Jangan Ada Ego Di Antara Kita

Suasana perayaan ulang tahun ke-7 Anging Mammiri
Suasana perayaan ulang tahun ke-7 Anging Mammiri

Tahun 2013 saya mengambil satu keputusan penting buat komunitas, mengundurkan diri dan menyerahkan tongkat estafet ke teman yang lain. Ada cerita di baliknya, cerita tentang ego yang harus saya redam.

Ketika pertama diberi kepercayaan memimpin komunitas blogger Makassar, Anging Mammiri saya tidak tahu sama sekali apa yang harus saya lakukan. Saya belum terlalu lama bergabung di Anging Mammiri dan termasuk jarang ikut berkumpul bersama para pegiat. Sampai kemudian perlahan-lahan saya mulai bisa meraba apa yang harus saya lakukan.

Bagusnya karena komunitas kami masih punya banyak orang yang mau bekerja sama dan mencintai komunitas ini tanpa syarat, dan itulah yang kami jadikan bahan bakar. Kecintaan yang besar dicampur dengan kebebasan berpendapat dan kemauan untuk bekerjasama, pas untuk menjalankan roda komunitas.

Awalnya saya berpikir ideal, membuat divisi-divisi lengkap dengan penanggungjawabnya, membuat program kerja yang serius, pokoknya seperti bagaimana seharusnya sebuah organisasi berjalan. Sampai kemudian saya (dan teman-teman) sadar, kita tidak bisa jalan dengan gaya seperti itu. Komunitas ini cair, besar hanya karena banyak orang yang mencintainya. Bukan karena banyak aturan dan banyak struktur.

Dalam perjalanannya, struktur yang sudah dibuat memang nyaris tidak berjalan. Programpun berjalan tidak sama persis seperti yang sudah disusun di awal tahun. Tak mengapa karena toh kami tetap bisa berjalan dengan beragam kegiatan yang memberi tanda kalau kami masih ada.

Sebagai ketua rupanya memberi pelajaran lain buat saya. Beberapa kali saya secara tidak sadar memutuskan sesuatu sendirian tanpa berkomunikasi dengan para pegiat lainnya. Ego, itu dia penyebabnya. Maklum, posisi sebagai ketua sekaligus sebagai orang yang usianya di atas rata-rata pegiat lainnya membuat saya kadang merasa kalau saya berhak menentukan arah komunitas ini sendirian.

Makin lama saya juga makin merasa figur saya makin besar dan membayangi komunitas ini. Menyebut Anging Mammiri pikiran orang mungkin akan langsung tertuju ke saya. Mau berhubungan dengan Anging Mammiri, maka sayalah orang pertama yang akan dihubungi. Singkatnya, saya adalah Anging Mammiri dan Anging Mammiri adalah saya.

Sampai kemudian saya merasa hal ini tidak sehat.

Komunitas lahir dan tumbuh karena banyak orang di dalamnya yang bekerja bersama-sama. Kami bukan partai politik yang memang butuh figur kuat untuk bisa terus jalan. Kami adalah kumpulan orang-orang kurang kerjaan yang bekerja untuk komunitas karena kami cinta, bukan karena kami ingin mencari kekayaan. Saya hanya satu bagian, bukan bagian terbesar.

Dan akhirnya saya memutuskan saya harus mundur, harus memberi jalan kepada teman yang lain untuk naik ke panggung dan menerima sorotan yang sama seperti yang pernah saya terima. 3 tahun 6 bulan sepertinya sudah cukup sebelum ego saya makin membesar dan membuat komunitas jadi tidak sehat. Syukurnya karena proses transformasi meski tidak berjalan mudah tapi akhirnya bisa jadi kenyataan juga. Sekali lagi terbukti kalau komunitas kami masih punya orang-orang yang mencintainya, bukan hanya saya seorang.

Menyingkirkan Ego

Selama sekisar 7 tahun bergaul di komunitas saya dapat satu pelajaran penting: ego besar bisa mematikan komunitas. Setahu saya, komunitas berisi orang-orang dengan level yang sama, kontribusi yang sama dan sama sekali tidak ada ikatan ketat. Semua orang bisa datang dan pergi sesuai hasrat dan kesamaan yang mereka punyai. Satu figur dengan ego yang terlalu besar bisa membuat komunitas jadi seolah-olah milik satu orang dan sisanya hanya sebagai pelengkap.

Saya membayangkan, seandainya saya salah satu founder Anging Mammiri maka mungkin suasananya akan jadi lebih buruk. Founder, ketua dan salah satu orang tertua. Lengkaplah untuk jadi alasan memperbesar ego dan menguasai komunitas sepenuhnya. Syukurlah saya bukan founder, jadinya ego itu masih ada peredamnya.

Komunitas memang kadang butuh figur kuat untuk tetap membuatnya jalan, tapi seluruh anggota juga musti tahu batas besarnya figur itu. Terlalu besar bisa membuat figur lain jadi tenggelam dan hanya terlihat sekadar pelengkap. Pasti akan lebih elok jika ada lebih dari 1 figur yang juga ikut membesar dan saling melengkapi.

Satu lagi, komunitas yang baik (menurut pengalaman saya) adalah komunitas yang memberi ruang besar bagi anggotanya untuk saling berkonflik secara terbuka. Konflik terbuka kalau dikelola dengan baik dan diterima dengan hati lapang ternyata malah menyegarkan. Percuma membuat semuanya terlihat biasa-biasa saja tapi sesungguhnya ada api dalam sekam yang hanya menunggu waktu untuk berkobar dahsyat.

Kami sering berkonflik, anak-anak menyebutnya deramah. Tapi tak mengapa karena justru dari konflik-konflik kecil itu kami jadi makin sadar rambu-rambu yang harus kami hindari. Bekerjasama dan berkonflik bersama ternyata punya efek yang sama bagusnya untuk komunitas.

Prosesi penyerahan tongkat estafet
Prosesi penyerahan tongkat estafet

Menjelang akhir 2014 saya sudah resmi menyerahkan tongkat estafet komunitas pada Made, kawan lain yang saya yakin bisa menjalankan tugas dengan baik. Bukan hanya karena dia mampu, tapi karena dia punya banyak teman yang siap membantu. Meski tidak lagi berada di panggung tapi saya tetap ada di belakang panggung, menyusun program, menjalankan program dan tetap bekerjasama dengan teman-teman yang lain. Mungkin tetap akan berkonflik juga, apapun itu asal semua menyehatkan.

Selamat datang 2014, semoga tahun ini lebih cerah dari tahun sebelumnya. [dG]