustrasi (sumber: Kompas)
Ilustrasi (sumber: Kompas)

Pesta demokrasi Makassar sudah selesai, meski belum resmi tapi warga sepertinya sudah tahu siapa pemimpin baru mereka untuk 5 tahun ke depan.? Siapa yang senang? Hanya tim sukses dan pendukung? Atau semua warga?

Tirai pertunjukan sudah diturunkan, panggung-panggung mulai dibongkar, dekorasi mulai dibereskan dan sampah-sampah mulai dibersihkan. Pesta demokrasi yang berujung pada pemilihan pemimpin baru kota Makassar itu pungkas sudah. Berbulan-bulan warga kota dipaksa mengeluarkan energi tambahan untuk saling sikut, saling cela, saling serang, berdiskusi, berdebat, menganalisa atau bahkan cuma mengamati saja. Sisanya dipaksa menelan sampah-sampah visual di sekujur kota.

18 September jadi tanggal penting karena kota ini akhirnya memiliki pemimpin baru. Hasil resminya belum keluar, tapi hasil sementara sudah dimaklumi banyak orang. Pasangan Danny Pomanto-Ical sepertinya akan keluar sebagai pemenang dan tidak perlu ada putaran kedua. 30% lebih suara sudah cukup untuk membuat pasangan ini bersiap dilantik menjadi walikota dan wakil walikota Makassar periode 2014-2019.

Dari awal saya memang yakin pasangan ini akan menjaring suara tinggi meski tidak yakin kalau mereka akan memang satu putaran. Elektabilitas mereka meningkat pesat beberapa bulan terakhir. Salah satu senjatanya adalah dengan memamerkan hasil karya Danny Pomanto yang memang sudah bertebaran di mana-mana.

Danny Pomanto adalah arsitek yang biro arsiteknya jadi perencana tata kota Makassar, think tank walikota begitu kata orang. Reklamasi pantai Losari, sampai rencana Center Point Of Indonesia adalah buah pemikirannya dan itu juga yang dideretkan dalam daftar prestasinya. Karya fisik mentereng itu tentu sangat menggoda bagi orang awam. “Dia sudah berkarya, sementara yang lain belum berbuat apa-apa.” Begitu mungkin pemikiran mereka yang awam.

Meski juga termasuk awam, tapi tak sepenuhnya setuju dengan klaim prestasi itu. Buat saya kemajuan sebuah kota tidak hanya dilihat dari fisik saja. Bukan hanya bangunan megah menjulang, atau proyek triliunan rupiah yang jadi indikatornya. Sepanjang pengetahuan saya kota yang baik adalah kota yang dibangun untuk mengakomodir manusianya, memanjakan manusianya dan membuat mereka nyaman bukan hanya karena punya bangunan megah, proyek besar dan pusat perbelanjaan sejuk.

Kota ini masih jauh dari kata nyaman. Jalanannya masih akrab dengan kata macet dan panas, taman kota hanya sejumput, pohon yang ada malah ditebang untuk memanjakan kendaraan dan tak ada akses kendaraan umum yang memadai. Di musim hujan genangan air gampang menjadi banjir, persediaan air tanahpun mulai terancam. Ruko tumbuh dengan liar, seperti perdu di musim hujan di atas tanah yang tak terurus. Pasar tradisional dan usaha kecil rakyat terpinggirkan oleh deretan retail besar yang menyerbu kota seperti pasukan merah Sovyet yang menyerbu Berlin.

Di mata saya kota ini tak ramah pada alam dan pada mahluk hidup. Seorang kawan malah berasumsi kalau kota ini memang hanya dibangun dan direncakan untuk mesin, bukan untuk manusia. Pantai yang seharusnya jadi tempat indah dan nyaman buat wargapun perlahan mulai ditanami beton. Sebagian sisinya memang dipercantik, tapi sisi lainnya direnggut. Ekologi pantai terancam, kehidupan sosial warga pesisirpun terancam. Tak ada lagi nelayan pesisir dengan perahu tuanya, bahkan mungkin tak lama lagi mereka juga akan tersisih dan terusir.

Siapa Yang Senang?

Walikota sebelumnya hanya sibuk mengurusi dandanan kota ini. Ibarat wanita muda, kota ini sibuk disolek dan didandani dengan menyembunyikan penyakit yang sebenarnya. Semua hanya tentang fisik dan dandanan. Warga yang tak tahu diberi janji, diberi pekerjaan kecil supaya senang tapi sebenarnya pengusaha menghisap jauh lebih banyak. Tentu dengan restu penguasa.

Beberapa minggu lalu saya pernah bertukar mention di twitter dengan akun resmi pasangan DIA plus seorang lagi yang mengaku karyawan Danny Pomanto. Ketika itu saya menggugat perencanaan kota yang menurut saya amburadul dan dibalas oleh mereka kalau tidak semua perencanaan yang sudah dibuat dilaksanakan dengan baik di lapangan. Mereka hanya merencanakan, tapi pelaksanaan sepenuhnya jadi kuasa pemerintah kota dan propinsi.

Sekarang ketika sang perencana sudah hampir pasti menjadi penguasa mungkinkah semua rancangan bagusnya akan dilaksanakan di lapangan? Atau mungkin akan ada rancangan baru lagi yang menurut mereka lebih bagus dari rancangan sebelumnya? Atau mungkin akan ada pihak lain yang bisa disalahkan ketika ada warga yang merasa perencanaan kota mulai amburadul?

Makassar memang makin menawan, dandanannya makin menor, ekonominya makin meningkat. Tapi selalu ada harga yang harus dibayar. Selalu ada warga yang tidak mendapat ruang dalam gerbong kemajuan itu. Mereka terpinggirkan karena memang tidak masuk dalam perencanaan kota yang katanya menuju kota dunia ini.

Suatu hari nanti kota ini mungkin akan seperti Jakarta. Mentereng di permukaan tapi sesungguhnya menyimpan banyak borok di bawahnya. Kalau tak awas, borok itu bisa jadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Saya tidak mau Makassar seperti Jakarta, saya takut kota ini akan seperti Jakarta.

Ketika DIA akhirnya keluar sebagai pemenang, siapa sebenarnya yang senang? Tim sukses dan pendukungnya? Para pengusaha yang menggelontorkan modal mereka dalam perjudian bernama pilkada? Atau semua warga kota?

Saya percaya inilah pilihan terbaik untuk Makassar saat ini, mungkin seperti memilih yang terbaik dari yang terburuk. Dan saya percaya kalau sesungguhnya warga kota berhak untuk mengamati, mendengar, merasakan, bersuara dan kalau perlu bergerak untuk kota tempat mereka tinggal. Karena kota sebenarnya bukan hanya milik satu golongan, kota milik semua warga yang hidup dan mencari makan di atasnya. Semoga pada akhirnya semua senang dengan pilihan yang ada sekarang [dG]