Jangan Jadi Bagian Jempol Murahan
Jempol Murahan, istilah teman-teman di grup Loenpia pada mereka yang gampang sekali menyebarkan sesuatu di media sosial.
PEKAN INI ADA DUA BERITA yang cukup heboh di media sosial Indonesia. Sebagian besar pengguna mungkin sudah tahu, bahkan mungkin jadi salah satu yang ikut berpartisipasi dalam kehebohan itu.
Kehebohan pertama adalah ketika seorang ibu dengan penuh percaya diri merekam adegan yang disangkanya sebagai adegan percintaan sesama jenis. Adegan itu direkamnya dengan handphone dan disebarkan ke media sosial. Sontak, rekaman itu menjadi viral, disebarkan pengguna media sosial lain, diliput media daring dan tentu saja tidak luput dikomentari. Komentarnya pun pastilah lebih banyak komentar miring dan menghujat dua lelaki dalam video tersebut.
Belakangan terungkap kalau ternyata dua lelaki dalam rekaman video itu adalah saudara yang sudah lama terpisah dan baru bertemu lagi. Mereka meluapkan kebahagiaan dengan cara yang bagi sebagian besar orang Indonesia tidak lazim. Pantas saja kalau orang kemudian curiga mereka adalah sepasang kekasih, alih-alih saudara kandung.
Unggahan si ibu ini mendapatkan klarifikasi dari sebuah akun Facebook. Si pemilik akun menerangkan kalau pria yang ada di video yang viral itu adalah muridnya, setelah bertahun-tahun baru kali itu dia bertemu dengan saudaranya yang memang terpisah jauh. Pro kontra kemudian merebak, tentu tidak semua orang percaya pada klarifikasi itu. Video itu masih menyebar, lengkap dengan hujatan di sana-sini.
Situasi baru lebih tenang ketika si ibu pengunggah video itu bertemu dengan perwakilan keluarga dua lelaki yang divideokannya. Menurut pengakuan si ibu di akun Facebook-nya, dia percaya kalau mereka berdua memang bersaudara, dan akhirnya dia sendiri mengakui kalau dia salah. Dia salah karena terlalu berburuk sangka dan tanpa berpikir panjang menyebarkan video yang disangkanya sebagai praktik mesum sesama jenis di ruang publik.
Klarifikasi sudah disebarkan, permintaan maaf dari pengunggah pertama juga sudah dilontarkan, tapi apakah keadaan seketika menjadi normal kembali?
Belum tentu.
Dua lelaki yang divideokan itu pasti akan menanggung malu yang cukup membekas. Okelah mereka juga salah karena dianggap melanggar etika di Indonesia, melakukan sesuatu yang dianggap tidak pantas dilakukan di negeri penuh sopan santun seperti Indonesia. Negeri yang tidak pernah memberi ruang kepada orang untuk menyebarkan kebencian, berteriak mengumpat apalagi menyuruh membunuh orang. Makanya kedua lelaki itu dianggap salah.
Masalahnya, si ibu yang pertama memvideokan aksi mereka sudah langsung percaya pada asumsinya sendiri tanpa melakukan cek dan ricek. Plus, dia sudah langsung menyebarkan video itu disertai dengan asumsinya sendiri, kebetulan juga isunya sedang hangat dan seperti makanan yang dilempar ke kandang singa, video itu disantap oleh orang-orang yang kelaparan sensasi.
Klop sudah!
*****
KEHEBOHAN INI SEMPAT JADI OBROLAN SINGKAT di grup WA bloger Semarang, Loenpia. Beragam tanggapan bermunculan, tapi sebagian besarnya menyayangkan sikap si ibu yang menjadi pemicu kehebohan ini.
Niatnya memang baik, hendak menjadi polisi moral, meluruskan sesuatu yang dianggapnya salah. Tapi, niat baik tidak cukup kalau dilakukan bukan dengan cara yang baik juga. Seperti di kasus itu, salah-salah malah jadi bumerang yang merugikan orang lain dan merugikan diri sendiri. Dua pria di video itu menderita malu dan mungkin depresi, si ibu pun akhirnya jadi bulan-bulanan di media sosial. Mungkin untuk waktu yang cukup lama.
