Dua Sisi Online Marketing

ilustrasi, sumber: neoman.com
ilustrasi, sumber: neoman.com

Beriklan di twitter atau media sosial adalah hal yang jamak. Tapi kalau berlebihan, kadang bisa jadi senjata makan tuan juga.

“Ah, biar enak produknya ndak mauja. Botnya mengganggu sekali.” Kata seorang kawan ketika kami membincangkan sebuah produk coklat asal kota Makassar. Produk yang kami maksud memang sangat ramai dibicarakan di Makassar beberapa bulan belakangan ini. Dua hal yang selalu berkaitan dengan produk ini, satu karena produknya memang unik dan nikmat. Dua, karena botnya yang sangat mengganggu di twitter.

Produk ini memang menggunakan twitter sebagai salah satu strategi promosi mereka. Selain menggunakan akun resmi mereka, ada juga beberapa akun lain yang ikut mempromosikan produk mereka. Selain karena (mungkin) dibayar, akun-akun tersebut juga secara sukarela mempromosikan karena suka dengan produknya atau kenal secara pribadi dengan pemiliknya.

Sampai di sini semua tidak ada masalah. Toh, praktek semacam itu adalah praktek yang jamak di masa ketika media sosial jadi bagian kehidupan orang modern. Masalah baru muncul ketika belakangan muncul akun-akun dengan gambar profil telur yang ikut mempromosikan produk coklat tersebut. Jumlahnya bukan hanya satu dan keaktifan akun-akun bot tersebut sangat tinggi.

“Tab mentionku sampai penuh dengan akun-akun botnya Chocolicious.” Kata Adnan Luffy, seorang kawan yang lain.

Bukan hanya Adnan yang merasa terganggu, sayapun terganggu ketika dalam sehari setidaknya tiga kali ada akun bot Chocolicious yang menyerbu tab mention saya. Teman yang lain juga sama, sama-sama kesal dengan kelakuan bot itu. Beberapa dari mereka dengan sengaja me-retweet tiap mention dari akun bot tersebut sambil ditambahi kata-kata yang menampakkan kekesalan.

Di sebuah grup chat kami juga pernah membahas sepintas tentang akun-akun bot produk cokelat itu. Sebagian besar memang merasa terganggu dan menyesalkan keputusan pemilik usaha cokelat itu menggunakan banyak akun bot.

Akun bot yang mengganggu
Akun bot yang mengganggu

Analoginya begini, kita sedang asyik mengobrol dengan kawan di sebuah kafe atau warung kopi. Saat sedang asyik-asyiknya mengobrol datang seorang sales barang menawarkan sesuatu. Pertama kali datang kita mungkin bisa maklum, toh itu memang kerjaan mereka. Tak ada masalah. Tapi, bayangkan kalau sales barang yang sama datang terus menerus dan berkali-kali, bukankah akhirnya kita jadi kesal juga?

Dua Sisi Yang Berbeda.

Fenomena akun Chocolicious Makassar ini bisa jadi hal yang menarik. Promosi melalui media sosial kalau tidak dikelola dengan baik malah bisa jadi sebuah senjata yang memakan tuannya sendiri. Buktinya, beberapa teman sudah antipati duluan setiap kali nama produk makanan cokelat itu disebut. Padahal beberapa teman yang lain mengakui kalau rasanya memang nikmat.

Beberapa pakar media sosial menyarankan bagaimana menggunakan media sosial untuk bisnis. Saran mereka, brand hendaknya lebih mengutamakan soft selling daripada hard selling di media sosial. Hal paling penting adalah bagaimana membangun engagement atau keterikatan antara brand dengan penggunanya atau membangun brand image positif. Berlebihan menggunakan media sosial sebagai sarana berjualan atau memilih melakukan hard selling terus menerus bisa berdampak buruk bagi image brand yang bersangkutan.

Saya selalu percaya, apapun di dunia ini kalau dilakukan secara berlebihan dampaknya bisa buruk. Medial sosialpun seperti itu, selain keuntungannya yang banyak kalau dilakukan secara berlebihan jadinya malah membuat tidak nyaman dan mungkin merugikan.

Bagaimana menurut Anda? [dG]