Soal Isu Privasi di Dunia Maya

ilustrasi

Sadarkah kita bahwa semakin sering kita menggunakan internet, semakin kabur pula batas-batas privasi kita?

BEBERAPA HARI LALU KAMI SEDANG ASYIK duduk bergerombol di teras rumah menikmati pagi. Kami yang saya maksud ini adalah saya dan beberapa teman. Dengan beberapa gelas kopi, cemilan dan berbatang-batang rokok pembicaraan berlompatan kesana-kemari.

Sampai kemudian kami berhenti di persoalan isu privasi di sebuah aplikasi ojek yang sedang tenar belakangan ini. Saya yang pertama mengangkatnya. Entah kenapa saya kepikiran kalau aplikasi yang menghubungkan pengguna jasa layanan dan penyedia jasa layanan ojek itu punya lubang besar di soal privasi.

Para pengguna membiarkan nomor telepon mereka direkam para tukang ojek yang secara salah kaprah disebut driver. Sebenarnya ini tidak ada masalah, ini hal yang wajar dan mungkin sudah dilakukan lama sebelum ojek beraplikasi itu muncul. Tapi, dulu orang hanya memberikan nomor teleponnya pada tukang ojek yang sudah dikenalnya, minimal sudah jadi langganan selama beberapa lama.

Tapi di aplikasi ojek ini tidak. Nomor telepon kita bisa direkam oleh mereka yang belum kita kenal, dan ini bisa saja menjadi lubang. Ada ribuan tukang ojek di luar sana, kita tidak tahu sifat asli mereka, tidak bisa percaya mereka semuanya. Bagaimana kalau secara tidak sengaja kita berhubungan dengan tukang ojek yang sebenarnya punya maksud jelek?

Mereka yang punya maksud jelek itu sudah mengantungi nomor telepon kita, mungkin sudah tahu kita tinggal di mana dan bekerja di mana. Kalau sudah jadi langganan dia juga sudah bisa menebak dengan tepat aktivitas kita, bahkan mungkin sudah tahu jam-jam berapa rumah kita kosong. Ini informasi berguna buat yang mau berbuat jahat.

Untuk kasus yang lebih ringan, si tukang ojek yang mengantungi nomor telepon pelanggannya bisa saja menggunakannya untuk sekadar menggoda si pelanggan. Mengirimkan pesan-pesan bernada menggoda sampai yang bernada mesum. Kemungkinan lainnya, nomor telepon pelanggan yang dikantongi bisa saja dijual ke pihak ketiga yang memang butuh database nomor telepon untuk kepentingan mereka.

Tak lama setelah kami berbincang soal isu privasi ini di sebuah grup WhatsApp yang saya ikuti seorang anggotanya melaporkan kalau dia sudah menjadi korban. Tengah malam dia mendapat pesan singkat dari seseorang yang mengaku adalah tukang ojek yang mengantarnya beberapa waktu yang lalu. Alasannya sederhana saja, dia lagi bete di malam minggu dan iseng saja mengirim pesan singkat. Buat perempuan, bukankah itu cukup mengganggu atau malah bisa dibilang sudah menakutkan?

Dari grup yang sama muncul informasi juga kalau sudah ada beberapa korban lainnya, dari yang hanya sekadar digoda, dimasukkan ke dalam grup WhatsApp tanpa ijin sampai yang dikirimi gambar mesum.

Ternyata ancaman itu memang ada!

*****

CERITA DI ATAS HANYA SATU CONTOH KECIL betapa mudah privasi kita terpapar di dunia maya dan jadi santapan orang lain. Privasipun sebenarnya masih jadi area abu-abu bagi kita orang Indonesia, tidak atau belum ada pagar yang jelas yang menentukan mana batas yang bisa disebut sebagai privasi bagi kita orang Indonesia.

Warren, S., and Brandeis, L. (1890). “The Right to Privacy.” dalam Harvard Law Review, 4, 193 mengatakan kalau privasi adalah “hak untuk dibiarkan sendiri” dalam artian tidak diganggu oleh orang lain dan kepentingan lain. Penjelasan itupun masih tetap abu-abu dan tentu saja multi interpretasi.

Privasi memang jadi isu yang makin menghangat beberapa tahun belakangan ini, apalagi ketika internet makin menjadi sesuatu yang jamak bagi manusia modern. Federal Trade Commission (FTC) mengadakan studi di tahun 1999 yang mencatat bahwa 92.8 situs mengumpulkan minimal satu macam data pribadi penggunanya. Baik itu nomor telepon, alamat rumah atau data pribadi lainnya. Studi itu dilakukan tahun 1999 ketika internet belum sejamak sekarang.

Data pribadi memang lebih banyak dicuri untuk keperluan marketing. Beberapa situs jual-beli menggunakan data pribadi pelanggannya untuk menambah data base  yang kelak bisa digunakan untuk keperluan bisnis mereka. Bukan hanya situs jual-beli sebenarnya, situs-situ media sosialpun menggunakan data para penggunanya untuk membuat analisa yang bisa dimanfaatkan sebagai sarana beriklan. Sayangnya, proses pengumpulan data itu tidak semuanya dipaparkan kepada pelanggan.

Di dalam sebuah grup WhatsApp yang saya ikuti pernah pula hadir perbincangan tentang sebuah aplikasi di sistim operasi android yang memaparkan dengan jelas data kependudukan selengkap-lengkapnya. Di aplikasi itu kita bisa mencari data seseorang berdasarkan nomor induk kependudukannya. Semua lengkap seperti melihat langsung KTP orang itu.

Untuk warga biasa, isu privasi memang masih belum terasa mengganggu. Mereka yang habis mengecek barang di sebuah situs jual-beli tenang-tenang saja ketika beberapa menit atau bahkan beberapa jam kemudian melihat iklan barang sejenis yang mereka cari di situs-situs media sosial. Isu privasi masih dianggap isu yang jauh dan menyasar orang-orang penting dengan tingkat kepentingan informasi yang lebih besar.

Kita pengguna internet biasa dan tidak merasa sebagai orang penting harusnya mulai memasang alarm untuk isu-isu privasi ini. Semakin hari isu ini semakin menggelinding bak bola salju. Penggunaan data privasi untuk keperluan marketing hanya puncak gunung es, di bawahnya masih banyak ragam penyalahgunaan privasi yang bersumber dari dunia maya.

Mungkin suatu saat nanti kita akan benar-benar kaget ketika melihat data-data pribadi kita dipapar dengan bebas di dunia maya. [dG]