Kenapa Harus Reklamasi?

Pantai Losari
Pantai Losari
Losari Suatu Pagi

Suatu saat nanti kawasan Pantai Losari akan berubah penampakannya. Reklamasi sudah di depan mata, bencanapun sudah mulai tercium.

SALAH SATU TEMPAT PALING ASYIK MENIKMATI MATAHARI TENGGELAM di kota Makassar adalah di Pantai Losari. Posisinya yang menghadap tepat ke Barat membuat pesisir kota Makassar ini menjadi sangat pas untuk sekadar duduk dan mencecap romantisme matahari yang beranjak pulang, atau mengabadikannya dalam jepretan kamera. Hampir setiap hari kita bisa menemukan pemandangan luar biasa itu, kecuali mungkin ketika matahari tersaput awan mendung atau hujan turun membasahi bumi.

Semua itu bisa dinikmati dengan gratis, tanpa perlu membayar ongkos masuk. Plus, pemandangan matahari terbenam itu berada tepat di belakang pulau-pulau dan daratan kecil dengan laut luas yang menghampar.

Tapi, pemandangan itu sepertinya tidak akan bertahan lama. Pantai Losari yang sebenarnya sudah rusak oleh reklamasi itu akan lebih rusak lagi dalam waktu dekat.

Jadi ceritanya begini, beberapa tahun lalu ada seorang pria berkumis yang kebetulan jadi gubernur Sulawesi Selatan. Pria ini suatu hari mendapatkan ilham atau wangsit untuk mengubah kawasan sekitar Pantai Losari Makassar menjadi sebuah pusat peradaban Indonesia. Dinamakanlah kawasan itu sebagai Center Point of Indonesia, nama yang sangat keren dan kekinian.

Konon di atas Center Point of Indonesia itu (selanjutnya disingkat CPI) akan ada bangunan-bangunan pemerintahan, kompleks rumah tinggal dan bahkan istana negara. Luas lahannya tidak main-main, 157 hektare yang seluruhnya dibangun di atas laut alias menimbun laut alias reklamasi.

Sejak beberapa tahun belakangan ini mega proyek yang diperkirakan menelah biaya sampai triliunan rupiah itu sudah mulai dikerjakan. Beberapa lokasi sudah mulai ditimbun dan tiang pancang sudah mulai ditanamkan, bukti kalau penguasa benar-benar serius dengan mimpi triliunan rupiah itu.

Sekarang mimpi itu makin cerah seiring dengan perkembangan baru, masuknya sebuah korporasi retail terbesar di Indonesia bernama Ciputra. Dari berita di koran lokal, korporasi yang sudah menggurita di hampir seluruh pulau di Indonesia itu meneken kontrak kerjasama dengan kontraktor yang sebelumnya sudah ditunjuk oleh pemerintah provinsi. Senyum ceria pasti terkembang di wajah orang-orang provinsi yang memang sudah lama mengidamkan terlaksananya proyek mercusuar itu.

Siapa yang tidak kenal Ciputra dengan modal dan pengalaman luar biasa itu? Siapa yang tidak pernah dengar deretan nama-nama perumahan besar yang sudah dibangunnya? Pokoknya Ciputra jaminan mutulah kalau bicara soal properti dalam skala besar di Indonesia.

Ciputrapun sudah mengambil ancang-ancang, rencananya di atas lahan 157 Ha itu nanti akan ada kompleks perumahan, taman bermain dan pusat perbelanjaan. Kabarnya lagi, kawasan itu akan jadi kota baru yang diberi nama CitraLand City Losari. Dari namanya saja sudah bisa dibayangkan bagaimana bentuknya, kota baru di dalam kota. Apalagi Ciputra sudah terkenal sebagai korporasi yang pandai membangun mimpi dengan pengalaman puluhan tahun di seluruh Indonesia.

*****

TAPI KENAPA HARUS REKLAMASI? Pertanyaan itu selalu menggumpal di kepala saya. Benarkah Makassar memang kekurangan lahan di daratan sehingga harus menimbun berhektar-hektar lautan? Bukankah itu malah akan menimbulkan masalah-masalah baru yang kelak justru membuat kota ini jadi semakin semrawut seperti kota Jakarta?

Iya, Makassar memang makin modern, makin maju dan butuh lebih banyak ikon yang mendukung kemajuan dan modernitas itu. Tapi, kalau sampai mengorbankan lingkungan hidup dan kehidupan sosial masyarakat bukankah itu berarti sebuah kekejaman baru dari penguasa dan pengusaha kepada rakyat?

CPI belum jadi saja masalah sudah ada. Warga pesisir yang sebelumnya menggantungkan hidup dari luatan lepas perlahan sudah kehilangan mata pencaharian. Hasil melaut menurun drastis karena sedimentasi, belum lagi akses mereka yang dipersempit karena adanya jalan yang menutupi jalur melaut mereka.

Suatu hari nanti ketika kota baru nan megah itu berdiri saya yakin warga pesisir tidak akan dibiarkan tenang di tempat mereka. Mungkin mereka akan digusur karena toh pemandangan rumah pesisir yang sederhana dan kumal itu tidak cocok bersanding dengan kota baru yang megah, modern dan mentereng. Kalaupun tidak digusur mereka bisa saja dimatikan perlahan-lahan. Apa kata dunia kalau kota modern bersanding dengan perumahan kumuh?

Terus saya juga masih bertanya-tanya, apakah reklamasi dan pembentukan kota baru itu nantinya tidak akan merusak lingkungan? Dari obrolan dengan orang kelautan saya dengar kawasan Pantai Losari sudah rusak karena limbah dan reklamasi yang ada sekarang, padahal itu belum apa-apa dibanding reklamasi yang sebentar lagi akan dilakukan.

Setahu saya Jakarta juga jadi gampang banjir salah satunya karena kawasan pesisir pantai mereka di bagian utara sudah habis direklamasi, dibuat kota-kota baru yang salah satunya dilakukan oleh korporasi yang sebentar lagi juga akan melakukan hal yang sama di Makassar. Tidak usah menunggu lama, sekarangpun Makassar sudah mulai seperti itu, banjir datang dengan cepat ketika hujan turun. Salah satunya karena kawasan pantai yang seharusnya jadi tempat air mengalir sekarang sudah tertutup beton bangunan megah. Apalagi kalau reklamasi dan kota baru itu jadi, pasti akan lebih parah.

Satu lagi, ketika semua kota baru yang modern itu jadi kenikmatan mencicipi matahari terbenam dari Pantai Losari pasti akan tinggal kenangan. Apa enaknya menikmati matahari terbenam di tepi lautan dengan bangunan-bangunan megah berdiri di depannya? Atau jangan-jangan nanti untuk sekadar menikmati matahari terbenam saja kita harus bayar mahal?

Modernisasi adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari memang, suka atau tidak suka suatu saat nanti kita harus berhadapan dengan kata itu. Tapi, kalau sampai mengorbankan banyak hal dan merusak lingkungan berarti sama saja bohong. Modernisasi hanya akan menguntungkan satu-dua pihak saja. Pihak yang punya kuasa dan punya uang, sisanya ya silakan menatap nanar modernisasi itu sambil memunguti remah-remahnya dan sesekali menikmati bencana akibat modernisasi itu.

Dan minggirlah kalian kaum yang tak berpunya! [dG]