Mengenali Karakter Narasumber
Tiap narasumber punya karakternya sendiri-sendiri. Kita yang harus cerdas menempatkan diri.
“Sebelum ada kegiatan ini, ibu-ibu di sini kegiatannya apa?” Tanya saya.
“Tidak ada,” si ibu yang saya tanya menjawab dengan malu-malu. Suaranya seperti tertahan, nyaris tak terdengar. Wajahnya hanya menghadap ke saya beberapa detik sebelum kemudian dipalingkan ke arah lain.
“Oh, sama sekali tidak ada bu?” Saya masih mencoba mencecarnya, berusaha mengorek keterangan yang saya butuhkan.
“Iye,” sekali lagi, si ibu menjawab dengan singkat. Sangat singkat.
Saya mulai kebingungan, mencari cara supaya saya bisa mengorek lebih banyak cerita menarik dari ibu yang duduk di depan saya ini. Sayangnya, sampai beberapa puluh menit kemudian, tidak terlalu banyak yang bisa saya korek. Si ibu tetap malu-malu, mungkin juga rendah diri. Setiap pertanyaan saya hanya dijawab dengan sangat singkat. Kadang hanya “ya” atau “tidak”. Ketika saya membuat pertanyaan terbuka pun, jawabannya tetap sama. Singkat.
Sampai akhirnya saya menyerah. Padahal rasanya saya sudah mencoba supaya sesi wawancara ini berlangsung sangat santai. Saya malah memberi label “ngobrol” demi menjauhkan kesan kalau ini adalah wawancara serius yang bisa membuat suasana jadi kaku. Tapi tetap saja, ini adalah narasumber yang begitu sulit untuk saya kulik ceritanya.
*****
Sekira hampir dua tahun belakangan ini, pekerjaan saya memang mengharuskan saya bertemu banyak orang. Bercakap-cakap dengan mereka, mencari tahu kisah mereka dan kemudian menuliskannya dalam sebuah tulisan. Ada banyak kisah menarik perihal bagaimana mengulik kisah orang-orang itu. Saya terus mengenali beragam karakter orang yang akan saya wawancarai, kemudian mencoba mencari cara yang pas agar obrolan berlangsung santai tanpa terasa sebagai sebuah wawancara.
Bagaimanapun, kata “wawancara” tentu akan berkesan kaku dan bisa menutupi beragam kisah yang sebenarnya sangat menarik.
Dari sekian banyak pengalaman itu, saya mencoba membuat beberapa panduan buat saya sendiri. Panduan yang mempermudah pekerjaan saya, utamanya ketika harus mewawancarai seseorang sesuai tugas.
Buat saya, wawancara itu ada dua macam: wawancara terencana dan wawancara spontan. Wawancara terencana adalah wawancara yang memang sudah dijadwalkan, sudah diatur sejak awal dengan melakukan riset yang menentukan narasumber. Ketika membuat sebuah tulisan, kita sudah bisa memetakan siapa saja yang akan kita temui, siapa yang akan kita mintai data, siapa yang akan kita wawancarai. Semua itu untuk memperkuat sebuah tulisan tentu saja.
Nah, ketika memetakan narasumber kita sudah bisa membuat profiling singkat tentang latar belakang narasumber kita. Profiling ini sangat penting untuk menentukan strategi ketika mewawancarai si narasumber. Setiap orang tentu punya karakter masing-masing, karakter yang sangat berpengaruh ketika kita mulai berinteraksi dengan mereka dalam sesi wawancara.
Ketika berhadapan dengan narasumber yang berpendidikan tinggi atau punya jabatan tinggi, kadang kita juga harus berusaha tampak cerdas. Hindari pertanyaan-pertanyaan konyol yang bisa membuat kita tampak bodoh. Setidaknya, pelajari secara singkat latar materi yang ingin ditanyakan.
