Ini Soal Blokir, Bukan Soal Agama

Aish, kena blokir deh!
Aish, kena blokir deh!

Blokir kembali ramai dibicarakan di Indonesia. Kali ini lebih ramai lagi dari biasanya karena perbincangan meluas kemana-mana, bahkan sampai ke soal membanding-bandingkan dua kubu berbeda.

Dendam pilpres rupanya masih melekat kuat dalam ingatan banyak anak bangsa. Sampai-sampai ketika salah satu menteri era Jokowi melakukan kesalahan maka pendukung calon presiden Prabowo akan menari-nari mengejek pendukung Jokowi. Semua kesalahan ditimpakan ke para pendukung Jokowi yang dianggap ambil andil dalam menyengsarakan negeri ini.

Tapi tak mengapa, kalaupun keadaannya terbalik saya yakin pendukung Jokowi juga akan menari-nari mengejek pendukung Prabowo. Karena negeri ini sudah terlalu sesak oleh orang-orang yang mulai kehilangan kewarasan.

Kita ke soal blokir. Kali ini giliran situs-situs berlabel “ISLAM”?yang kena blokir. Alasannya berdasarkan surat dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ada 19 situs yang dianggap mengajarkan paham radikalisme yang bisa berpotensi memunculkan aksi terorisme.

Masalah jadi ramai ketika banyak orang dengan gelap mata menentang pemblokiran tersebut dan menghubung-hubungkannya dengan sentimen agama. Bahkan sudah ada yang menuding pemerintah sekarang ini sebagai pemerintah pengidap Islamophobia dan cenderung ingin memberangus ajaran Islam di Indonesia.

Di media sosial mulai beredar meme yang membandingkan Tiffatul Sembiring (menteri kominfo era sebelumnya) dengan Rudiantara (menteri kominfo era sekarang). Katanya jaman Tiffatul ada banyak situs porno diberangus dan diblokir sementara di jaman Rudiantara justru situs Islam yang diberangus. Sepintas meme ini bisa dianggap sebagai penggiringan opini yang membedakan dua menteri di dua era yang berbeda dengan menggunakan akidah sebagai pembedanya.

Satu benci pornografi, satunya lagi benci Islam.

Buat saya terlalu dangkal kalau urusan seperti ini kemudian hanya disempitkan pada kesimpulan seperti itu. Buat saya dua-duanya sama, sama-sama melakukan pemblokiran atau penapisan tanpa mekanisme yang jelas.

Urusan penapisan di Indonesia sampai hari ini memang masih karut-marut. Pemerintah yang diwakili oleh kementerian komunikasi dan informatika masih menjadi penguasa terbesar yang bisa memaksa ISP untuk menapis atau memblokir sebuah situs tanpa kita tahu prosedurnya seperti apa.

Masih ingat kasus Vimeo yang sampai sekarang blokirnya belum dilepas? Pemblokiran Vimeo terjadi di masa pemerintahan Tiffatul dan mendapat reaksi keras dari warga internet ketika itu. Alasan pemblokirannya karena Vimeo punya potensi menyebarkan pornografi karena aturan yang tidak terlalu ketat. Kalau menggunakan alasan itu berarti harusnya Facebook dan Twitter juga kena dong, toh di Facebook dan Twitter kita bisa dengan mudah menemukan konten pornografi.

Itu belum termasuk beberapa situs lain yang sejatinya bukan bermuatan pornografi tapi terkena imbas blokir juga hanya karena nama situs atau salah satu kontennya menggunakan kata kunci pemblokiran. Bahkan ada situs tentang ASI yang juga kena imbas pemblokiran, mungkin karena isinya banyak kata-kata payudara atau banyak foto-foto payudara ibu yang menyusui.

Nah hal yang sama dilakukan pemerintah yang sekarang. Memblokir situs karena dianggap membahayakan, dianggap menyebarkan paham radikalisme yang menyesatkan dan bisa menumbuhkan aksi terorisme.

Pertanyaannya; standar apa yang digunakan untuk mengklasifikasikan situs-situs tersebut sebagai situs berisi muatan radikal? Siapa yang berhak menentukan? Prosedurnya seperti apa?

Kalau semua hanya berpatokan pada surat dari BNPT atau keputusan menteri, wah repot. Suatu hari nanti akan ada ratusan atau mungkin bahkan ribuan website yang diblokir karena dianggap menyebarkan paham kegalauan atau kealayan.

Saya tidak setuju dengan blokir-blokiran, apalagi blokir-blokiran yang dilakukan tanpa mekanisme yang jelas. Tapi, menyempitkan blokir-blokiran dengan dikotomi beragama dan tidak beragama juga bukan sesuatu yang keren. Blokir yang tidak jelas apapun alasannya harus dikritisi tanpa perlu membawa sentimen agama.

Bagaimana dengan Anda? [dG]