Terlalu Bebas Bisa Bikin Plontos

Blogger Tolak UU ITE Pasal 27 Ayat 3
Blogger Tolak UU ITE Pasal 27 Ayat 3

Dua minggu lalu Benhan jadi korban UU ITE Pasal 27, beberapa kemudian giliran Muhammad Arsyad di Makassar yang ikut ditahan karena tuduhan pencemaran nama baik lewat media eletronik.

Benny Handoko memulai perseteruannya dengan Misbakhun lewat sebuah twit nomention sekisar bulan Desember 2012 dan berakhir di balik dinding dingin penjara Cipinang 5 September. Bukan cuma kebebasannya yang direnggut, tapi rambutnya juga ikut direnggut. Kepala pria yang di jagad maya lebih dikenal sebagai Benhan ini digunduli, diplontos seperti maling ayam yang tertangkap polisi. Sekarang Benhan memang sudah menghirup udara bebas untuk sementara karena polisi mengabulkan penangguhan penahanannya sambil menunggu guliran kasus ini selanjutnya.

Empat hari kemudian, kasus yang hampir sama terjadi di Makassar. Harusnya ini lebih heboh lagi karena mediumnya unik dan berbeda. Kalau Benhan dituduh melakukan penghinaan lewat twitter maka Muhammad Arsyad dituduh melakukan penggunaan lewat status BBM. Iya, hanya lewat status BBM saja!

Di statusnya Arsyad menuding (mungkin tepatnya mempertegas) Nurdin Halid sebagai koruptor? sekaligus menyebarkan ajakan untuk tidak memilih adik mantan ketua PSSI itu di Pilwalkot Makassar. Pelapornya bukan Nurdin Halid, tapi seorang anggota dewan yang juga orang dekat dari Nurdin Halid. Tidak penting siapa yang melapor, faktanya hanya berjarak sebulan lebih dari sejak pertama Arsyad dilaporkan ke polisi dia sudah mendekam di balik jeruji. Sakti benar sang pelapor itu!

Benhan dan Arsyad sama, sama-sama dijerat pasal 27 UU ITE tahun 2008. Bedanya, Benhan mendapat banyak sorotan karena posisinya di ibukota sementara Arsyad yang hanya datang dari kota seperti Makassar yang jauh di luar Jawa sana kasusnya seperti balon lampu 5 watt. Terlihat tapi tidak cukup cemerlang, apalagi gegap gempita. Kabar terakhir Arsyad akan dibebaskan dengan status penangguhan penahanan.

Ada yang bilang kasus Arsyad berbau politis yang ada kaitannya dengan pilwali Makassar. Mungkin iya, tapi intinya bukan di situ. Bukan soal apa yang ada dalam pikirannya, tapi soal medium yang digunakan untuk menjeratnya. Blackberry Messenger lebih privat dari twitter, facebook atau blog misalnya. Maksimal orang yang bisa membaca status Blackberry Messenger kita 2000 orang, itupun hanya mereka yang jadi teman atau tautan kita di BBM. Beda dengan media sosial terbuka seperti twitter, facebook atau blog.

Tulisan dibalas tulisan.

Saya juga baru tahu bahwa sebenarnya UU ITE pasal 27 (khususnya ayat 3) memang menyasar semua pengguna alat elektronik yang sifatnya membantu komunikasi. Jadi bukan hanya media sosial dengan spektrum luas saja yang mengancam kebebasan berekspresi kita, tapi semua medium yang menggunakan elektronik sebagai pengantarnya. Status BBM, chatting di BBM, chatting di YM, Line, WhatsApp, Kakao Talk, WeChat dan bahkan sms sekalipun.

Jadi masalahnya memang ada pada medium apa yang Anda gunakan karena konten penghinaan bisa melalui medium apa saja. Pemerintah rupanya berusaha meredam kebebasan orang untuk berekspresi menggunakan medium elektronik yang semakin maju. Meredam dan mungkin menakut-nakuti para penggunanya.

Pasal penghinaan dan pencemaran nama baik ini memang sangat subjektif, hanya berdasarkan perasaan saja. Apa yang menurut kita tidak sampai menghina bisa saja bagi orang lain sudah termasuk kategori penghinaan. Saya mengangguk setuju atas kalimat yang dilontarkan seorang bapak yang bilang kalau UU ITE pasal 27 ini adalah pasal yang mengakomodir orang-orang manja yang mau memanjakan ego mereka. Sederhananya begini saja, ketika Anda merasa terhina dengan tulisan seseorang maka balaslah dengan tulisan yang melawan hinaan itu. Tulisan dibalas dengan tulisan rasanya lebih elegan daripada harus buru-buru melapor ke polisi.

Tapi ini juga tidak lantas membuat kita merasa bebas sebebas-bebasnya, karena etika juga tetap dipegang bukan? Apalagi kita adalah manusia yang hidup di negara yang sudah terkenal dengan sopan santun dan etikanya. Menyerang orang tanpa dasar yang jelas memang bisa jadi blunder, kalau tidak sampai diseret ke muka hukum setidaknya bisa membunuh karakter kita sendiri sebagi tukang fitnah yang suka cari gara-gara.

Masalah menjadi rumit karena pemerintah langsung menetapkan UU ITE yang lebih bersifat punishment daripada penyadaran itu. Saya membayangkan kalau saja pemerintah mau lebih berkeringat memberikan penyadaran untuk menggunakan semua media elektronik secara lebih bijak maka tidak perlu ada Benhan atau Arsyad yang dipenjara. Tapi sepertinya pemerintah memang lebih senang menakut-nakuti atau memberi pelajaran dengan cara keras seperti yang ada sekarang daripada memberi ruang kepada orang untuk belajar perlahan dengan cara yang lebih halus.

Perdebatan soal UU ITE ini akan terus ada, banyak juga yang sedang bergiat dan berusaha untuk membatalkan UU ITE itu. Buat kita para pemakai media elektronik, sambil menunggu pasal tersebut dihilangkan ada baiknya terus menjaga diri agar sebijak mungkin menggunakan media elektronik. Bebas bukan berarti benar-benar tanpa batas, bebas tentu berarti bertanggungjawab apalagi ada banyak orang manja yang merasa diwadahi oleh UU ITE.

Kalau manjanya keluar, kita bisa digiring ke penjara dan rambut diplontos seperti Benhan, atau terpenjara dan nyaris terlupakan seperti Arsyad. Jadi berhati-hatilah! [dG]