Buku Anging Mammiri, Jejak Makassar Tempo Dulu

Buku Anging Mammiri

Sebuah buku yang berisi catatan memori seorang warga tentang kota Makassar, mencatat dan menceritakan banyak hal yang berubah dari kota ini.

ANTARA SEPTEMBER – NOVEMBER 1856, Alfred Russel Wallace – seorang naturalis asal Inggris – menjejakkan kakinya di kota Makassar. Dia singgah sebentar sebelum melanjutkan perjalanan ekspedisinya yang terkenal itu. Dalam persinggahan yang tak seberapa lama itu, Wallace menuliskan kekagumannya akan kota Makassar.

Terang-terangan Wallace menobatkan Makassar sebagai kota tercantik di Indonesia bagian timur yang dibangun oleh Belanda. Rumah-rumah penduduk tertata dengan rapi, jalanan disiram setiap sore dan sampah dikelola dengan baik. Dalam catatannya di buku Malay of Archipelago Wallace menuliskan sebagai berikut:

“Jalan-jalan dijaga agar bersih dari sampah, pipa-pipa bawah tanah membawa semua kotoran dan mengalirkan ke saluran penampungan terbuka. Air kotor akan masuk ke penampungan saat arus pasang dan hanyut saat surut,”

Tidak bisa dipungkiri kalau masa itu Makassar memang jadi salah satu kota tercantik di Indonesia.

Makassar dalam sejarahnya memang kota yang dibangun oleh Belanda segera setelah berhasil menaklukkan kerajaan Gowa-Tallo tahun 1667. VOC kala itu mengambil alih benteng Jumpandang, meratakannya dengan tanah dan membangun kembali benteng yang baru dengan nama Fort Rotterdam.

Selama ratusan tahun hampir tidak ada perkembangan berarti di wilayah sekitar Fort Rotterdam. VOC – dan kemudian pemerintah Belanda – masih terlalu takut untuk keluar benteng. Perkembangan berarti baru terjadi di pertengahan abad 19 ketika daerah di sekitar Fort Rotterdam mulai menggeliat menjadi perkampungan yang ramai. Belakangan daerah ini menjadi kota metropolitan seperti yang kita kenal sekarang.

Makassar memang berkembang sangat pesat dari tahun ke tahun. Orang Bugis-Makassar yang jadi penghuni mayoritas kota ini memang dikenal sebagai orang-orang yang dinamis dan mudah menerima pengaruh dari luar. Itu pula yang memengaruhi perkembangan kota ini hingga menjadi salah satu kota paling ramai dan paling maju di bagian timur Indonesia.

Perubahan yang cepat tentu meninggalkan banyak kenangan. Kebiasaan, perilaku atau budaya sedikit banyaknya pasti ikut berubah. Perubahan ini menghilangkan banyak hal dan mengubahnya menjadi sekadar ingatan atau kenangan.

Ini pula yang coba ditulis oleh seorang warga bernama Abdul Rasyid Idris. Beliau adalah salah satu warga kota Makassar yang sudah puluhan tahun tinggal di kota ini, menjadi saksi banyaknya perubahan yang terjadi di Makassar. Beliau besar di sekitar Pasar Butung tak jauh dari pelabuhan Soekarno – Hatta di bagian barat kota. Daerah ini dulunya dikenal sebagai pusat kota Makassar sebelum kota ini semakin membesar di dekade 80an sampai sekarang.

Baca Juga: Jejak-jejak Tionghoa di Makassar

Ingatan-ingatan tentang Makassar ini lalu dituangkannya dalam 78 tulisan yang dirangkum dalam satu buku berjudul: Anging Mammiri – Jejak Makassar Tempo Dulu. Buku setebal 306 halaman ini diterbitkan oleh Nala Cipta Litera.

Cerita dalam buku ini berkelindan di antara kenangan perihal tempat, sosok, kuliner dan fenomena. Beberapa di antaranya bisa dengan cepat saya kenali karena masih sempat pula saya dengar atau alami di masa kecil. Misalnya bab Tanta Gode’ (hal.9) yang menceritakan salah satu lelucon khas anak-anak zaman dahulu kala melihat perempuan bertubuh subur di atas becak. Cerita lain yang juga saya akrabi adalah cerita tentang Lotto (hal.121), sebutan untuk judi sejenis togel di jaman sekarang. Almarhum kakek adalah salah satu orang yang paling keras menentang Lotto ini, bahkan konon meninggalnya juga ada kaitannya dengan usaha perlawanannya itu.

*****

BUKU INI MENURUT SAYA PUNYA POTENSI kekuatan yang besar. Tidak banyak warga yang mau menuliskan serpihan-serpihan kenangannya akan kota tempatnya hidup. Dari cerita di buku ini seharusnya kita bisa menilai sendiri perubahan apa yang terjadi di kota ini, siapa yang jadi korbannya dan bagaimana hasil dari perubahan itu.

Sayangnya, buku ini gagal karena beberapa faktor.

