E-Commerce Atau Konvensional?
Sekira dua puluhan tahun yang lalu untuk pertama kalinya saya melihat tayangan televisi berisi penawaran belanja lewat telepon. Barang yang ditawarkan bukan barang yang mudah ditemukan di toko atau swalayan biasa. Ulfa Dwiyanti yang kala itu sedang populer jadi brand ambassador untuk layanan jualan lewat telepon itu.
Meski awalnya agak aneh tapi toh cara berbelanja via telepon itu ternyata bisa bertahan lama. Kala itu rasanya seperti kebanggaan tersendiri ketika berhasil bertransaksi dan mendapatkan barang yang diincar. Maklum, kebiasaan baru yang masih dianggap mewah dan tidak biasa.
Masuk dekade 2000an perkembangan internet mulai meningkat pesat. Dari awalnya hanya media untuk mendistribusikan informasi kemudian bergeser ke fungsi-fungsi lainnya termasuk layanan ekonomis seperti berbelanja. Ragam laman muncul dengan tujuan menjajakan barang, baik sebagai distributor maupun sebagai perantara antara penjual dan pembeli. Orang menyebutnya e-commerce atau electronic commerce alias berbelanja dengan bantuan internet. Meski baru marak di Indonesia sekisar periode 2000an ternyata menurut Wikipedia cikal bakal e-commerce ini sudah ada sejak awal tahun 1970an.
Saya termasuk salah seorang yang mulai ketagihan berbelanja lewat dunia maya. Beragam kebutuhan saya beli lewat media online, mulai dari buku, DVD, pakaian sampai kamera DSLR dan asesorisnya. Alasan utama saya karena biasanya harga yang ditawarkan sedikit lebih murah dari harga di toko konvensional plus beberapa item memang tidak bisa ditemukan di toko konvensional.
Tapi meski peminat dan pelakunya semakin besar toh masih banyak juga orang yang menolak bertransaksi online. Alasannya beragam, dari mulai rasa kurang nyaman karena barang yang mau dibeli tidak bisa disentuh dan dilihat langsung sampai alasan takut tertipu. Alasan terakhir ini sepertinya jadi salah satu tantangan buat para pelaku e-commerce di Indonesia.
Internet memang menawarkan kemudahan dan kebebasan yang besar, termasuk bagi mereka yang memang punya niat jahat. Jadilah mereka ikut terjun ke dunia e-commerce berbekal niat jahat untuk mengumpulkan banyak uang dari cara-cara yang tidak halal. Modusnya juga beragam, mulai dari menjual barang dengan kualitas rendah tapi dikemas dengan tampilan menarik sampai yang benar-benar hanya mau menerima uang dari pembeli tanpa berniat mengirimkan barang.
Pengalaman dengan E-Commerce.
Saya lupa kapan pertama kali berbelanja secara daring (online) mungkin sekisar tahun 2008 dan kalau tidak salah ingat tempat pertama saya berbelanja secara daring justru dari situs Amazon. Dua keping DVD musik tiba di kantor 2 minggu setelah pemesanan dan itu jadi gerbang untuk pembelian-pembelian berikutnya.
Tapi daftar belanja terbanyak mungkin saya lakukan di toko buku online seperti Gramedia Online atau KutuKutuBuku pernah sekali juga saya melakukan transaksi di laman TokoBagus.com untuk membeli salah satu kaos yang saya incar. Tapi pembelian dengan nominal terbesar saya lakukan di laman Bhinneka dan Kaskus, keduanya dengan item yang harganya jutaan rupiah berupa kamera DSLR dan assesorisnya.
Saya memang belum pernah melakukan transaksi online yang besarannya sampai puluhan bahkan ratusan juta, karena itu pula saya agak kaget ketika menemukan laman seperti Lamudi yang menjual dan menyewakan properti dengan harga puluhan dan ratusan juta bahkan hingga miliaran rupiah. Rupanya perkembangan e-commerce sudah sejauh itu sampai rumahpun dijual secara online.
Jangan Kena Tipu
Selama aktif jadi penikmat e-commerce ada beberapa tips yang selalu saya pegang teguh agar tidak menjadi korban penipuan.
Pertama: saya selalu melihat reputasi penyedia layanan e-commerce. Toko besar dan sudah teruji tentu akan meminimalkan kerugian di pihak pembeli meski tidak selamanya juga benar. Ada juga toko besar dengan nama yang sudah terkenal tapi toh tetap saja membuat pembeli kecewa, biasanya karena layanan dari toko tersebut. Membangun reputasi bagi pelaku e-commerce memang butuh usaha besar dan jalan yang panjang. Cacat sedikit bisa berakibat fatal. Tips tambahan yang sering saya dapatkan adalah lebih percaya pada layanan yang menggunakan domain berakhiran co.id karena untuk memperoleh domain tersebut toko yang dimaksud harus menyertakan data lengkap perusahaan sehingga bila ada hal buruk yang terjadi kita bisa tahu siapa yang bertanggung jawab. Ini tentunya lebih pas untuk transaksi dalam jumlah besar.
Kedua: saya selalu menyempatkan diri membaca testimoni atau pengakuan dari orang lain yang sudah menikmati layanan e-commerce tersebut, baik testimoni di laman yang sama atau testimoni di media sosial atau laman lainnya. Untuk forum seperti KasKus lebih mudah lagi karena kita bisa tahu posisi si sales, apakah dia recommended sales atau bukan.
Ketiga: sebisa mungkin mencari pihak ketiga sebagai perantara pembayaran. Ini saya lakukan untuk transaksi yang nilainya jutaan rupiah. Mencari pihak ketiga sebagai perantara bisa meminimalkan kerugian pembeli dan penjual.Pembayaran baru dilakukan bila pembeli sudah menerima barang dan puas dengan kualitasnya.
Jaman memang makin berubah, dulu kita hanya mengenal belanja dan transaksi konvensional yang mempertemukan penjual dan pembeli, sekarang transaksi bisa dilakukan hanya dengan bantuan alat elektronik yang tidak perlu mempertemukan penjual dan pembeli. Dulu mungkin kita bisa membayangkan masa ini akan datang, tapi buktinya e-commerce, online shop atau apapun namanya sekarang menjadi salah satu bagian hidup orang modern. Semua ada untung-ruginya dan semua dikembalikan ke pembeli, mau pilih yang mana? Belanja konvensional atau e-commerce? [dG]