Sekarang memang ada kecenderungan kita begitu mudah menggunakan jempol kita di media sosial. Dari membuat konten, membagikan konten sampai sekadar memberi Like pada sebuah konten yang kita sukai. Kemudahan-kemudahan itu kita nikmati tanpa berpikir panjang, apalagi berpikir tentang efeknya.
Apakah konten yang kita buat ini sudah sesuai fakta? Apakah konten yang kita bagikan ini bukan hoaks? Apakah Like yang kita tekan itu karena memang kontennya sesuai fakta atau hanya karena sesuai dengan pikiran kita?
Pikiran kritis jadi tidak lazim digunakan, informasi yang datang otomatis diolah menjadi konten baru atau dibagikan, atau sekadar di-Like. Kita tidak mau repot menggunakan otak kita untuk mempertanyakan informasi itu, mengkritisinya atau bahkan menolaknya. Pokoknya kalau sesuai dengan prasangka kita, ya sudah! Itulah kebenaran. Soal ternyata di belakang hari informasi itu salah atau cuma hoaks, ya maaf. Namanya saja manusia, tempatnya salah dan khilaf.
Di Loenpia, teman-teman mengistilahkan kebiasaan ini sebagai: Jempol Murahan. Jempol dengan sangat murahannya dipakai membuat konten yang belum tentu benar, dipakai untuk menyebarkan konten yang tidak benar atau sekadar me-Like konten yang tidak benar. Saking murahnya, jempol bergerak jauh lebih cepat dari otak. Padahal harusnya sebaliknya, otak yang memerintahkan jempol bergerak. Tapi pelaku Jempol Murahan tidak, jempol bergerak dulu barulah otak bergerak belakangan. Itupun kalau sempat.
Baca juga: Media Sosial dan Framing Isu di Indonesia
Ironis bahwa Tuhan menciptakan jempol dengan segala kesempurnaannya, tapi sayangnya kita kadang membuatnya sangat murahan. Digunakan seenaknya saja tanpa dipertimbangkan untung-ruginya, apa manfaatnya, baik-buruknya. Pokoknya benar-benar Jempol Murahan deh. Jauh lebih murah dari smartphone yang dipakai.
Idealnya, sebuah informasi harus diolah dulu, dicek kebenarannya. Pokoknya jempol dibuat mahal dulu, ditahan jangan dipakai dulu sebelum pasti kalau informasi itu memang benar. Pikirkan selalu efek yang akan timbul dari Jempol Murahan, baik efek buat orang lain maupun efek buat diri sendiri.
Idealnya seperti itu, tapi praktiknya memang susah. Saya pun pernah juga menjadi pelakon Jempol Murahan itu.
Tahun 2017 sebentar lagi akan berakhir. Tahun yang baru akan menyingsing. Semoga saja segala kehilafan dan kekurangan di tahun ini bisa diperbaiki di tahun yang akan datang. Semoga saja jempol kita akan semahal otak yang kadang jarang dipakai ini. Semoga ya. [dG]
jempol ku mahal daeng buat nulis komen ini.. *congkak wkakak..
iya itu kasihan dua kakak adik akhirnya jadi viral karena ulah si ibu 🙁
syukurnya karena akhirnya komen juga ya hahaha
duh password blog ku lali
Hampir semua berita di WA itu banyak yang HOAX, dan kadang yang saya bingungkan yang share kadang malah orang yang berpendidikan tapi paling sering di group keluarga, haduuh, Alhamdulillah jarang keluar jempol di WA.
itu jadi tantangan kita semua tuh
utamanya menyadarkan mereka yang lebih tua dan lebih berpendidikan
ini tulisan mencerdaskan pembacanya , terima kasih
terima kasih Koh Herry
Pelaku jempol murahan mungkin perlu rajin belajar catur kilat, supaya lebih menggunakan kecepatan otak dari pada kecepatan tangan 😀