Netizen Dikepung Polisi

Suasana obrolan santai netizen & polisi
Suasana obrolan santai netizen & polisi

Senin malam (2/3) puluhan polisi memenuhi Kedai Pojok Adhyaksa. Bukan, mereka bukan hendak menyerbu atau menangkapi penjahat. Mereka bahkan dengan santai mengobrol bersama netizen Makassar.

Beberapa waktu lalu walikota Makassar mengeluarkan pernyataan yang dikutip media lokal Makassar. Dalam pernyataannya Danny Pomanto menyebut netizen Makassar sebagai provokator karena menyebarkan dan menyebabkan tagar #MakassarTidakAman menjadi trending topic di Indonesia. Menurut walikota, tagar itu membuat wajah Makassar tercoreng. Walikota Makassar bahkan rencananya meminta kapolrestabes Makassar untuk menangkap penyebar tagar tersebut.

Netizen Makassar sempat heboh menanggapi berita itu, kata-kata walikota dianggap sebagai sebuah tuduhan tidak berdasar dan sulit diterima akal sehat. Alih-alih menangkap penyebab kejahatan jalanan, walikota malah berencana menangkap warganya yang mengeluh.

Ketika berita itu heboh, seorang netizen di Jakarta bernama Bunda Judith berinisiatif mempertemukan netizen di Makassar dengan jajaran polisi setempat. Beliau kebetulan juga punya ikatan erat dengan polisi dan menganggap polisi serta netizen adalah keluarganya. Tujuannya tentu membuat keluarga ini akur dan tidak saling mencurigai.

Lalu Senin 2 Maret bertempat di Kedai Pojok Adhyaksa pertemuan itu digelar. Komunitas blogger Makassar; Anging Mammiri sepakat menjadi tuan rumah. Di pihak polisi datang beberapa orang pejabat kepolisian mulai dari Kabid Humas Polda Kombes Endi Sutendi, Kabid Intel Polda Kombes Baharuddin Jusuf, kepala unit sabhara dan beberapa kapolsek.

Saya mengambil alih tugas sebagai moderator, sekadar mengarahkan acara agar tidak sampai melebar kemana-mana.

Pertanyaan pertama saya kepada pak Endi adalah; benarkah Makassar memang tidak aman? Atau jangan-jangan ini hanya karena ada media yang rajin memberitakan tentang ragam kejahatan jalanan tersebut?

Kombes Endi Sutendi yang malam itu datang tanpa seragam polisi menjelaskan bahwa secara jumlah tingkat kejahatan jalanan memang menurun. Bulan Januari 2015 jumlah laporan ada 18, tidak sebanyak bulan sebelumnya Desember 2014 yang berjumlah 24 laporan. Meski begitu beliau juga tidak menutup mata bahwa bisa saja jumlah kejadian memang lebih banyak karena ada korban-korban yang tidak melapor.

Saya juga berusaha menjelaskan kepada beliau-beliau ini bahwasanya tagar #MakassarTidakAman muncul secara spontan akibat rasa kuatir dan resah warga melihat kejadian-kejadian di sekitar mereka. Tagar Makassar Tidak Aman muncul pertama kali di Facebook sebelum kemudian menyebar ke Twitter. Saya juga pernah menggunakan tagar itu, tapi kemudian atas pertimbangan dan masukan dari teman-teman tagar itu tidak pernah saya gunakan lagi.

Saya meyakinkan pak Endi dan bapak-bapak polisi lainnya yang datang malam itu bahwa tagar #MakassarTidakAman murni karena spontanitas saja, bukan karena pesanan atau agenda lainnya. Soal apakah ada pihak yang memanfaatkannya saya juga tidak menutup mata. Itu sangat bisa terjadi, tapi tentu tidak bijak kalau memukul rata bahwa itu semua adalah kerjaan netizen.

Belakangan saya dan beberapa teman-teman lintas komunitas sepakat untuk menggunakan tagar #MakassarHarusAman yang terkesan lebih positif dan berisi harapan tanpa memanipulasi kejadian yang sebenarnya.

Polisi Perlu Belajar Sosmed

Menyikapi maraknya cerita atau berita di media sosial, bapak Kabid Intel Kombes Baharuddin Jusuf yang juga datang dengan busana santai mengakui kekurangan mereka dalam memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan informasi dan menjalin komunikasi dengan warga atau netizen.

Salah satu buktinya adalah ketika kasus penikaman di Jl. Veteran bisa diungkap, berita tentang pengungkapan dan penangkapan tersangka tidak terekspos dengan cepat seperti ketika peristiwa itu terjadi. Akibatnya warga masih mengira-ngira, benarkah kasus itu selesai atau jangan-jangan menguap begitu saja? Belakangan bahkan muncul berita kalau pelaku yang ditangkap hanya mendekam di penjara selama 4 hari sebelum dilepaskan oleh polisi. Berita yang dengan cepat dibantah oleh pak Bahar.

Menyikap hal ini, saya dan beberapa netizen yang hadir sepakat untuk mendampingi polisi di Makassar belajar tentang penggunaan media sosial. Media sosial tidak bisa dilepas begitu saja di jaman sekarang, naif kalau kita tidak memanfaatkannya. Apalagi untuk urusan yang sebenarnya menyangkut kepentingan umum.

Beberapa netizen yang hadir memang menekankan pentingnya menggunakan media sosial untuk sarana informasi, utamanya bagi polisi agar mereka juga bisa dengan cepat menginformasikan kegiatan mereka. Bagi warga, media sosial bisa jadi tempat yang tepat bagi mereka mengadukan persoalan atau masalah mereka, utamanya yang menyangkut keamanan.

Pertemuan malam itu bukan untuk mencari siapa yang salah, tapi mencari cara terbaik agar bisa jalan bersama-sama menciptakan Makassar yang lebih aman dan nyaman. Polisi dan warga tentu punya kesamaan tujuan, hanya memang dalam pelaksanaannya ada komunikasi yang belum tersambung. Komunikasi inilah yang coba dibangun lewat pertemuan malam itu.

Tentu tak elok melihat ada pejabat publik yang menuding netizen sebagai provokator dan tentu tak nyaman pula jika ada warga yang tidak menghargai kerja aparat padahal dua hal itu muncul hanya karena ada informasi yang tidak tersampaikan dengan baik.

Angin segar terasa malam itu. Meski terkesan polisi mengepung netizen tapi suasana baik-baik saja, jauh dari kesan mencekam dan bahkan kami bisa mengobrol dengan santai bersama bapak-bapak pejabat polisi dan jajarannya. Semoga saja memang setelah obrolan malam itu akan ada solusi terbaik untuk kota Makassar. [dG]