Bahayanya Media Daring

Lazy reporter
Lazy reporter
Ilustrasi

Beberapa bulan belakangan ini (atau mungkin sudah setahun belakangan ini) kesesatan-kesesatan yang dihadirkan pekerja media online rasanya semakin besar.

Dua puluh tahun lalu, mencari berita belum semudah sekarang. Kala itu kita masih bertumpu pada televisi, radio dan media cetak. Sebelum tv swasta muncul dan frekuensi radio masih di bawah pengawasan dan kendali pemerintah kita hanya punya satu sumber berita, tentu saja beritanyapun disesuaikan dengan keinginan pemerintah. Berita buruk buat mereka tentu tak layak disebar, sebaliknya berita gembira buat mereka harus disebar meski tak selamanya gembira buat rakyat.

Dan kemudian datanglah internet yang menawarkan banyak ragam fasilitas dan kemudahan. Orang-orang dengan mudah terhubung satu sama lain, beritapun dengan mudah tersebar secepat angin yang bertiup di musim badai. Apa yang terjadi di seberang lautan sudah bisa kita nikmati detik berikutnya. Pola sebagian orangpun mulai berubah, televisi, radio dan media cetak tidak jadi rujukan utama lagi dalam mencari berita. Toh semua sudah bisa kita baca dan nikmati hanya dari genggaman saja. Media konvensional hanya jadi pelengkap dari ragam berita yang sudah nikmati dengan bantuan internet, itupun kalau kita merasa butuh pelengkap.

Ketika kebutuhan orang akan informasi semakin besar, internet menawarkan kemudahan yang juga makin besar. Jejaring sosial sampai media daring tumbuh dengan cepat, dan dengan cepat juga jadi rujukan bagi orang-orang yang memang mencari dan butuh informasi. Masyarakat awam yang memang tak terlalu mengenal elemen-elemen jurnalisme makin tak paham, semua ditelan bulat-bulat seolah-olah apa yang ada di internet semata-mata adalah kebenaran.

Padahal tidak! Ada yang paham kalau kekuatan internet makin besar dan makin mudah digunakan untuk kepentingan tertentu. Maka muncullah mereka yang memang punya niat untuk menggiring opini, membentuk opini baru dan menyudutkan pihak tertentu. Internet dijadikan alat, toh tak semua orang yang memamah informasi di internet benar-benar paham kalau tak semua isinya adalah kebenaran.

Ada juga sebagian orang yang katanya wartawan tapi kemalasannya justru tidak menunjukkan mereka pantas menyandang gelar itu. Malas mencari klarifikasi, malas melakukan wawancara, malas melakukan investigasi dan malas mencari cara menaikkan kualitas tulisannya hingga kemudian mucullah berita dengan judul bombastis tapi tak nyambung dengan isi, atau tulisan panjang yang sebagian besarnya hanya salin-tulis dari laman lain. Lebih parah lagi, ada tulisan di laman berita yang isinya adalah asumsi atau opini dari penulis yang mengaku wartawan itu.

Kesesatan Yang Makin Subur

Beberapa bulan belakangan ini (atau mungkin sudah setahun belakangan ini) kesesatan-kesesatan yang dihadirkan pekerja media online rasanya semakin besar. Laman resmi koran lokal sampai laman resmi koran nasional sama saja, kalau bukan berisi berita dengan isi yang ringan dari cemilan paling ringan ya isinya berita yang sebagian adalah penggiringan opini.

Kita ambil yang ringan dulu. 9 Maret 2014 yang lalu di laman berita daring Tribunnews Makassar dirilis sebuah berita yang diberi judul: Inilah Kronologis Perkelahian Maut di Jl Pampang II Makassar. Setelah dibaca, ternyata isi dari berita itu sama sekali tidak menyinggung tentang kronologis perkelahian di Jl. Pampang tersebut. Isinya justru menceritakan apa yang terjadi setelah perkelahian itu. Menurut KBBI, kronologi adalah: berkenaan dng kronologi; menurut urutan waktu (dl penyusunan sejumlah kejadian atau peristiwa), artinya jika merujuk ke judul maka cerita yang harusnya ditampilkan adalah cerita yang menyebabkan terjadinya perkelahian maut itu, bukan cerita setelah terjadinya perkelahian maut itu.

