Membaca buku ini ibarat membuka sebuah lemari berisi catatan panjang yang dulu tak mudah ditemukan kala jenderal besar Suharto masih berkuasa.
Jumat 19 Juni 1970, Hatta seakan punya firasat kalau usia Sukarno tidak lama lagi. Sang wakil presiden pertama Indonesia itu memohon ijin ke presiden Suharto agar diperkenankan membesuk karibnya yang sudah dipindahkan ke RSPAD dari Wisma Yaso. Suharto memberi ijin, dengan ditemani anaknya Meutia, Hatta bergegas ke RSPAD. Meski mereka sudah lama berseberangan dalam pemikiran politik tapi hubungan pribadi mereka tidak pernah berubah. Hatta dan Sukarno tetap dua pribadi yang saling mengagumi satu sama lain, tetap saling mengargai.
Hatta tercekat melihat kondisi sahabatnya itu yang jauh dari kesan gagah dan garang seperti masa ketika dia masih muda dan sehat.
“Hatta, kau di sini?” Sapa Sukarno ketika mendengar Hatta mendekat.
Hatta berusaha meredam perasaannya sendiri, perasaan haru dan remuk redam melihat kondisi Sukarno. Dengan sedikit senyum dia menjawab, “Ya, bagaimana keadaanmu No?”
No adalah sapaan akrab Hatta pada Sukarno. Hatta menyentuh lembut tangan Sukarno dan rupanya sentuhan lembut itu membuat Sukarno menangis seperti anak kecil. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, Hattapun tak sanggup menahan tangis yang sedari tadi berusaha dia tahan. Mereka tenggelam dalam tangisan sambil terus berpegangan tangan.
Tak ada kata-kata yang keluar dari bibir mereka selain isak tangis yang tak henti-hentinya. Kedua kawan seperjuangan itu menerawang tak mampu berbagi kata, tapi lewat sentuhan lembut tangan mereka dan derai tangis yang membuncah mereka seakan mengenang masa jatuh-bangun ikut melahirkan dan mendirikan negeri ini. Sampai Hatta pamit, tak sepatah katapun yang mampu keluar dari mulutnya.
Dan dua hari kemudian Sukarno menghadap penciptanya untuk selama-lamanya, lepas sudah derita tanpa pukulan yang dia terima sejak dilengserkan dari kursi kepresidenannya. Meninggalkan negeri dan rakyat yang begitu dicintainya. Fatmawati yang masih mencintainya tetap teguh tak hendak melanggar sumpah untuk menginjak Wisma Yaso, hanya rangkaian bunga dengan tulisan “Cintamu yang menjiwai rakyat, cinta Fat” yang dikirimkannya sebagai tanda betapa besar cintanya pada Putra Sang Fajar.
****
Cerita di atas adalah sekelumit kisah hari-hari terakhir dari kehidupan Sukarno, sang proklamator dan salah satu pendiri bangsa ini. Sukarno telah melewati masa panjang yang penuh cerita dalam kehidupannya. Penjara dan pembuangan hanya satu cerita singkat yang justru menempanya menjadi seorang lelaki kuat yang tak kenal menyerah demi memerangi imperialisme dan kolonialisme. Ironisnya, menjelang akhir hidupnya dia justru harus mengalami pemenjaraan fisik dan psikis yang membuat kesehatannya menurun dengan cepat. Negeri yang dulu turut dia bantu kelahirannya jsutru jadi negeri yang memenjarakannya.
Bicara tentang Sukarno tentu tak akan ada habisnya, sosoknya begitu besar hingga perlu ratusan buku mencatat kisah-kisahnya. Dari ratusan buku itu salah satunya adalah HARI-HARI TERAKHIR BUNG KARNO yang ditulis Peter Kasenda dan diterbitkan Komunitas Bambu (KoBam). Buku setebal 721 halaman ini memuat kisah hidup Sukarno periode panasnya suhu politik di tahun 1965 hingga masanya menutup mata di tahun 1970.
Membaca buku ini ibarat membuka sebuah lemari berisi catatan panjang yang dulu tak mudah ditemukan kala jenderal besar Suharto masih berkuasa. Di bab-bab awal termaktub kisah mendetail tentang Gerakan 30 September yang berefek panjang pada seorang Sukarno. Dengan sangat menawan, Peter Kasenda merangkai kepingan-kepingan data, fakta dan cerita yang membuka pemahaman orang tentang Gerakan 30 September, termasuk siapa-siapa saja dan apa-apa saja yang terjadi di belakangnya.
Makin ke belakang cerita di buku ini makin menarik. Gerakan 30 September memang berlangsung singkat, tapi efeknya panjang, mahal dan berdarah-darah. Konon ada jutaan rakyat Indonesia yang mati di ujung peluru atau kelewang hanya karena mereka dicurigai sebagai anggota PKI. Dan di istananya, Sukarno hanya bisa meratap sedih dengan hati hancur menyaksikan rakyatnya saling membunuhi satu sama lain. Hingga akhirnya dia yang jadi korban berikutnya.
Hari-Hari Terakhir Sukarno ibarat sebuah catatan harian panjang yang menulis secara detail tentang masa-masa susah Sukarno di penghujung kejayaannya. Surat perintah yang ditekennya tanggal 11 Maret 1966 perlahan tapi pasti dijadikan senjata ampuh oleh Suharto untuk merangkat ke posisi tertinggi republik ini, menggeser Sukarno yang sebelumnya ditasbihkan sebagai Presiden Seumur Hidup. Hingga akhirnya Sukarno benar-benar menjadi pesakitan, tahanan rumah yang makin akrab dengan penyakit.
Ada banyak buku yang bercerita tentang Sukarno, tapi buku Hari-Hari Terakhir Sukarno terasa istimewa karena fokus pada masa ketika sinar Sukarno meredup. Selepas membaca buku ini maka pikiran baru untuk merekonstruksi sejarah yang ditulis semasa orde baru pastilah akan muncul. Betapa banyak kebohongan sejarah yang sudah disembunyikan dari kita selama ini, dan betapa banyak kebenaran yang dipendam demi menjaga kewibaan sebuah rejim. Membaca buku ini benar-benar ibarat membuka lemari berisi catatan tua yang lama tak tersentuh. Ada banyak cerita menarik di setiap lembarannya, cerita tentang hari-hari terakhir seorang lelaki berjiwa besar bernama Sukarno. [dG]