Bukan apa-apa, ada beberapa narasumber yang memang sangat ketat di wilayah ini. Ketika bertemu dengan pewawancara yang menurutnya tidak punya kapasitas, maka secara otomatis dia akan memandang rendah dan secara tidak langsung akan memotong proses wawancara. Wawancara akan berakhir tidak sesuai harapan.
“Yaa setidaknya jurnalis kalau mau wawancara, belajar dikitlah soal materinya. Biar nanyanya gak bodoh-bodoh amat, lebih bagus lagi kalau entar jadinya ada diskusi,” kata Marco Kusumawidjaja, salah seorang arsitek dan ahli tata kota yang pernah saya temui.
Kalimat itu dilontarkannya untuk mengomentari beberapa jurnalis yang biasa mewawancarainya. Dia terlihat sebal ketika beberapa jurnalis mengajukan pertanyaan yang sangat remeh-temeh atau terkesan konyol.
Seorang kawan jurnalis, Eko Rudianto bahkan pernah bertemu dengan seorang narasumber yang memintanya membaca sebuah buku sebelum mewawancarainya.
Tapi tidak semua juga narasumber seperti itu. Beberapa kali juga saya bertemu dengan narasumber dari akademisi atau pejabat yang justru terlihat senang sekali bercerita banyak ketika tahu kita nyaris tidak tahu apa-apa tentang topik yang kita tanyakan. Mereka dengan penuh semangat bercerita panjang lebar, mungkin karena mereka merasa superior atau merasa sebagai dosen di depan kelas.
Kondisi ini ada enaknya karena membuat semua bahan yang kita butuhkan keluar tanpa diminta. Tapi, tantangannya adalah kita jadi kesulitan untuk memilah mana informasi yang penting dan mana yang tidak penting. Kadang malah jadi terlalu banyak informasi yang belakangan justru membingungkan ketika kita akan menyusun tulisan.
Baca juga teknik dasar wawancara untuk para blogger di sini
Jadi saran saya ketika mewawancarai narasumber dari akademisi atau pejabat adalah: kumpulkan data sebanyak mungkin tentang topik yang akan dibahas. Lihat situasi, apakah si narasumber senang dengan pewawancara yang juga tahu banyak tentang topik tersebut, atau justru senang dengan pewawancara yang tidak tahu apa-apa. Setidaknya kita sudah punya modal untuk melakukan wawancara, bukan? Tinggal memilih mau menggunakan gaya yang mana, disesuaikan dengan narasumber saja.
*****
“Nggak! Bukan begitu,” bapak itu memotong pertanyaan saya. Nada suaranya terdengar agak kesal.
Saya tercekat, dalam hati saya menyumpahi diri sendiri yang luput untuk tampil cerdas di hadapan si narasumber. Minimal terlihat cerdas, meski terus terang saya tidak tahu apa-apa soal topik yang kami bincangkan hari itu. Saya baru saja mengajukan pertanyaan yang mungkin bagi si narasumber terdengar bodoh.
Untungnya, situasi canggung itu bisa cepat teratasi. Menit-menit berikutnya saya sudah bisa mengajukan pertanyaan yang membuat si narasumber kembali bersemangat. Dengan sangat hati-hati saya berusaha menghindari pertanyaan yang mungkin saja membuat dia kesal saking bodohnya pertanyaan itu.
“Nah, betul! Memang seperti itu,” katanya ketika saya mengajukan sebuah pertanyaan lagi.
Dalam hati saya bersyukur, pfiuh! Lega karena wawancara sudah kembali berlangsung sesuai harapan saya.
Hingga kemudian siang beranjak sore, semua yang ingin saya tahu sudah saya dapatkan. Outline tulisan sudah terbayang di kepala, dan akhirnya saya pamit. Si bapak yang seorang doktor sebuah universitas negeri itu menjabat tangan saya erat. Saya pamit dengan sopan, diantar oleh senyum si bapak. [dG]