Sekarang coba kita cek berita lainnya. 22 November 2013 yang lalu Front Pembela Islam (FPI) melakukan demo besar-besaran di depan kedubes Australia untuk memprotes tindakan negeri tetangga itu yang melakukan penyadapan ke sejumlah pejabat pemerintah Indonesia. Dalam demonstrasinya, ormas yang memang sepertinya punya banyak musuh ini membakar dua bendera, bendera Australia sebagai sasaran demo dan bendera Amerika Serikat yang memang dianggap sebagai sekutu utama Australia.

Sayangnya karena banyak media daring yang hanya menuliskan berita bahwa FPI membakar bendera AS di depan kedubes Australia. Karuan saja berita ini jadi magnet cibiran dari para pengguna media sosial dan penikmat berita daring. FPI dianggap goblok tidak karuan, demo di depan kedubes Australia tapi membakar bendera AS? Jelas ini mudah sekali memancing tawa bagi mereka yang memang sudah tidak suka pada ormas satu ini.

Dari sekian banyak media daring yang mengangkat berita itu saya hanya mendapatkan satu media daring yang menulis dengan tepat: SELAIN membakar bendera Australia, FPI juga membakar bendera Amerika Serikat. Ingat, ada kata SELAIN yang mengisyaratkan kalau FPI membakar dua bendera dan bukan hanya satu seperti yang diberitakan media daring lainnya.

Terakhir, ini yang paling baru. Sebuah berita menghebohkan pernah muncul sekisar tahun 2006 kala seorang lelaki tua yang juga calon anggota legislatif membasuh kaki Megawati dan kemudian meminum bekas cucian kaki tersebut. Tahun 2006 berita ini sudah heboh dan sekarang sudah mulai dilupakan orang. Herannya menjelang Pemilu 2014 berita ini kembali merebak di media sosial dan dibincangkan orang. Lebih heran lagi karena sebuah media daring yang namanya besar justru menaikkan tulisan ini tanpa memberi keterangan kalau kejadian ini sudah terjadi nyaris 8 tahun yang lalu.

Sepintas orang yang mudah lupa atau memang tak tahu kejadian ini 8 tahun lalu tentu mengira kejadian ini baru terjadi sekarang dan tentu saja sekali lagi cemoohan dan tudingan bernada jijik meluncur deras. Entah apa maksud si media daring itu, apakah memang sang wartawan dan editor yang menayangkan berita itu di medianya termasuk orang-orang pemalas yang tak tertarik melakukan klarifikasi dan cross check ataukah mereka termasuk orang-orang yang dibayar demi tujuan tertentu?

Tiga contoh di atas hanya sedikit dari banyaknya cacat dan kekurangan berita-berita yang muncul di media daring sekarang. Lupakan soal etika jurnalisme atau elemen-elemen jurnalistik, semua itu tidak penting lagi karena yang jadi tujuan utama adalah jumlah kunjungan di media daring mereka. Karena itulah kecepatan kemudian mengalahkan ketepatan, tidak peduli beritanya memang tepat yang penting bisa tayang dengan cepat dan potensial mengundang banyak kunjungan dari pengguna internet.

Tinggallah kira para pengguna internet ini yang harus meningkatkan kewaspadaan. Tidak semua berita daring itu benar, tidak semua laman berita daring itu dikendalikan oleh orang-orang yang mau bersusah-susah mencari, mengumpulkan dan menyebarkan informasi yang benar. Media daring kadang dikuasai oleh mereka yang pemalas dan punya tujuan lain selain menjadi penyebar kebenaran. Jadi, sebagai pembaca yang bijak waspadalah! Waspadalah! [dG]