Pertama dan paling mendasar adalah banyaknya kesalahan penulisan. Untuk sebuah buku yang dicetak dan menggunakan kertas sebagai bahan dasarnya, hal ini tentu saja sangat saya sayangkan. Kesalahan penempatan kata “di”, penggunaaan kata “saman” alih-alih “zaman”, penggunaan huruf kecil di depan kata tempat dan hari, tidak konsisten menggunakan “aku” dan “saya” serta banyak lagi.

Kesalahan-kesalahan kecil ini sangat mengurangi kenikmatan saya membaca. Sebagai seseorang yang sangat freak untuk urusan ini saya sampai merasa perlu membawa pulpen ketika membaca buku ini. Kesalahan-kesalahan itu saya tandai dengan pulpen dan percayalah, tandanya sangat banyak.

Kedua, saya menyesalkan pilihan penulis menggunakan “Aku” sebagai kata ganti orang pertama. Pemilihan ini serta merta membuat saya merasa jauh dengan topik yang dibicarakannya. Bukan apa-apa, orang Makassar tidak akan pernah menggunakan “Aku” sebagai kata ganti orang pertama, dan ketika ada yang menggunakannya maka dia ibarat orang lain yang berjarak.

Ironis bahwa cerita tentang Makassar justru dimulai dengan pemilihan kata ganti yang – buat saya – kurang tepat. Mungkin akan berbeda kalau buku ini adalah buku fiksi.

Ketiga, buku ini miskin deskripsi dan detail. Penulis entah terlalu malas atau menganggap semua orang sudah tahu, jadi terjebak untuk bercerita apa adanya tanpa berusaha memasukkan detail apalagi deskripsi.

Kita akan kesulitan menemukan keterangan waktu dalam beragam cerita di buku ini, akibatnya kita hanya mengandalkan perkiraan soal latar kejadian. Deskripsi tempat pun sangat miskin, seolah-olah penulis menganggap semua orang yang membacanya pasti tahu lokasi yang dia ceritakan. Buat saya mungkin tidak masalah karena beberapa tempat memang masih bisa saya kenali, tapi bagaimana dengan pembaca muda yang mungkin saja tidak tahu lagi lokasi tempat yang dimaksud di buku ini? Bagaimana dengan orang yang bukan orang Makassar? Mereka pasti akan kehilangan arah dan gagal memahami konteks lokasi dan waktu kejadian.

Di sisi lain, penulis juga tidak berusaha memasukkan detail yang saya anggap perlu. Misalnya di bab Patompo. Sebagian besar orang Makassar yang berumur di atas 30 mungkin sudah kenal siapa Patompo, minimal mendengar namanya sebagai salah satu walikota legendaris Makassar. Tapi bagaimana dengan pembaca di bawah usia itu? Penulis tidak berusaha memasukkan sedikit detail dan keterangan tentang Patompo, minimal latar belakang singkat dan masa jabatannya. Nihil.

Keempat, penulis sering sekali kehilangan fokus cerita. Saya ambil contoh bab Tuan Guru (hal.13). Cerita ini dibuka dengan adegan pesan tentang meninggalnya guru sang penulis yang juga termasuk salah satu orang yang dihormati di kota Makassar. Sampai di sini saya berharap cerita ini akan banyak bercerita tentang almarhum sang guru, atau minimal tentang bagaimana rupa-rupa guru di zaman dahulu bila dibandingkan dengan guru di zaman sekarang.

Sayangnya itu tidak terjadi. Penulis justru terjebak bercerita tentang makam Pangeran Diponegoro, buku yang akan dikirim ke Gorontalo sampai kantor pos besar Makassar. Terus terang saya jadi bertanya-tanya; bab ini mau menuliskan almarhum guru si penulis atau mau bercerita tentang apa?

Sayangnya lagi, kekurangan seperti itu kerap terjadi di bab-bab lainnya.

Betul, saya sangat menyayangkan bahwa buku ini tidak digarap maksimal, tidak melalui proses editorial yang ketat. Kalau membandingkannya dengan buku catatan warga seperti Makassar Nol Kilometer (1 dan 2) serta buku Makassar di Panyingkul! maka saya rasa buku ini kalah jauh. Dua buku itu melalui proses editorial yang ketat sehingga hasilnya pun sangat berkualitas.

Buku ini ibaratnya kekuatan super setingkat Superman tapi tidak digunakan maksimal. Buku ini sangat potensial untuk dijadikan rujukan studi tentang dinamika kota, utamanya kota Makassar. Tapi sayang, buku ini seperti berhenti sebelum sampai di garis akhir.

Meski begitu, buku ini tetap layak untuk dimiliki. Setidaknya ada banyak cerita kenangan yang bisa ditemui di buku ini. Kenangan yang memberi gambaran betapa kota ini berubah tanpa menyertakan warganya. Seperti kata Nurhady Sirimorok; kota ini dibangun untuk mesin, bukan untuk manusia. [dG]