Aroepala Sore Itu

Pedagang pakaian besar di Aroepala

Sore itu saya merasakan sebuah pengalaman baru yang menyenangkan. Menikmati sepanjang jalan Aroepala dan Tun Abdul Razak dengan jalan kaki

Sore menjelang, Makassar tidak terlalu terik. Saya baru saja pulang dari SCFM. Sore itu saya diundang untuk bincang-bincang tentang final piala Eropa yang akan berlangsung dua hari lagi. Saya kebetulan tidak bermotor sehingga memilih pete-pete untuk pergi dan pulang. Sudah lama juga saya tidak menikmati perjalanan dengan kendaraan umum berwarna biru itu.

Sore itu saya turun di kawasan Perumnas Tamalate. Tadinya dari sana saya berencana mencari bentor atau ojek untuk bisa sampai ke rumah yang jaraknya masih sekitar 3KM lagi, tapi tiba-tiba saya berubah pikiran.

Setelah berjalan beberapa puluh meter rasanya koq menyenangkan ya? Akhirnya saya memutuskan untuk terus berjalan, menyusuri jarak sekitar 3KM itu untuk sampai ke rumah. Cuaca sore yang mendukung serta jalanan yang lumayan ramai menggoda saya untuk menyusuri jalan Hertasning-Aroepala-Tun Abdul Razak sore itu.

Jalan itu dulunya bernama Hertasning baru. Terbentang melintang dari Barat ke Timur membelah sebuah daerah yang dulunya adalah persawahan. Jalan itu adalah perpanjangan dari jalan LetJend Hertasning yang sudah lebih dulu ada. Panjangnya sekitar 7 KM, menyambung dari jalan LetJend Hertasning sampai menembus Jl. Kacong dg Lalang yang sudah masuk dalam wilayah Kab. Gowa.

Butuh waktu lama sebelum jalanan itu betul-betul jadi dan bisa difungsikan. Tapi tidak butuh lama sebelum jalanan itu menjadi sangat ramai. Perlahan-lahan jalan Hertasning Baru yang belakangan diubah menjadi Jl. Aroepala di daerah Makassar dan Jl. Tun Abdul Razak di daerah Gowa itu jadi pusat keramaian yang baru.

Inilah peta Jl. Aroepala dan Jl. Tun Abdul Razak

Awalnya hanya ruko, kemudian sebuah pom bensin juga hadir di sana. Setelah itu sebuah perumahan mewah ikut hadir juga dan disusul kemudian satu lagi perumahan super mewah yang membawa brand dari Jakarta. Makin lama sepanjang jalan Aroepala makin ramai. Bukan hanya deretan ruko atau perumahan tapi juga oleh pengguna jalan.

Dulu, orang dari Gowa yang ingin berkunjung ke Makassar, tepatnya ke daerah Panakkukang yang merupakan area bisnis harus memutar jauh dengan total jarak bisa sampai 10KM. sekarang, mereka cukup memotong jalur lewat Jl. Aroepala dan Jl. Hertasning dengan total jarak sekitar 3KM dan waktu tempuh kurang dari 15 menit. Sungguh sangat menghemat waktu dan jarak tempuh. Tidak heran kalau Jl. Aroepala berkembang sangat pesat dalam waktu singkat.

Sore itu saya memulai jalan kaki dari ujung timur Aroepala. Saya membayangkan jalan itu seperti seekor ular panjang yang meliuk-liuk dan sedang beristirahat. Di sisinya orang-orang berkumpul dan mencari makan dengan caranya masing-masing. Di ujung timur Aroepala banyak orang yang berjualan makanan. Ada toko yang menjual aneka kue-kue dari tradisional hingga modern, ada tenda yang menjual makanan berat, ada juga pedagang buah-buahan yang membuat kios sederhana dari bambu dan atap dari terpal. Ada beberapa cafe juga di sana.

Menjelang jembatan pertama (total ada tiga jembatan sepanjang jl. Aroepala dan Jl Tun Abdul Razak) keramaian makin terasa. Di sisi utara jalan pedagang musiman makin menyemut. Jualan mereka beragam, dari pakaian bekas yang lazim disebut cakar, buah-buahan yang dijajakan di atas mobil bak terbuka hingga makanan dan minuman seperti cendol atau rujak.

