Tersandung Batu Borneo
Dulu saya tidak tertarik pada batu akik. Tapi perjalanan ke Kalimantan perlahan membuat saya tersandung pada batu-batu yang ternyata indah itu.
DEMAM BATU AKIK SUDAH MEREBAK begitu luas ke seluruh Indonesia. Dimana-mana pria, wanita, tua dan muda seperti tersihir pada batu-batu yang mengkilap, tembus pandang atau bercorak. Di beberapa kota ada jalanan yang jadi macet karena orang-orang memilih berhenti sejenak dan berkerumun di sekitar pedagang batu akik. Mengagumi corak batu akik, mendengarkan cerita-cerita di belakang batu itu yang entah benar, entah hanya bualan.
Sebelum berangkat ke Kalimantan Utara seorang teman penggemar batu akik menulis komentar di salah satu status Facebook saya. Isinya; boss, kalau ada Red Borneo bawa ya. Saya tidak tahu apa itu Red Borneo meski saya tebak kalau itu salah satu jenis batu akik khas Kalimantan.
*****
HARI KEDUA DI DESA GONG SOLOK, pagi hari sebelum kami berangkat ke desa berikutnya. Dalam perbincangan santai dengan pemilik rumah tempat kami menginap selama 2 malam, tiba-tiba saja topik batu akik naik ke permukaan. Ternyata Mbak DJ yang jadi teman satu tim berasal dari keluarga pecinta batu akik.
Oleh ibu Maria – sang tuan rumah, kami dikasih tahu kalau pak Incau Ahim punya banyak batu akik. Incau Ahim adalah salah satu warga desa yang sehari sebelumnya sempat berinteraksi dengan kami. Mata Mbak DJ berbinar dan dengan semangat dia minta diantar anak ibu Maria ke rumah pak Incau. Saya mengikut saja, seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Meski tak tertarik batu akik, tapi sepertinya ini bisa jadi cerita yang menarik.
Hampir 10 menit perjalanan dan tibalah kami di rumah pak Incau yang seperti rumah lainnya berbentuk rumah panggung sederhana. Belum masuk ke dalam rumah pandangan saya sudah tertuju ke sebuah batu sebesar anak bayi umur 1 tahun yang dionggok begitu saja di teras rumahnya. Batu itu berwarna kuning kemerah-merahan, ada tulisan spidol yang bunyinya; batu akig m. Jambu sungai gong solok.
“Wah orang ini tidak main-main!” pikir saya.
Menit-menit awal kami mulai dengan basa-basi, sekaligus wawancara mendalam untuk menambah data yang kami butuhkan. Selanjutnya pembicaraan sudah mulai menuju ke arah batu akik. Dengan penuh semangat pak Incau keluar dari bagian dalam rumahnya sambil membawa satu kotak styrofoam berukuran sekitar 40x40x30 cm. Isinya batu akik beragam jenis yang dikumpulkannya dari sekitar sungai Gong Solok.
Saya tidak tahu jenisnya apa, tapi menurut pak Incau yang juga tidak tahu banyak tentang batu, salah satunya adalah Red Borneo. Warnanya memang merah tua dan jelas terlihat berbeda dari batu biasa. Selain batu yang disangka Red Borneo itu ada batu-batu lain yang buat orang yang tidak suka batu seperti saya saja sudah cukup menarik. Bongkahannya bermacam-macam, dari sebesar kelereng, kepalan tangan anak kecil, kepalan tangan orang dewasa sampai yang besarnya dua kepalan tangan orang dewasa.
“Ambillah yang mana kau mau ambil.” Kata pak Incau mempersilakan kami. Dalam hati saya bingung, tidak enak rasanya hanya mengambil batu akik yang harganya mungkin mahal itu tanpa memberi tebusan. Tapi berapa yang harus saya tebus? Saya tidak pandai menaksir harga bongkahan-bongkahan batu di depan saya.
Hingga akhirnya Mbak DJ muncul dengan sebuah ide yang menguntungkan kami semua. Pak Incau bisa punya mesin potong dan mesin poles batu, kami bisa pulang dengan membawa batu-batu akik yang ada di depan kami. Saya hanya mengambil seperlunya saja, hanya agar bisa memamerkannya di depan teman-teman yang memang tergila-gila pada batu akik.
*****
TIBA DI DESA SELANJUTNYA percakapan tentang batu akik belum berakhir. Dengan iseng Mbak DJ bertanya tentang batu akik dari desa Punan Adiu. Pertanyaan Mbak DJ dibalas dengan beberapa bongkahan batu akik yang dibawa warga ke tempat kami menginap. Luar biasa! Dalam dua hari kami sudah diguyur beberapa batu akik yang saya tidak tahu jenisnya apa.
Demam batu akik ini terus berlanjut bahkan hingga ke desa terakhir, meski di desa Setarap yang jadi desa penutup kegiatan kami jumlah batu akik yang kami bawa pulang tidak sebanyak desa-desa sebelumnya. Tapi percaya atau tidak, ketika berjalan keliling desa saja kami bisa menemukan bongkahan kecil batu akik yang teronggok begitu saja di tanah bersama batu-batu kerikil yang lain.
Walhasil, pulang dari Kalimantan kami berdua membawa oleh-oleh batu akik yang lumayan. Lumayan karena sempat menimbulkan insiden kecil di bandara Juwata, Tarakan.
Saya tidak tahu banyak tentang batu akik, pun saya tidak terlalu tertarik dengan fenomena ini. Tapi, batu-batu yang saya bawa pulang ternyata memang menggoda. Beberapa di antaranya batu yang tembus pandang ketika disinari lampu, beberapa di antaranya punya corak yang bahkan sebelum dipoles saja sudah cukup menawan.
Berhari-hari setelah perjalanan ke Kalimantan selesai saya masih suka iseng menatap batu-batu dari Kalimantan itu. Perlahan-lahan saya paham kenapa banyak orang gandrung pada batu-batu alam itu. Bukan hanya keindahannya, tapi cerita-cerita di baliknya. Mungkin cerita ini juga yang membuat saya mulai suka menatap batu-batu dari Kalimantan yang saya bawa. Batu-batu yang menyimpan cerita perjalanan ke pedalaman Kalimantan yang sangat berkesan. Mungkin batu?batu itu tidak akan saya ubah menjadi cincin atau liontin, mungkin hanya akan saya biarkan begitu saja.
Tapi entahlah, sepertinya saya mulai tersandung batu Borneo. [dG]