Protes Dulu, Diskusinya Nanti Saja
Kita mungkin memang tidak terbiasa berdiskusi, lebih sering protes dulu, langsung menuding dan lompat ke kesimpulan.
Belakangan ini saya lumayan sering berselancar di beberapa media yang menurut saya memberikan perspektif berbeda tentang sebuah kejadian. Salah satunya adalah Tirto.id. Media ini menurut saya lumayan memberikan pencerahan karena artikel dan berita-beritanya dibuat dengan mematuhi kaidah jurnalistik dasar. Mengumpulkan cerita dari berbagai sumber, wawancara, cover both side dan kemudian disusun menjadi sebuah cerita lengkap.
Namun, karena sedang berada di zaman edan, yang mengharuskan kita untuk apatis pada hampir semua hal, saya pun tidak lantas percaya 100% pada apa yang ada di laman Tirto.id. Sekadar menyesap ceritanya, menambah pengetahuan dan menunggu sampai ada artikel lain yang mungkin membantahnya. Intinya, buat saya apa yang ada di Tirto.id bukan kebenaran absolut yang tak terbantahkan.
Tapi bukan itu yang mau saya ceritakan.
Dari beberapa kesempatan berselancar itu, saya tertarik pada beberapa komentar utamanya di cerita-cerita yang bertema Saudi, Wahabi dan semacamnya. Komentar-komentar itu menarik karena langsung lompat ke kesimpulan tanpa ada data atau kerangka yang menguatkan kesimpulan. Oh iya, kesimpulannya sendiri biasanya tidak jauh dari kata; fitnah, sok tahu, cerita bodoh, dan semacamnya.
Beberapa orang kemudian mencoba berinteraksi dengan para komentator yang memaparkan kesimpulan tanpa alur jelas itu. Biasanya mereka akan mengajukan pertanyaan seperti; kalau menurut Anda ini adalah fitnah, lalu fakta sebaliknya bagaimana?
Bisa ditebak, pertanyaan itu tidak beroleh jawaban. Entah karena si komentator pertama memang tidak punya data untuk memperkuat kesimpulannya atau karena dia terlalu sibuk dan lupa membalas komentar balasan. Pokoknya protes dulu, diskusinya nanti saja.
Hal yang sama juga saya temukan di laman Historia.id. Website ini adalah salah satu website favorit saya karena menyajikan (secara singkat) cerita-cerita sejarah yang memang saya suka. Cerita-cerita yang disajikan biasanya didasarkan pada banyak data, entah dari hasil penelitian, tesis, jurnal ilmiah, buku, wawancara dan lainnya. Bisa dibilang, artikel di Historia.id bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan dianggap benar sampai ada bantahan yang juga bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Sama seperti artikel di Tirto.id, beberapa artikel di Historia.id yang khususnya bertema agama dan budaya ternyata dipenuhi komentator yang sama; sama-sama melompat ke kesimpulan tanpa ada argumen dan data penguat. Tudingan kalau artikel itu adalah artikel sampah, tidak berdasar, fitnah dan mengada-ada juga bisa ditemukan di Historia.id. Tapi jangan tanya saya apa dasar tuduhan-tuduhan itu, karena memang tidak pernah diterangkan oleh mereka yang menuding. Sekali lagi, pokoknya protes dulu, diskusinya nanti saja.
*****
Dalam sebuah diskusi tentang pendidikan di Makassar, Nurhady Sirimorok yang adalah seorang peneliti dan penulis pernah bilang, orang Indonesia itu memang masih banyak yang susah diajak diskusi. Mereka kukuh bertahan pada kepercayaannya sendiri dan tidak terbiasa berpikir kritis, sehingga ketika berdebat mereka lebih sering lompat ke kesimpulan tanpa bisa membangun argumen untuk menguatkan kesimpulan mereka, apalagi menerima bantahan dan argumen dari pihak lain. Pokoknya saya paling benar, semua di luar itu adalah salah!
Sikap bebal seperti ini memang merepotkan, akhirnya ruang-ruang diskusi jadi tertutup dan bisa berakhir pada ketegangan. Tegang karena semua bertahan pada apa yang diyakininya benar tapi tidak mampu menunjukkan fakta pendukung dan tidak mau berpikir kritis pada apa yang diyakininya.
Kalau mau diurut ke belakang, banyak yang percaya kalau ini terjadi karena sistim pendidikan kita yang memang tidak memberi ruang untuk diskusi. Orang tua dan guru di sekolah adalah pihak paling benar. Apa yang mereka sodorkan harus ditelan bulat-bulat oleh anak-anak, tidak boleh bertanya kenapa, apalagi protes. Akibatnya, kita jadi terbiasa menerima doktrin dan lupa untuk berpikir kritis. Ketika giliran kita tiba menjadi orang yang lebih tua, kebiasaan itu kemudian kita teruskan.
Jadi, jangan heran kalau sekarang orang Indonesia mudah sekali menerima berita hoax dan palsu. Selama berita itu selurus dengan apa yang kita percayai, terima saja. Tidak perlu mempertanyakan sumbernya dari mana, datanya valid atau tidak, logikanya benar atau tidak, pokoknya berita itu seperti yang kita bayangkan, maka berita itu benar.
Sementara untuk berita atau cerita yang tidak sesuai dengan bayangan kita, kita akan mulai dengan protes dulu. Soal apakah kita bisa menemukan data dan fakta sebaliknya yang menyanggah berita atau cerita itu, itu urusan nanti. Diskusi juga urusan belakangan, kalau sempat ya kita diskusi, tapi sebaiknya tidak usah disempatkan saja. Sekali lagi, apa yang tidak sesuai dengan bayangan kita, maka itu adalah salah.
Begitulah kura-kura. [dG]