Entah siapa yang memulai tapi setahu saya beberapa bulan lalu belum seramai itu. Awalnya hanya pedagang cendol dan rujak sampai kemudian pedagang pakaian bekas dan buah-buahan ikut parkir di sana tepat di badan jalan. Satu memulai, yang lain kemudian ikut-ikutan.

Karpetnya pak, karpetnya bu..
Ramai kan?

Lewat jembatan pertama, keramaian masih terasa apalagi karena ada lahan yang lebih luas di pinggir jalan. Di sana bahkan ada pasar kaget. Beberapa pedagang menggelar meja kayu sederhana dan meletakkan beragam ikan dan sayuran di atasnya. Beberapa pengguna jalan memarkir kendaraan mereka dan kemudian berkerumun di depan pedagang itu. Suasana ini kadang membuat jalan sedikit macet di sore hari. Selain pedagang ikan dan sayu, satu dagangan yang sepertinya sedang laris saat ini adalah karpet. Entah dari mana asalnya dan siapa yang memulai, tapi sepanjang jalan Aroepala sekarang mudah ditemui pedagang karpet yang menjajakan karpetnya dengan harga yang lebih murah dari harga di mall atau toko.

Makin ke barat suasana memang berangsur agak sepi tapi tetap saja ada keramaian pedagang di sisi jalan. Baik pedagang yang permanen yang mengambil tempat di dalam ruko maupun pedagang non permanen yang membuat tenda darurat atau bahkan hanya menggelar dagangan di bawah pohon.

Setelah melewati jembatan kedua saya mulai masuk ke Jl. Tun Abdul Razak yang masuk ke dalam area kabupaten Gowa. Di seberang jalan di sebelah Selatan perumahan mewah itu terlihat mentereng. Barisan depannya ada ruko-ruko bergaya klasik yang megah dan mengintimidasi. Beberapa patung kuda juga terlihat gagah di bagian depan perumahan itu.

Di sebelah utara jalan setelah jembatan memang agak lengang, suasana ramai mulai terasa beberapa puluh meter kemudian. Ada beberapa pedagang pakaian bekas yang menggelar dagangan di sana. Mereka ada yang membuat tenda darurat dan ada juga yang membuat kios semi permanen. Seorang pedagang pakaian distro terselip di antara pedagang pakaian bekas itu.

Satu jam dua puluh menit setelah pertama kali menyusuri jalan Aroepala dan Tun Abdul Razak, kompleks perumahan saya mulai kelihatan. Jarak kurang lebih 3KM itu saya tempuh dalam waktu yang agak panjang, mungkin karena saya berjalan santai dan banyak mampir sepanjang jalan.? Selepas jembatan ketiga Aroepala sudah tidak ramai lagi. Kiri kanan jalan semua sawah, meski beberapa ada yang sudah mulai ditimbun. Entah akan dibangun perumahan atau mungkin ruko.

Jalan Aroepala makin hari makin ramai. Banyak orang yang mencoba mengais rejeki di sana. Saya membayangkan ramadhan nanti suasananya pasti akan lebih ramai. Saya juga membayangkan suatu hari nanti akan ada gesekan antara para pedagang itu dengan pemerintah. Ketika mereka mulai berdagang, pemerintah tidak terlihat batang hidungnya. Ketika usaha mulai ramai dan pedagang mulai merasa memiliki, pemerintah akan datang dan berusaha menertibkan. Gesekan itu akan timbul, cepat atau lambat.

Sore itu saya merasakan sebuah pengalaman baru yang menyenangkan. Menikmati sepanjang jalan Aroepala dan Tun Abdul Razak dengan jalan kaki. Ada keakraban tradisional yang saya rasakan, sebuah interaksi hangat antara penjual dan pembeli, bukan interaksi dingin antara pembeli dan kasir atau pelayan toko.

Entah berapa lama Aroepala akan seperti itu.

[dG]?